“Kita semua tahu jika Suku Anak Dalam itu lekat dengan Jambi. Namun tidak banyak anak muda Jambi yang bersedia masuk ke hutan dan berbuat sesuatu. Saya malu, harusnya kami dari Jambi yang pertama turun,” katanya.
Sebelum menetap di rimba, dari rumahnya di pusat kota, Reny biasa memacu sepeda motornya setiap hari. Tergelincir dan jatuh dari motor saat melewati jalanan tanah berpasir pun sudah menjadi makanan sehari-hari.
Rutinitas itu lebih menantang, terlebih ketika hujan turun membuat jalan makin licin.
Sehingga setiba di rimba, Reny pun cuma bisa mengajar satu atau dua jam. Dia harus pulang sebelum sore jika tidak ingin melewati hutan dalam gelap malam.
Baca Juga : Gemasnya Anak Daus Mini yang Jarang Terekspos, Sudah Jadi Murid SD Lho
“Dulu bolak-balik setiap hari. Dengan kondisi jalan yang macam itu capek juga,” katanya.
Saat pertama kali mengajar di rimba, Reny harus mendatangi rumah Suku Anak Dalam dari pintu ke pintu. Diakuinya cukup sulit mendapat kepercayaan dari orangtua anak-anak di sana.
Apalagi faktanya, mengenal aksara dan menulis dalam adat Suku Anak Dalam itu merupakan sebuah pantangan!
Dalam sejumlah komunitas adat, kata Reny, mereka yang belajar baca tulis bisa didenda berlembar-lembar kain sesuai aturan adat.
Baca Juga : 5 Kesalahan yang Perlu Dihindari Saat Memakai Concealer, Apa Saja?
Source | : | National Geographic Indonesia |
Penulis | : | Jeanett Verica |
Editor | : | Jeanett Verica |
KOMENTAR