NOVA.id – Indonesia terkenal akan keberagaman suku dan budaya yang unik, salah satunya tradisi penguburan oleh suku Minahasa Utara di Manado.
Seperti suku lainnya, suku Minahasa di Manado punya budaya tersendiri, saat menguburkan kerabat atau keluarganya yang meninggal.
Warga suku Minahasa Manado tak menguburkan jenazah di bawah tanah, melainkan memasukkan jenazah ke dalam sebuah batu besar.
Baca Juga : Diajak Duet Pasha Ungu, Jeritan Hati Ifan Seventeen: Ya Allah, Aku Nggak Tahu Kapan Bisa Nyanyi Lagi
Batu tersebut pun dikenal sebagai situs Waruga, yang banyak tersebar di beberapa bagian pelosok Manado.
Akan tetapi, situs Waruga di Sawangan Manado dipercaya sudah ada sejak awal abad ke 13 hingga abad ke 20 Masehi.
Jadi, dari zaman nenek moyang orang Minahasa dulu, saat sanak keluarga meninggal, mereka akan memasukan jenazah ke dalam sebuah batu berbentuk kubus, dengan posisi jenazah duduk sembari memeluk lutut dan kepalanya mencium lutut, agar masuk ke dalam bebatuan.
Baca Juga : Sakit Keras Sejak Agustus, Unggahan Terakhir Jurnalis Rifai Pamone Bak Isyarat Kepergiannya
Posisi mayatnya pun harus menghadap ke arah utara, yang mereka yakni jika nenek moyang Minahasa datang dari utara.
Akan tetapi, tradisi penguburan seperti ini pun sudah berhenti sejak zaman Belanda dahulu, karena saat mayat membusuk, baunya pun tersebar luas.
Tak hanya itu, pembusukan mayat itu juga menyebabkan adanya wadah kolera di sekitar Manado, sehingga penguburan pun tak lagi memakai batu, melainkan peti mati.
Baca Juga : Bocorkan Tempat Hiburan Malam Syahrini di Las Vegas, Hotman Paris: Isinya 1/3 Konglomerat Indonesia!
Walau begitu, orang Minahasa zaman dulu percaya jika mayat yang dikuburkan di dalam batu itu bisa mendatangkan rejeki ke keluarga yang ditinggalkan.
Uniknya lagi, batu kuburan itu tak dibuat oleh keluarga atau kerabat mereka loh, tetapi orang yang meninggal itu sendiri.
Unik sekali yah, tradisi suku Minahasa ini Sahabat NOVA? (*)
Source | : | berbagai sumber |
Penulis | : | Tentry Yudvi Dian Utami |
Editor | : | Dionysia Mayang Rintani |
KOMENTAR