NOVA.id - Sahabat NOVA, pernahkah suami bersikap kasar termasuk kepada anak-anak?
Jika jawabannya iya, lantas seperti apa ya langkah yang bisa kita lakukan untuk menanggulanginya?
Yuk, simak jawabannya dari psikolog Dra Reiny Hasan yang telah tayang di Tabloid NOVA edisi 13-19 Agustus 2018 lalu.
Baca Juga : Gemasnya Cucu Presiden Jokowi, Jan Ethes Pakai Sepatu Burberry, Harganya Setara Smartphone!
Yth. Bu Rieny,
Saya Dona.
Saya berkenalan dengan suami dari teman kerja saya, setelah pacaran selama enam bulan—yang dipenuhi dengan hal-hal menyenangkan—akhirnya kami memutuskan untuk menikah, di awal pernikahan, sikapnya tidak banyak berubah, dia yang pekerja kantoran pun pulang-pergi
sesuai dengan jam kantor pada umumnya.
Sampai akhirnya saya hamil, saat itu, dia jadi sering marah, kemarahannya terkadang tidak wajar, waktu awal menikah, jika dia marah, dia hanya akan menggebrak meja atau barang di dekatnya lalu pergi, setelah saya hamil, kalau suami marah karena tidak setuju dengan usul saya, dia akan memukul badan saya.
Kejadian itu beberapa kali terjadi di masa kehamilan saya, lalu ketika saya melahirkan anak perempuan sikapnya berubah lagi seperti saat pacaran dulu, lembut dan manis sekali, dia seperti lupa bahwa pernah menyakiti saya secara fisik, suami sering berubah emosinya, kadang marah yang menyakiti fisik, kadang bisa lembut banget.
Suatu saat ia mendapatkan pekerjaan dengan penghasilan yang lebih besar, dia resign dari kantornya dan menjadi sopir serta penjaga mobil-mobil pengusaha besar, mulai dari situ, dia mulai jarang ada di rumah, paling empat sampai tiga hari dalam seminggu, walaupun saya tidak menampik bahwa kehidupan kami mulai naik menjadi lebih baik, beberapa kali dia mengajak saya dan anak untuk pergi liburan.
Semua berjalan lancar sampai pada akhirnya anak saya berumur 11 tahun dan saya hamil anak kedua, ketika anak kedua saya berumur 2 tahun, dia berhenti dari pekerjaannya dan menjadi pengangguran, di saat itulah, dia kembali berulah, mulai main tangan kembali.
Baca Juga : Adegan Iklan Syahrini dan Reino Barack Ini Jadi Sorotan, Seperti Apa?
Beberapa waktu lalu, ketika saya baru bangun tidur, saya tiba-tiba diusir, saya dan dua anak saya akhirnya menurut dan menumpang di rumah tetangga, dua jam kemudian tiba-tiba dia keluar rumah dan mengacungkan pisau serta berteriak akan membunuh tetangga yang saya tumpangi jika saya dan anak-anak tidak juga pulang.
Kejadian itu menjadi tontonan satu blok di kompleks rumah, akhirnya saya pulang dan orang-orang di sana mulai bertanya-tanya kepada saya. Karena perlakuannya yang buruk dan intensitas main tangannya yang lumayan sering, akhirnya saya kabur ke rumah kakak saya, dari situlah keluarga saya mengetahui keadaan saya.
Sempat saya dijemput pulang tapi lagi-lagi terulang kembali, yang saya tak habis pikir, dua hari setelah saya balik, anak saya yang pertama hampir ditabrak ketika sedang menutup gerbang rumah, makin bulatlah tekad saya untuk bercerai, keluarga saya juga mendukung karena tidak
mau saya dan anak sakit karena perlakuan tangan suami saya, namun, suami tidak ingin bercerai. Sampai saat ini belum juga reda walaupun tekad saya untuk bercerai tetap ada.
Bagaimana menurut Bu Rieny, apakah saya harus berpisah atau tidak? Mengingat ada dua anak di perkawinan ini, pernah sekali waktu keluarga saya ke rumah dan ingin bertemu suami, namun dia malah keluar rumah dan baru kembali setelah keluarga saya pulang, seperti menghindar dari permasalahan yang ada, bagaimana jalan keluarnya, ya, Bu Rieny? Semoga Ibu bisa membantu memberikan saran untuk masalah saya ini.
Terima Kasih.
Dona – Somewhere
Baca Juga : Zumi Zola Dibui 6 Tahun, Sang Istri Jualan Hijab hingga Kue Kering Demi Sambung Hidup
Dear Dona,
Berbicara tentang gambaran perilaku suami, tampaknya ada kecenderungan suami Anda berada dalam stres berkepanjangan, besar kemungkinan sudah menjurus kepada munculnya masalah pengendalian emosi, kemampuan menyesuaikan diri dengan tuntutan lingkungan, ditambah kepribadian yang bisa saja sejak awal sudah menunjukkan agresivitas tinggi.
Saya selalu berusaha untuk tidak memberi label pada seseorang, apalagi kalau hanya ada sedikit data, tanpa melihat sendiri orangnya, dan tidak bicara dengan orang yang bersangkutan, tetapi, kalau sudah membawa benda tajam, lalu dalam keadaan marah bisa mencoba menabrak anaknya sendiri, ini sudah masuk ke dalam katagori membahayakan keselamatan jiwa orang-orang di dekatnya, tanggapi dengan serius, Bu.
Apakah keluarganya sudah tahu? Selidiki kemungkinan sudah adanya gejala sejak masa
kecil dan remaja, barangkali sudah terlihat, memang, untuk informasi tersebut akan sukar kita dapatkan dari orangtua atau saudara kandung, mereka cenderung akan menutupi, padahal, kalau gejala sudah ditangani sejak awal secara profesional, banyak, kok, yang kemudian hidupnya menjadi berkualitas.
Barangkali ada paman atau bibinya yang mau berbagi dengan Anda, biasanya, kalau kualitas penyesuaian diri dengan lingkungan sudah makin buruk, barulah keluarga mau mengakui
bahwa ada masala, akan tetapi gejala sudah berat, usahakan untuk punya latar belakang
informasi yang memadai, ya, untuk apa?
Kalau suatu saat Anda membawanya kepsikiater, anamnesa (wawancara dokter dengan pasien, red.) yang lengkap pada rentang kehidupan sejak anak-anak hingga sekarang akan sangat membantu psikiater menegakkan diagnosis dan melakukan terapinya.
Baca Juga : Sering Beli Panci via Online, Ini Reaksi Reino Barack Cicipi Masakan Pertama Syahrini
Saran pertama saya, jangan anggap enteng, biasanya makin tinggi tingkat stresnya, akan makin membahayakan reaksinya, kenalilah hal atau peristiwa apa yang bisa memicu stres tersebut, sebisa yang Anda lakukan, hindarkan dia dari stresor (penyebab stres) ini.
Dari cerita Anda, saya menduga kehidupan yang naik turun dan ketidakmampuan memantapkan minat untuk bertahan di suatu pekerjaan, menyebabkan suami gagal memperoleh sebuah keyakinan bahwa dia punya kompetensi sebagai seorang laki-laki untuk menjadi kepala keluarga, tingkatan rasa tanggung jawab, juga patut dipertanyakan, bila dia cukup memiliki tanggung jawab, baik rumah, istri, dan anak-anak, akan selalu menjadi magnet yang menariknya untuk pulang ke rumah.
Ketika keadaan semakin memburuk, alih-alih dia fokus untuk mempertahankan hal-hal yang bisa jadi penopang perasaan bahwa dia berharga, seperti bisa menghasilkan nafkah buat keluarga, dia malah lari, sebenarnya, ini semua membuat suami jadi marah pada dirinya sendiri, tetapi lalu melampiaskan itu keluar dirinya, orang sejenis ini, biasanya juga gagal menemukan penyebab masalahnya di dalam diri, orang atau lingkunganlah yang dianggapnya salah, maka jangan heran,
membawanya untuk berobat, juga butuh perjuangan, dia pasti akan meronta marah dan mengatakan, “Memangnya aku gila?”
Saran kedua, siapkan anak-anak untuk bisa melihat bahwa ayahnya bukan sosok yang terus menerus menakutkan, di saat sedang labil emosi, marah-marah, dan agresif, jangan lupa untuk meyakinkan anak-anak bahwa ayah mereka yang sesungguhnya adalah pada saat sedang tenang, tidak seperti itu, dengan demikian, anak pelan-pelan bisa menerima bahwa ayahnya bisa berubah jadi begitu, tetapi pada dasarnya bukanlah monster.
Anak dari orangtua seperti suami Anda, mudah sekali tumbuh jadi anak tertutup, malu, minder, atau malah sebaliknya, meniru model interaksi ayahnya, semuanya bukan pilihan yang kita inginkan, bukan? Maka, bantulah anak-anak untuk sebisa mungkin tumbuh normal. Orangtua Anda, akan sangat bisa berperan di sini, membantu mendampingi anak-anak, saat Anda sibuk dengan ayahnya.
Baca Juga : Menantu Ungkap Kondisi Terkini Ani Yudhoyono, Alisnya Semakin Menipis
Jangan jadikan anak-anak pelampiasan dari rasa kecewa dan marah Anda pada suami, ya. Selalu aktifkan mata hati keibuan yang ada di setiap sanubari perempuan, sehingga yang akan mendominasi adalah perasaan positif Anda ke anak-anak, bukan menganggap mereka adalah beban, kalau rewel, jangan jengkel, pastinya rewelnya anak kecil atau tidak betahnya si kakak di rumah, adalah reaksi terhadap ketidaknyamanan yang muncul akibat ulah ayahnya.
Saran terakhir, bawa ke ahlinya, ya Dona sayang, jangan ke tempat lain yang pasti akan mengatakan dia diganggu arwah jagat atau diguna-guna, ke dokter ahli jiwa, itu yang paling benar, carilah yang komunikatif, tidak tergesa-gesa saat Anda konsultasi, dan tentunya, suami
senang berinteraksi dengan beliau, dengan penanganan yang tepat, termasuk meminum
obat yang diresepkan, insyaallah, Anda bisa lebih tenang.
Emosi suami pasti bisa lebih terkendali dan agresivitas akan berkurang, bujuk untuk ke dokter, ya.
Bercerai? Sebetulnya, kalau dokter mendiagnosis suami punya masalah kejiwaan, Anda berhak menuntut cerai, akan tetapi, bagaimana kalau dicoba dulu ke dokter? Mudah-mudahan memberi hasil positif, dan Anda jadi punya lebih banyak waktu untuk berpikir ulang bahwa suami Anda sedang membutuhkan Anda.
Tetapi, keputusan ada di tangan Anda, mudah-mudahan dalam doa kepada Allah, akan ada jawaban yang Anda rasakan, tabah, ya, tetapi juga harus makin cerdas mengenali model-model reaksi yang agresif, yang harus Anda usahakan agar tak terpicu oleh sebab yang muncul dalam hidupnya. (*)
Penulis | : | Tiur Kartikawati Renata Sari |
Editor | : | Dionysia Mayang Rintani |
KOMENTAR