Kedua hal itulah senjata saya ketika masuk ke SMA yang semua muridnya dapat dikatakan jauh di atas rata-rata, baik inteligensia dan materi.
Pada awal pendaftaran, saya sangat percaya diri, bagaimana tidak? Saya juara umum semasa SMP dan SD, tapi ternyata, realita berkata lain, sistem pendidikan yang ada di sekolah ini berbeda dengan yang lain.
Pendidikan 3 tahun sekolah, dikompilasi dalam 1 tahun pada kelas 1, pelajaran olimpiade, Cambridge, dan penelitian dikupas pada kelas 2, dan kelas 3 khusus mengupas UN dan SBMPTN, bahkan beredar candaan kalau murid sekolah saya naik kelas 2 sudah bisa ikut Ujian Nasional.
Baca Juga : Jalin Kehangatan Keluarga, Happy Meal Readers Tanamkan Minat Baca Anak Sejak Dini
Saya syok melihat sistem yang baru ini, bukan hanya nilai saya yang jatuh, tapi harga diri, rasa pede, dan iman saya kepada Allah, perlahan runtuh, saya yang dulu bisa mengontrol emosi dengan baik, berubah jadi pemarah, tidak sabaran, mudah stres, frustasi, dan putus asa, hubungan saya dengan teman, keluarga, dan guru, memburuk, saya jadi makin sering tidur di kelas lantaran tidak mengerti. Usaha belajar saya pada dini hari, hasilnya sia-sia belaka, nilai saya berkisar 30-60, dengan jumlah murid yang sedikit dan asrama yang terisolasi, nilai saya bisa diketahui oleh semua guru dan teman seangkatan, dan lahirlah sebuah pemikiran: saya tidak pantas di sekolah ini, saya berniat pindah sekolah, tapi saya tidak diterima di sekolah lain lantaran kalah nilai dibanding para murid pindahan lain.
Kelas 1 pun tuntas, dan saya survive, saya pikir, kelas 2 akan menjadi lebih baik bagi saya, nyatanya tidak. Justru di tahun inilah pertama kali saya memikirkan bunuh diri, dulu saya berpikir bahwa orang yang bunuh diri itu bodoh, dan kini saya tidak peduli andaikan saya jatuh dari atap gedung sekolah dan kematian menjemput.
Pelajaran olimpiade dan Cambridge menumpuk di atas pelajaran kelas sebelumnya yang bahkan belum saya mengerti, belum lagi ide penelitian yang tidak kunjung dating, saya semakin sering stress, sakit kepala nyaris setiap hari, marah-marah nyaris setiap minggu, anehnya tidak pernah sekali pun saya sakit, saya mulai sering menggunakan lemari di kamar asrama saya sebagai samsak, lantaran tidak tahu, mau marah kepada siapa? Kecewa kepada siapa? Cerita kepada siapa? Teman-teman saya yang mulai bertambah punya masalahnya masing-masing, lebih berat daripada apa yang saya pikirkan saat itu, apalagi keluarga saya, lagipula hal ini terlalu kekanakan untuk dibicarakan, bukan? (Tidak sama sekali, sayangku, RH.)
Baca Juga : Elly Sugigi Akhirnya Trauma Pacari Brondong Tampan: Setelah Itu, Saya Dihempas!
Atlet New Balance Triyaningsih Berhasil Taklukan Kompetisi TCS New York City Marathon 2024
Penulis | : | Tiur Kartikawati Renata Sari |
Editor | : | Winggi |
KOMENTAR