NOVA.id - Gadis remaja ini merasa hidupnya hampa luar dalam hingga memengaruhi pribadinya yang jadi pemarah dan tak bisa mengontrol emosi.
Lantas bagaimana ya mengurangi kekosongan batin bagi remaja yang seharusnya sedang aktif-aktifnya?
Simak tanggapan sang psikolog dalam tanya jawab psikologi NOVA yang telah diwartakan pada Tabloid NOVA edisi 1621 ini yuk!
Baca Juga : Sah! Fadel Islami Beri Mahar Emas dan Berlian, Muzdalifah Nikah untuk Keempat Kalinya
TANYA
Ibu Rieny Yth,
Saya gadis berusia 17 tahun dan merupakan anak terakhir dari 4 bersaudara dari keluarga kecil yang sederhana, saya kelas 12 di salah satu SMA negeri unggulan di Jakarta saat ini.
Saya ingin berkonsultasi dengan Ibu mengenai permasalahan remaja saya saat ini, sebelumnya saya mohon maaf karena saya akan bercerita panjang mengenai akar masalah saya.
Masalah saya dimulai sejak masa SMA, 2,5 tahun lalu, saya anak yang amatlah tidak mudah percaya pada orang lain, sejak kecil saya selalu menjaga jarak dengan teman sebaya karena trauma pertemanan masa kanak-kanak, selama bersekolah, sebagai anak dari keluarga yang sederhana, hanya nilai dan kepintaran yang bisa saya banggakan, sebuah berkah yang saya gunakan untuk menghadapi pergaulan bebas di masa sekolah, dan selama saya SD dan SMP, doa dan rasa percaya kepada Allah menjadi penyelamat saya.
Baca Juga : Jelang Nikah Ammar Zoni dan Irish Bella Lakukan Puasa Handphone
Kedua hal itulah senjata saya ketika masuk ke SMA yang semua muridnya dapat dikatakan jauh di atas rata-rata, baik inteligensia dan materi.
Pada awal pendaftaran, saya sangat percaya diri, bagaimana tidak? Saya juara umum semasa SMP dan SD, tapi ternyata, realita berkata lain, sistem pendidikan yang ada di sekolah ini berbeda dengan yang lain.
Pendidikan 3 tahun sekolah, dikompilasi dalam 1 tahun pada kelas 1, pelajaran olimpiade, Cambridge, dan penelitian dikupas pada kelas 2, dan kelas 3 khusus mengupas UN dan SBMPTN, bahkan beredar candaan kalau murid sekolah saya naik kelas 2 sudah bisa ikut Ujian Nasional.
Baca Juga : Jalin Kehangatan Keluarga, Happy Meal Readers Tanamkan Minat Baca Anak Sejak Dini
Saya syok melihat sistem yang baru ini, bukan hanya nilai saya yang jatuh, tapi harga diri, rasa pede, dan iman saya kepada Allah, perlahan runtuh, saya yang dulu bisa mengontrol emosi dengan baik, berubah jadi pemarah, tidak sabaran, mudah stres, frustasi, dan putus asa, hubungan saya dengan teman, keluarga, dan guru, memburuk, saya jadi makin sering tidur di kelas lantaran tidak mengerti. Usaha belajar saya pada dini hari, hasilnya sia-sia belaka, nilai saya berkisar 30-60, dengan jumlah murid yang sedikit dan asrama yang terisolasi, nilai saya bisa diketahui oleh semua guru dan teman seangkatan, dan lahirlah sebuah pemikiran: saya tidak pantas di sekolah ini, saya berniat pindah sekolah, tapi saya tidak diterima di sekolah lain lantaran kalah nilai dibanding para murid pindahan lain.
Kelas 1 pun tuntas, dan saya survive, saya pikir, kelas 2 akan menjadi lebih baik bagi saya, nyatanya tidak. Justru di tahun inilah pertama kali saya memikirkan bunuh diri, dulu saya berpikir bahwa orang yang bunuh diri itu bodoh, dan kini saya tidak peduli andaikan saya jatuh dari atap gedung sekolah dan kematian menjemput.
Pelajaran olimpiade dan Cambridge menumpuk di atas pelajaran kelas sebelumnya yang bahkan belum saya mengerti, belum lagi ide penelitian yang tidak kunjung dating, saya semakin sering stress, sakit kepala nyaris setiap hari, marah-marah nyaris setiap minggu, anehnya tidak pernah sekali pun saya sakit, saya mulai sering menggunakan lemari di kamar asrama saya sebagai samsak, lantaran tidak tahu, mau marah kepada siapa? Kecewa kepada siapa? Cerita kepada siapa? Teman-teman saya yang mulai bertambah punya masalahnya masing-masing, lebih berat daripada apa yang saya pikirkan saat itu, apalagi keluarga saya, lagipula hal ini terlalu kekanakan untuk dibicarakan, bukan? (Tidak sama sekali, sayangku, RH.)
Baca Juga : Elly Sugigi Akhirnya Trauma Pacari Brondong Tampan: Setelah Itu, Saya Dihempas!
Saya semakin tidak percaya kepada pertolongan yang dijanjikan Allah kepada saya, ibadah tetap saya jalankan, namun tidak ada hati saat berbincang dengan-Nya.
Kelas 2 pun selesai, saya kembali survive walau di ujung tanduk, kini tiba masa akhir yang dulu saya nantikan, yup, tibalah saya berusia 17 tahun, usia dewasa, tiba waktunya memilih jurusan, masa depan saya, pemikiran saya yang harusnya mulai dewasa, malah semakin kekanakan, membawa pemikiran dan pengalaman 2 tahun di sekolah ini, masa depan yang saya lihat gelap, nilai saya turun naik, ibadah turun naik.
Hubungan persaudaraan? Memburuk, tidak pernah saya keluar kamar kalau tidak perlu, bisa tiap hari saya marah-marah lewat media sosial keluarga, dengan teman? Lebih buruk, teman-teman saya yang dekat dengan saya umunya cerdas, dan tiap kali saya menghadapi mereka, hal yang saya pikirkan adalah: “betapa beruntungnya mereka”, terlahir pintar dan cantik, dicintai lingkungan dan punya harapan, saya kagum, iri, dan sedih tiap kali menatap mereka, saya makin sering menjauh.
Baca Juga : Ngeri, Perempuan Ini Keluarkan Kapas Berlendir Penuh Darah Usai Lakukan Operasi Plastik
Sikap saya mulai berubah, sering tertawa sendiri memikirkan nasib, sering merasa tersinggung, merasa hampa luar dalam, bahkan tidak tahu lagi saya harus berdoa apa setelah selesai ibadah, hari berlalu dan semuanya rasanya kosong untuk saya.
Beberapa bulan ini saya sering terkena serangan tiba-tiba, seperti bahagia yang amat sangat, ketika pagi loncat sana sini saking senangnya, tapi berniat bunuh diri karena stres saat malam, sering sekali ini terjadi, dan hanya saudara kembar saya yang tahu, saya berkali-kali ditegur guru lantaran nilai dan sikap saya di kelas ketika serangan itu kambuh.
Tepat kemarin malam, saya kambuh lagi, tidak ada masalah apa-apa, hanya memikirkan bahwa hari ini ada uji coba UN tepat setelah UAS dan saya drop, sakit kepala, merasa kosong, sampah tidak berguna, saya marah sendiri, tidak nafsu makan, nyanyi keras-keras menjelang tengah malam, membanting pintu dan lemari, anehnya tidak ada satu pun yang peduli di asrama sekolah, atau mungkin tidak mendengarnya? (Saya khawatir, ini adalah fantasi Anda, sehingga orang lain memang tak tahu dan tak mendengar apa pun, RH.)
Baca Juga : Gampang Masaknya, Ikan Nila Goreng Krispi Renyah Ini Pasti Jadi Rebutan!
Pagi ini saya merasa harus menemui psikiater, tetapi ibu saya menyarankan untuk berkonsultasi dulu dengan Ibu karena beliau sendiri pernah berkonsultasi dengan Ibu, dan saya akhirnya memutuskan untuk mengirimkan surat ini kepada Ibu.
Apa yang harus saya lakukan? Di mana titik yang salah selama saya menempuh hidup saya di sini? Bagaimana cara mengobati stres dan serangan-serangan ini? Terima kasih Bu Rien.
Aisyah - Jakarta
JAWAB
Ananda Aisyah Yth,
Saya membayangkan, betapa gundahnya Ibunda Aisyah mencermati perkembangan perilaku Nanda Aisyah, sambil saya juga bertanya-tanya, sekolah yang kata Anda favorit dengan boarding, kok tidak ada cerita bahwa Anda ditangani oleh guru BK atau wali kelas, kan Anda sudah menunjukkan gangguan belajar akibat terganggunya stabilitas kepribadian Anda?
Baca Juga : Jalin Kehangatan Keluarga, Happy Meal Readers Tanamkan Minat Baca Anak Sejak Dini
Kisah Anda adalah sebuah contoh kasus yang—walau saya bahas sepuluh halaman di NOVA—tak akan tuntas, karena sosok pandai dan cerdas seperti Anda, menurut pengalaman, sangat susah untuk “digoyahkan” apa-apa yang sudah jadi keyakinan dan kepercayaan Anda, butuh ketemu berkali-kali untuk meraih kepercayaan Anda, bahwa psikolog yang Anda temui bukanlah musuh atau lawan Anda.
Kemudian, saya perlu mengajak Anda untuk membingkai ulang pengalaman dan penghayatan permasalahan Anda, sehingga kecenderungan melihat diri negatif, tak berharga, dan tak bernilai, bisa tergantikan oleh hal-hal obyektif, yang mestinya banyak sekali positifnya.
Untuk saat ini, katakanlah saran darurat, cobalah lebih intensif bicara dari hati ke hati dengan ibunda, bagaimana kalau saya ketemu beliau dan juga Anda?
Mohon tidak dilihat sedang beriklan, ya sayangku, tetapi saya tulus mau membantu Anda dan bunda untuk membangun hubungan emosi, serta komunikasi yang lebih jelas, tepat, sambil tetap diwarnai kasih sayang.
Baca Juga : Terancam Dihukum Mati, Jonathan Frizzy dan Indra L Bruggman Ingin Hadiri Sidang Steve Emmanuel
Baca Juga : Jelang Nikah Ammar Zoni dan Irish Bella Lakukan Puasa Handphone
Bukalah laman yang mengajarkan relaksasi, tension releaser, meredakan stres, dan sejenisnya, praktikkan dan rasakan manfaatnya kalau Anda bisa menerapkan kiat yang diajarkan, melakukan terus menerus dan menjadikannya kebiasaan, saya yakin Anda akan mampu belajar dengan pikiran yang focus, sehingga materi pelajaran bisa Anda serap dengan baik, gelombang otak kita adalah gelombang Beta, yang kalau tegang membuat kita sukar mencerna, memahami, maupun menghafal sesuatu.
Kirimi saya email ya, rieny.htami@gmail.com, kita buat janji ketemu.
Ayo, jangan izinkan diri Anda larut dalam kemelut pikiran negative, bergaul, membuka diri, bicara ke wali kelas atau psikolog sekolah dan—utamanya—Ibunda Anda sendiri, kalau Anda membuka hati, pastilah ibunda bisa menyelami Anda lebih obyektif lagi.
Saya menantikan Anda, ya. Salam sayang. (*)
Penulis | : | Tiur Kartikawati Renata Sari |
Editor | : | Winggi |
KOMENTAR