NOVA.id - Agar anak nurut, orangtua suka memberikan ancaman atau imbalan. Benar, enggak, sih cara ini?
Sahabat NOVA, apakah Anda termasuk orang yang sering melakukan hal tersebut? jika ya, sebaiknya tinggalkan pola asuh tersebut.
Karena selain pesan yang disampaikan kepada anak jadi tidak sampai, menurut psikolog anak dan keluarga Ayoe Sutomo, M.Psi, pola asuh tersebut membuat anak kecanduan.
Baca Juga: Apa yang Harus Dilakukan Ketika si Kecil Suka Memainkan Alat Kelamin?
Dampaknya setiap anak melakukan sesuatu maka harus dengan syarat, jika sudah begini tentu merepotkan kita.
Misalnya, anak baru mau belajar setelah diberikan imbalan, padahal akan lebih baik jika kita memberi anak motivasi.
Contohnya saja, mengajak anak belajar sembari menjelaskan tujuan dan manfaat
yang didapatkan jika si anak mau belajar.
Baca Juga: Bahaya, Kebiasaan Ini Bisa Picu Trust Issues dalam Diri Anak
Tentu saja dengan bahasa yang disesuaikan dengan si kecil. Misalnya saja seperti ini, “Abang belajar dulu, yuk. Abang, kan, pengin jadi pilot. Biar pintar dan bisa jadi pilot, Abang perlu belajar.”
Yang juga sering terjadi dan perlu diwaspadai, kita memberikan reward dalam bentuk pujian.
“Anak juga paling candu dengan pujian, misalnya, Wah anak Mama paling
ganteng, Mama bangga banget sama kamu. Hal seperti itu akan membuat anak selalu
mencari validasi dari luar. Jadi melakukan sesuatu untuk dipuji, anak jadi berpikir kalau enggak dapat pujian ngapain aku lakukan itu,” kata Ayoe.
Baca Juga: Vitamin untuk Anak, Sebaiknya Pilih Rasanya dan Mudah Dikonsumsi!
Nah, agar si kecil bisa menurut dan mendengarkan tanpa syarat, inilah tips dari Ayoe Sutomo. Kendati bagitu, bukan berarti kita tak boleh memberikan apresiasi, misalnya.
"Wah abang berhasil, abang bangga yah sama diri abang sudah melakuakn hal sejauh ini,”
Berbeda dengan pujian semata, apresiasai diberikan dengan konteks agar anak dia merasa senang.
Baca Juga: Stop Sekarang! Ini 3 Bahaya Memberi Air Putih untuk Bayi 0-6 Bulan
Dengan pujian dalam konteks apresiasi ini, anak dapat mencerminkan dirinya jika ia sudah berhasil dan bahagia dengan apa yang telah dilakukannya.
1. Ajak anak berdiskusi
Bangun komunikasi dengan si kecil, sehingga anak mau diajak berdiskusi, yang pada akhirnya menghasilkan output komitmen dari anak.
Kata Ayoe, mulai dari anak berusia 3 tahun kita sudah bisa mengajak anak berdiskusi, dalam artian mengkomunikasikan hal-hal apa yang ingin dilakukan oleh anak.
Baca Juga: Ini Bahaya Mencium Bayi yang Baru Lahir, Bisa Sebabkan Kematian
“Tanyakan pada anak bagaimana cara melakukannya, kapan mau melakukan (jam berapa), jadi seperti dibuat diskusi yang pada akhirnya berujung pada kesepakatan dan komitmen untuk kemudian membuat anak mau melakukan tugas tersebut tanpa kita harus mengancam,” ujar Ayoe.
Kita bisa mulai dari hal yang sederhana, misalnya anak berusia 3 tahun yang sulit ketika
disuruh mandi.
Kita bisa mulai bertanya, “Abang mau mandinya sehabis main, setelah beresin mainan, atau Abang mau rapiin mainan ini setelah mandi?”
Baca Juga: 5 Penyebab Bercak Putih di Wajah Bayi, Bukan Cuma karena Panu
Kata Ayoe, ajak anak berdiskusi dengan memberikan pilihan kepada anak.
Jadi tidak tiba-tiba mengajak anak dengan, “Ayo mandi!” Belum lagi, biasanya kita sambil menyuruh anak spontan sambil membereskan mainan anak, tanpa meminta izin kepadanya.
Kata Ayoe, dalam mengasuh anak, “Memang anak perlu dirangkul, dalam
prosesnya memang harus sabar.”
Baca Juga: Sering Meneriaki Anak Bawa Dampak Buruk, Ini 5 Cara Menghentikannya
Alih-alih langsung membereskan mainan anak dan emosi menyuruhnya mandi, orangtua bisa mengomunikasikannya dengan baik-baik, misalnya, “Abang lagi suka sekali main ya, tapi ini sudah sore nih, keringatnya sudah banyak banget. Mandi dulu yuk biar bersih, biar badan Abang sehat.”
2. Pastikan tangki emosi si kecil terisi penuh
Agar proses komunikasi dengan anak berjalan lancar, sebelumnya kita harus memastikan bahwa tangki emosi si kecil terisi penuh.
Baca Juga: Ternyata Ini Penyebab Anak Usia Sekolah Lebih Sering Terkena Panu
View this post on Instagram
Pastikan anak merasa dirinya dicintai dan disayangi. “Karena kalau anak tidak merasa
disayang, sulit bagi kita menyampaikan apa-apa yang menjadi kebutuhan kita dan
harapan kita,” ujar Ayoe.
Berbeda apabila anak merasa cukup disayang, maka anak secara otomatis akan terkoneksi secara emosi dengan orangtua.
Baca Juga: Banyak Orangtua Tak Sadar Anaknya Obesitas Sejak Kecil, Ini Bahayanya!
Sehingga anak lebih mudah untuk mendengarkan, mudah diajak bicara, dan berinisiatif terhadap apa yang harus dia lakukan.
Dapatkan pembahasan yang lebih lengkap dan mendalam di Tabloid NOVA.
Yuk, langsung langganan bebas repot di Grid Store.(*)
Penulis | : | Dinni Kamilani |
Editor | : | Alsabrina |
KOMENTAR