NOVA.id - Jumat (1/10/2021), perusahaan farmasi Merck, Sharp & Dohme (MSD) asal AS mengumumkan bahwa obat antivirus molnupiravir buatannya mampu mencegah risiko rawat inap dan kematian hingga 50 persen.
Meski belum selesai uji klinis, belum ada izin edar, dan belum ada di pasaran, obat ini sudah dilirik banyak negara termasuk Indonesia.
Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin mengatakan, pihaknya akan bekerja sama dengan Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) akan mereview obat-obatan baru untuk Covid-19.
Baca Juga: Pemerintah Hapus Cuti Bersama Hari Raya Natal 2021 untuk Cegah Lonjakan Kasus Covid-19
“Tapi juga bisa obat-obatan anti virus baru seperti yang sekarang lagi ramai didiskusikan Molnupiravir dariMerck, Sharp & Dohme (MSD). Jadi obatan-obatan tersebut sudah kita approach pabrikannya,” ungkap Budi dalam telekonferensi pers di Jakarta, Senin (4/10/2021).
Lalu, apa itu obat molnupiravir?
Guru Besar Fakultas Farmasi UGM, Prof. Dr. Zullies Ikawati, Apt, menjelaskan bahwa obat molnupiravir termasuk obat oral antivirus atau obat antivirus yang diminum.
Baca Juga: Mulai Hidup Berdampingan dengan Covid-19? Tetap Laksanakan 2 Hal Ini
"Molnupiravir obat antivirus yang dulunya dikembangkan oleh Emory University. Itu mereka sebetulnya mau mencari obat untuk ensefalitis virus (kondisi peradangan otak yang disebabkan virus, red)," kayta Zullies kepada Kompas.com, Selasa (5/10/2021).
Ketika obat ini dikembangkan, kemudian pandemi Covid-19 menyelimuti seluruh dunia. Akhirnya, obat yang tadinya dikembangkan untuk obat ensefalitis itu diramu lagi untuk diujikan ke virus corona SARS-CoV-2, penyebab Covid-19.
Selain Emory University, perusahaan farmasi Merck, Sharp & Dohme (MSD) dan Ridgeback Biotherapeutics juga terlibat dalam pengembangan obat molnupiravir.
Baca Juga: Penerapan Prokes Jadi Aspek Penting untuk Hidup Berdampingan dengan Covid-19
Mulai dari awal, hingga uji klinis 1, 2, dan 3.
"Kemudian diujikan ke Sars-CoV-2 dan ada potensi secara in vitro dan in vivo," ungkap Zullies.
Dia menjelaskan, cara kerja obat molnupiravir sama seperti obat antivirus favipiravir.
"Obat ini sendiri cara kerjanya menghambat reproduksi virus. Sebenarnya kalau secara spesifik sangat mirip dengan (obat) favipiravir karena (obat) bekerjanya di satu enzim yang namanya RNA-dependent RNA polymerase," imbuh dia.
Baca Juga: Yang Harus Dilakukan Orangtua Jika Anak Tunjukkan Gejala Sedang Stres
Hasil uji klinis fase 3
Zullies menjelaskan, Merck, Sharp & Dohme (MSD) memang sudah melaporkan hasil uji klinis fase 3 terkait obat molnupiravir. Namun dia berkata, sebetulnya uji klinis ini belum selesai dilakukan.
"Karena uji klinisnya sendiri kalau dilihat di laman clinicaltrials.gov (tempat untuk mendaftarkan uji klinik besar terkait Covid-19), itu ditulis bahwa mereka merencanakan subyek (penelitiannya) adalah 1.850 orang," papar Zullies.
Baca Juga: Ternyata Tak Sama, Ini Beda Vaksin Dosis Ketiga dan Vaksin Booster
"Yang mana, dimulainya (uji klinis) pada 19 Oktober 2020 dan perkiraan selesainya 8 November 2021. Jadi sebetulnya sekarang belum selesai," imbuh dia.
Menurut Zullies, yang kemarin dilaporkan adalah interim result atau laporan sementara yang melibatkan 750 orang.
Ke-762 orang yang terlibat dalam uji klinik obat molnupiravir ini dibagi menjadi dua kelompok, yakni kelompok plasebo (yang diberi obat kosong) ada 377 orang dan kelompok molnupiravir ada 385 orang.
Baca Juga: Bahaya Hubungan Intim Setelah Vaksin, Negara Ini Minta Warganya Menahan Diri
Pada kelompok molnupiravir sendiri dibagi lagi menjadi tiga kelompok, yakni yang mendapat dosis 200 gram, 400 gram, dan 800 gram.
Namun Zullies berkata, tidak dilaporkan berapa banyak orang yang dimasukkan ke dalam tiap kelompok dosis tersebut.
Lebih lanjut Zullies menjelaskan, ke-762 orang yang ikut penelitian adalah orang yang terkonfirmasi positif Covid-19 dengan gejala ringan hingga sedang, atau perawatannya isolasi mandiri di rumah.
Baca Juga: Ahli Sebut Adanya Kemungkinan Varian Covid-19 Asal Indonesia
Parameter yang diukur adalah berapa persen subyek penelitian yang kemudian kondisinya memburuk hingga memerlukan perawatan rumah sakit atau meninggal.
Pemantauan ini dilakukan dalam waktu 29 hari sejak pertama kali dinyatakan positif Covid-19. Kendati pemantauan pasien dilakukan selama 29 hari, tapi obat hanya dikonsumsi selama 5 hari setiap 12 jam.
Dengan kata lain, 2 x sehari konsumsi obat.
Baca Juga: Penjelasan Antibodi Vaksin Sinovac Hilang Setelah 6 Bulan, Benarkah?
View this post on Instagram
Angka yang dihasilkan adalah:
Pada kelompok molnupiravir, dalam waktu 29 hari ada 28 orang dari 385 responden (7,3 persen) yang kondisinya memburuk, masuk rumah sakit atau meninggal.
Pada kolompok plasebo, dalam waktu 29 hari ada 53 dari 377 responden (14,1 persen) yang kondisinya memburuk, masuk rumah sakit atau meninggal karena Covid-19.
Angka inilah yang membuat obat molnupiravir dikatakan dapat menekan kondisi pasien Covid-19 memburuk, ditandai dengan masuk rumah sakit atau meninggal, sampai 50 persen.
Baca Juga: Waspada! Kenali Penyebab Alami Anosmia Setelah Vaksin, Bisa Jadi OTG
"Hasil ini yang kemudian dikatakan (molnupiravir) bisa menekan sampai 50 persen," jelas dia.
Dari laporan terakhir yang diberikan Merck, Sharp & Dohme (MSD), kata Zullies, hingga saat ini belum ada informasi lebih lanjut dosis mana yang paling tepat dan akan digunakan ketika obat molnupiravir dipasarkan.
Dapatkan pembahasan yang lebih lengkap dan mendalam di Tabloid NOVA.
Yuk, langsung langganan bebas repot di Grid Store.(*)
Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul Obat Covid-19 Molnupiravir Dilirik Indonesia, Pil Apa Itu?
KOMENTAR