Masalah kami dimulai ketika mertua meminta kami tinggal di rumah yang selama ini dijadikan rumah sewa di wilayah agak pinggir kota.
Setelah pandemi, penyewa terakhir tidak memperpanjang sewa, sehingga rumahnya sempat terlantar setahun penuh.
Mertua sudah tua, jadi tidak bisa rajin ke sana.
Karena kami statusnya juga belum punya rumah (masih menabung untuk membeli), kami setuju saja. Kan, sambil menyelam minum air.
Ternyata, pindah ini malah bikin pusing, Bu. Tetangga di sekitar ternyata amat sangat suka meneropong kehidupan kami.
Entah kenapa, di mata mereka, kami ini keluarga disfungsional.
Katanya, suami cacat (maaf, saya hanya mengulang kembali perkataan yang sampai lewat mulut kesekian, Bu), kok, malah ditinggal-tinggal dan disuruh mengurus rumah dan anak. Istrinya enak-enakan keluyuran keluar rumah. Padahal saya keluar, kan, ya buat kerja.
Saya berusaha cuek, tapi suami, kan, di rumah hampir sepanjang hari, ya, Bu. Omongan-omongan miring yang tidak enak didengar, pasti mudah sekali didengar olehnya.
Dan yang bikin saya tidak tenang, anak-anak sekitar juga sepertinya ada yang mulai lancang.
Mereka bertanya, kok bapaknya anak saya kakinya kecil sebelah, kok anak saya tidak mirip bapaknya, dan banyak lagi celetukan yang tak enak didengar.
Lama-lama, saya dan suami jadi tidak betah...
Baca Juga: Konsultasi Psikologi: Adik yang Aku Rawat Meninggal, Ibu Menghilang
Penulis | : | Made Mardiani Kardha |
Editor | : | Made Mardiani Kardha |
KOMENTAR