NOVA.id - Tulisan Konsultasi Psikologi ini merupakan surat kiriman pembaca NOVA yang dijawab oleh psikolog Rieny Hassan.
TANYA
Assalamualaikum, Bu Rieny,
Saya seorang pekerja kantoran, yang sudah dikaruniai seorang putri tiga tahun lalu. Tuhan maha baik, ya, Bu. Anak saya lahir di saat pandemi, jadi saya malah berkesempatan mengasuhnya berkat WFH.
Saya bekerja sendiri, Bu, karena suami saya punya masalah dengan kakinya. Dan inilah yang sekarang sedang membuat kami pusing.
Suami saya menderita polio waktu kecil, menyebabkan kakinya lemah. Selama ini, dia mengandalkan kruk atau menyeret kaki saja, karena tidak tahan lama pakai kruk.
Saya tidak masalah dengan kondisi suami, karena kami sudah sama-sama berjanji sebelum menikah, bahwa saya akan kerja di luar dan suami mengurus rumah.
Dia sendiri, walau kadang tidak pede, sepertinya menikmati pekerjaannya sebagai bapak rumah tangga, dengan pekerjaan sambilan kadang-kadang dimintai mengedit foto atau video dari kenalannya.
Setelah anak lahir, suami juga kerap membantu urus anak, Bu. Apalagi kalau saya misalnya harus keluar sebentar beli ini-itu, yang tak bisa dibeli online. Pokoknya dia berusaha sekali.
Belakangan kami mencari sepatu khusus yang ada penyangganya, supaya dia lebih bebas bergerak kalau mengajak anak jalan-jalan ke taman.
Masalah kami dimulai ketika...
Baca Juga: Konsultasi Psikologi: Adik yang Aku Rawat Meninggal, Ibu Menghilang
Masalah kami dimulai ketika mertua meminta kami tinggal di rumah yang selama ini dijadikan rumah sewa di wilayah agak pinggir kota.
Setelah pandemi, penyewa terakhir tidak memperpanjang sewa, sehingga rumahnya sempat terlantar setahun penuh.
Mertua sudah tua, jadi tidak bisa rajin ke sana.
Karena kami statusnya juga belum punya rumah (masih menabung untuk membeli), kami setuju saja. Kan, sambil menyelam minum air.
Ternyata, pindah ini malah bikin pusing, Bu. Tetangga di sekitar ternyata amat sangat suka meneropong kehidupan kami.
Entah kenapa, di mata mereka, kami ini keluarga disfungsional.
Katanya, suami cacat (maaf, saya hanya mengulang kembali perkataan yang sampai lewat mulut kesekian, Bu), kok, malah ditinggal-tinggal dan disuruh mengurus rumah dan anak. Istrinya enak-enakan keluyuran keluar rumah. Padahal saya keluar, kan, ya buat kerja.
Saya berusaha cuek, tapi suami, kan, di rumah hampir sepanjang hari, ya, Bu. Omongan-omongan miring yang tidak enak didengar, pasti mudah sekali didengar olehnya.
Dan yang bikin saya tidak tenang, anak-anak sekitar juga sepertinya ada yang mulai lancang.
Mereka bertanya, kok bapaknya anak saya kakinya kecil sebelah, kok anak saya tidak mirip bapaknya, dan banyak lagi celetukan yang tak enak didengar.
Lama-lama, saya dan suami jadi tidak betah...
Baca Juga: Konsultasi Psikologi: Adik yang Aku Rawat Meninggal, Ibu Menghilang
Lama-lama, saya dan suami jadi tidak betah tinggal di sini. Mengapa, kok, ada orang yang punya begitu banyak waktu untuk mengurusi orang lain ya, Bu Rieny?
Apa yang sebaiknya saya lakukan, ya Bu? Terima kasih.
Mia Restu Dewi – Ciputat
JAWAB
Mbak Mia sayang,
Bila mbak Mia mau mengikuti apa yang saya sarankan ini, insyaallah apa yang terasa jadi masalah sekarang ini bakal sirna—bukan hanya berkurang.
1. Selalu ingat dan sadari bahwa yang kita miliki hanyalah diri kita sendiri. Dengan demikian, hanya diri kita yang bisa kita kendalikan, hanya diri kita yang bisa kita atur untuk merespons ataupun tidak merespons apa saja stimulus yang datang dari lingkungan.
Stimulus ini bisa berupa cerita suami tentang apa yang ia dengar dari tetangga. Bisa berupa gunjingan orang, bisa berupa ajakan untuk jalan-jalan ke mal, bisa juga berupa aduan-aduan yang cuma bikin jengkel bila kita pikirkan.
Ketika Anda katakan “stop, aku tak mau terpengaruh”, maka mestinya hal-hal buruk yang selama ini mengganggu akan menghilang karena Anda sangat sadar bahwa kalau Anda tak izinkan diri Anda mengunyah-ngunyah omongan jelek lingkungan, maka Anda akan “aman”.
Mereka akan tetap memakai hak mereka untuk bicara semau-maunya, apakah Anda lalu akan terpengaruh oleh ini? Jangan, ah!
Bergunjing...
Baca Juga: Konsultasi Psikologi: Saya Cantik, Pintar, tapi Lajang dan Kesepian
2. Bergunjing adalah puncak kemampuan orang-orang yang lemah iman dan minim kompetensi dan skill dalam hidupnya.
Apakah mbak Mia mau memilih menjadi sama seperti tetangga-tetangga yang nyinyir itu?
Atau Anda mampu meyakinkan diri bahwa omongan mereka tak manfaat untuk dimasukkan ke dalam hati, apalagi direspons?
Ayo pilih Mbak, Anda itu manusia merdeka yang bebas memilih respons, lho. Tolong tetap ingat, puncak kemampuan Anda bukanlah di bergunjing, bukan?
3. Melatih diri dan membiasakan cara berpikir yang realistis, akan membuat mbak Mia jadi pandai menghargai kondisi dan situasi yang ada pada diri Anda. Tentunya juga situasi terkait suami dan rumah tangga Anda.
4. Langkah berikut, biasakan untuk makin mampu mengendalikan emosi agar terhindar dari kecenderungan oversensitive.
Hindari bereaksi terhadap situasi sulit, hadapi dengan belajar tenang dan latih diri untuk merespons.
Beda dengan reaksi yang biasanya spontan dan kurang disertai pemikiran panjang, maka untuk merespons, paling sedikit kita butuh menganalisa situasi yang kita hadapi, sehingga perilaku yang muncul akan lebih berkualitas.
5. Kunci dari perasaan bahagia adalah diri Anda sendiri. Jangan berpikir harus pindah rumah untuk menghindari tetangga yang bergabung dalam “The Gunjing Society”. Di mana pun kita berada, pasti ada kaum mereka ini.
6. Kunci hidup tenteram dan bebas stres adalah: sederhanakan segala hal. Jangan dipersukar apalagi menjadi overthinking.
Tidak susah...
Baca Juga: Konsultasi Psikologi: Anakku Malu dengan Ayahnya yang Tidak Keren
Tidak susah kan mbak Mia, yuk dicoba. Jangan lupa, makin cepat Anda bisa berdiri tegak lagi dan tak terpengaruh gunjingan tetangga, suami dan anak akan memperoleh energi positif dari Anda.
Ekspresikan Cinta
Setelah ketegangan dalam keluarga Anda mereda, bersama suami kaji lagi posisi keluarga di mata masyarakat.
Mulailah bercerita dengan gamblang pada anak, apa penyebab polio yang diderita ayahnya.
Kondisi ayahnya adalah tanda kasih sayang Allah untuk ayah, dan itu tak memengaruhi kemampuannya sebagai kepala keluarga.
Tetaplah mengekspresikan cinta dan bangga Anda pada suami, mesralah selalu, kalau perlu saat ada tetangga yang sedang “mengintip”.
Jangan gundah gulana lagi, ya. Salam hormat buat suami kesayangan dan kebanggan Anda. Dan jangan segan menulis email lagi. Insyaallah kita terhubung terus, ya. Salam manis. (*)
(Bila Anda ingin berkonsultasi dengan psikolog Rieny Hassan, silakan kirimkan kisah Anda ke email nova@gridnetwork.id dan tuliskan “Konsultasi Psikologi” pada subjek email. Tuliskan juga nama–boleh nama samaran–dan kota domisili Anda.)
Penulis | : | Made Mardiani Kardha |
Editor | : | Made Mardiani Kardha |
KOMENTAR