NOVA.id - Perceraian antara Inara Rusli dengan Virgoun saat ini memulai babak baru.
Saat ini, proses perceraian keduanya sudah sampai pada tahap mediasi pada Rabu (31/05).
Diberitakan sebelumnya jika baik Inara maupun Virgoun sama-sama ingin memenangkan hak asuh anak.
Hal tersebut dibenarkan oleh kuasa hukum Virgoun, Wijayono Hadi Sutrisno yang menyebut jika kliennya telah mengajukan gugatan atas hak asuh anak.
"Tapi yang jelas dia menyatakan seperti itu (gugatan hak asuh anak)," ucap Wijayono Hadi Sutrisno seperti yang dikutip dari YouTube Sambel Lalap, Kamis (01/06).
Meskipun begitu, proses pengajuan gugatan hak asuh anak Virgoun terbilang cukup pelik.
Hal itu dikarenakan Inara Rusli telah terlebih dahulu mengajukan hak perwalian atas ketiga anaknya.
"Sebenarnya kita hanya selisih satu hari ya, karena dari pihak sana (Inara) sudah mengajukan jadi nggak bisa dua pihak mengajukan," ungkapnya.
Ketika gugatan tersebut sudah diajukan oleh Inara Rusli pihak Virgoun pun hanya bisa mengikuti proses hukum yang berlaku.
"Kalau dua mengajukan itu kan nanti salah satunya digugurkan oleh majelis hakim."
"Ketika sudah diajukan oleh pihak sana ya kita ngikutin aja," bebernya.
Baca Juga: Virgoun Kesulitan Dapat Hak Asuh Anak, Kuasa Hukum Sebut Ini Ulah Inara Rusli
Mengutip dari Tribun Lampung, jika anak masih di bawah umur, hak asuh tetap jatuh ke tangan sang ibu.
Putusnya sebuah ikatan perkawinan akan berdampak pada hak asuh anak jika suami isteri tersebut bercerai dengan memiliki beban dan tanggung jawab anak.
Di dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan Pasal 45 ayat (2) dijelaskan bahwa orangtua berkewajiban memelihara dan mendidik anak sebaik-baiknya sampai anak itu kawin atau dapat berdiri sendiri, dan kewajiban itu berlaku terus meskipun perkawinan antara kedua orang tua putus.
Terkait hak asuh anak baik yang beragama Muslim maupun Non-muslim, hak asuh anak di bawah umur 12 tahun pasca putusnya perkawinan tetap jatuh kepada ibunya.
Bagi yang beragama Islam (Muslim) diatur dalam Pasal 105 Kompilasi Hukum Islam (KHI) yang menjelaskan bahwa dalam hal terjadinya perceraian, a. Pemeliharaan anak yang belum mumayyiz atau belum berumur 12 tahun adalah hak ibunya; b. Pemeliharaan anak yang sudah mumayyiz diserahkan kepada anak untuk memilih di antara ayah, atau ibunya sebagai pemegang hak pemeliharaanya; dan c. biaya pemeliharaan ditanggung oleh ayahnya.
Sementara bagi yang non-muslim hak asuh anak jatuh pada ibunya dengan dasar hukumnya merujuk pada Yurisprudensi (Putusan Pengadilan terdahulu) yakni Putusan Mahkamah Agung RI No. 126 K/Pdt/2001 tanggal 28 Agustus 2003 yang menjelaskan bahwa "..bila terjadi perceraian, anak yang masih di bawah umur pemeliharaannya seyogiyanya diserahkan kepada orang terdekat dan akrab dengan si anak yaitu Ibu.."
Selain itu di dalam Putusan Mahkamah Agung RI No. 102 K/Sip/1973 tanggal 24 April 1975, dijelaskan bahwa "berdasarkan Yurisprudensi mengenai perwalian anak, patokannya ialah bahwa ibu kandung yang diutamakan, khususnya bagi anak-anak yang masih kecil, karena kepentingan anak yang menjadi kriterium, kecuali kalau terbukti bahwa Ibu tersebut tidak wajar untuk memelihara anaknya."
Dengan mengacu pada ketentuan ini, ibu adalah pemegang hak prioritas utama dalam hal hak asuh anak, terutama anak yang usianya dibawah usia 12 (dua belas) tahun, namun keadaan ini tidak berlaku dan hak asuh anak juga tidak tertutup kemungkinan diberikan kepada sang ayah kalau ibu tersebut memilki kelakuan yang tidak baik, serta dianggap tidak cakap untuk menjadi seorang ibu, terutama dalam mendidik anaknya sehingga terbukti bahwa Ibu tersebut tidak wajar untuk memelihara anaknya, hal ini sesuai dengan Putusan Mahkamah Agung RI No. 102 K/Sip/1973 tanggal 24 April 1975.
Berdasarkan beberapa literatur hukum banyak ditemukan alasan yang dapat mengakibatkan seorang ibu kehilangan hak asuh terhadap anaknya, sehingga terbukti bahwa Ibu tersebut tidak wajar untuk memelihara anaknya.
Ada beberapa alasan hak asuh anak tidak diberikan pada ibunya karena menjadi pemabok, pemadat, penjudi, dan melakukan tindakan tidak terpuji lainnya yang sulit untuk disembuhkan; sang ibu mendapat hukuman penjara; sering melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan anak serta alasan lain yang tidak dapat menjamin keselamatan jasmani dan rohani anak-anaknya tersebut.
Di dalam prakteknya bahwa hak asuh anak dapat diberikan pada ayahnya bukan pada ibunya saja, hal ini dapat dilihat pada Putusan Pengadilan Agama Bekasi yang telah memutus perkara dengan Nomor: 354/Pdt.G/2007/PA.Bks, Majelis Hakim memutuskan hak asuh anak diberikan kepada Bapak (Pemohon).
Baca Juga: Inara Rusli Rahasiakan Perceraian dari Anak-anak, Sebut Virgoun Sedang Bekerja
Putusan tersebut disertai pula alasan-alasan bahwa Ibu (Termohon) dari anak-anak tersebut tidak amanah, tidak mempunyai kemauan dalam mendidik anak-anak dan tidak dapat menjaga pertumbuhan, pendidikan dan kenyamanan anak-anak serta tidak mampu menjaga kemaslahatan dan kepentingan anak-anak.
Dengan demikian meskipun tidak memiliki pekerjaan dan berpenghasilan tetap, ibu tetap memiliki hak asuh atas anaknya yang belum berusia 12 tahun, kecuali ditentukan lain oleh Peratuan Perundang-undangan, karena meskipun ibunya kurang mampu dalam hal urusan finansial dengan merujuk ketentuan Pasal 105 huruf (c) Kompilasi Hukum Islam, maka biaya pemeliharaan tetap ditanggung oleh ayahnya meskipun kedua orangtuanya telah bercerai (putus perkawinannya). (*)
Atlet New Balance Triyaningsih Berhasil Taklukan Kompetisi TCS New York City Marathon 2024
Penulis | : | Nadia Fairuz Ikbar |
Editor | : | Maria Ermilinda Hayon |
KOMENTAR