NOVA.id - Sahabat NOVA, menjadi seorang ibu adalah tugas dan peran yang harus dijalankan seumur hidup.
Label ibu bisa diartikan sebagai istri yang patuh, koki yang andal, guru anak terbaik, ahli finansial keluarga, dokter keluarga, dan masih banyak lagi peran lainnya.
Berbeda dengan laki-laki yang selama ini hanya dikenal sebagai pencari nafkah.
Jika urusan domestik yang tak ada habisnya sudah melelahkan, tentu hal ini semakin menjadi tantangan bagi perempuan bekerja yang baru saja melahirkan.
Kenyataannya, menurut riset Parapuan pada April 2021 tentang pembagian peran domestik, sebanyak 58,6 persen laki-laki merasa tugas domestik adalah tugas sampingan. Sementara pada perempuan, bahkan tidak ada yang tidak melakukan tugas domestik.
Jadi, alih-alih mendapatkan istirahat berkualitas pasca persalinan, perempuan justru sudah dihantui dengan deretan tugas dan tanggung jawabnya sebagai istri, sekaligus peran barunya, yakni ibu.
“Nanti kalau kamu dan suami kerja, anakmu sama siapa? Masih bisa WFH?”
“Kalau Senin-Jumat kerja, berarti kamu baru bisa sama beres-beres rumah dan ngurusin anak di weekend aja, ya?
Sahabat NOVA mungkin merasakan hal yang sama?
Cemas ketika (lagi-lagi), harus melewati perasaan mengurus anak sendiri dan menghadapi kekerasan simbolik bahwa ibu pekerja adalah egois dan ambisius, sehingga kerap diminta untuk resign dari pekerjaannya usai melahirkan oleh orang-orang terdekat.
Situasi ini tanpa disadari menempatkan perempuan pada pilihan yang sulit.
Pilihan untuk tetap bekerja, tapi dibarengi tuntutan menyediakan pengurusan anak yang berkualitas (yang membutuhkan biaya mahal), seperti babysitter atau daycare.
Baca Juga: Auto Langsing! 4 Cara Mengencangkan Otot Perut Setelah Melahirkan
Atau pilihan untuk justru keluar dari pekerjaan dan mengurus anak sendiri, namun kehilangan penghasilan.
Hal-hal ini bisa memicu perempuan mengalami gejala baby blues usai melahirkan, masalah psikologis yang menyebabkan ibu lebih emosional dan sensitif. Oleh sebab itu, peran suami sangat dibutuhkan dalam menemani ibu pasca persalinan.
Nada positif terucap dari Santi, seorang ibu yang suaminya bekerja di perusahaan yang memberikan cuti ayah sebagai lanjutan dari 3 bulan cuti melahirkan yang diterimanya.
“Meski hanya 1 minggu, tapi rasanya terbantu banget. Aku merasa dihargai. Aku kayak…merasa lebih disayang,” ceritanya sambil menarik napas dan tersenyum.
Ketika Bapak-Bapak Mengambil Cuti Ayah
Saat ibu pekerja seperti Santi sudah kehabisan masa cuti, suami bisa meringankan tugas untuk merawat bersama si kecil melalui cuti melahirkan untuk ayah.
Sungguh menyegarkan saat NOVA mendengar cerita seorang ayah yang sadar akan tanggung jawabnya merawat bersama, dan bersedia menggunakan cuti tersebut untuk meringankan beban istrinya.
“Saya mendapatkan cuti melahirkan dua hari dari kantor, namun karena waktu persalinan hampir bertepatan dengan hari raya Idulfitri, saya diizinkan menemani istri dari H-7 sebelum lebaran hingga H+7 setelah lebaran.”
“Istri melahirkan lewat operasi caesar, sehingga saya membantunya melakukan latihan mobilisasi, dari miring kanan dan kiri, duduk, berdiri, hingga berjalan saya bantu. Kasihan, istri masih menahan sakitnya luka operasi caesar.”
“Di rumah setiap pagi sebelum bekerja, saya bantu menjemur bayi saya yang baru berusia satu minggu supaya tidak kuning. Walau belum bisa ikut mengganti popok atau memandikan, setidaknya istri saya bisa makan dengan tenang karena saya ikut jaga anak,” ujar Royan Arizqi, seorang ayah satu anak kepada NOVA.
“Saya merasakan adanya dukungan dari perusahaan yang mengizinkan saya full WFH (Work from Home) untuk menemani istri melahirkan.”
Baca Juga: Tips Menurunkan Berat Badan Setelah Melahirkan Ala Influencer Mami Key
“Padahal, saya seharusnya bekerja WFO (Work from Office) dua kali seminggu,” lanjut Royan yang bekerja di perusahaan farmasi.
Paternity leave, atau cuti melahirkan untuk ayah, memang bisa berbeda-beda di setiap perusahaan. Menurut UU Ketenagakerjaan No. 13 Tahun 2003, cuti melahirkan untuk ayah hanya diberikan selama 2 hari.
Meski singkat, manfaat paternity leave berdampak nyata bagi keluarga. Dilansir dari WebMD, manfaat paternity leave adalah ayah bisa memberikan ibu kesempatan untuk kembali bekerja, memulihkan diri pasca persalinan, hingga merawat bersama anak yang lebih sehat.
Budaya merawat bersama seperti di atas dapat dimulai dengan kita mengenal prinsip 5R dalam, yakni Recognize, Reduce, Redistribute, Reward, dan Represention.
Semangat merawat bersama dengan 5R ini juga telah didorong oleh Organisasi Perburuhan Internasional atau International Labour Organization (ILO) yang saat ini sedang gencar mengkampanyekan prinsip 5R untuk ekonomi perawatan (care economy) dengan beban ganda perempuan.
Melalui kampanye ini, ILO mengupayakan terciptanya lingkungan keluarga dan lingkungan kerja yang suportif terhadap ibu pekerja.
1. Recognize (Mengakui)
Kita semua, sebagai masyarakat, perlu mengetahui dan memahami bahwa urusan domestik dan mengurus anak itu tidak ada habisnya, melelahkan, dan tanpa upah.
Namun, sayangnya budaya patriarki kerap kali menganggap urusan domestik adalah tanggung jawab ibu semata.
Padahal, semua urusan domestik dan mengurus anak juga mampu dikerjakan oleh para suami, laki-laki, seperti mencuci, menyapu, bahkan memasak.
Hal yang hanya dapat dilakukan oleh perempuan adalah menstruasi, hamil, melahirkan, dan mengASIhi.
Di luar keempat hal tersebut, semua tugas dan peran dapat berbagi bersama antara ibu, ayah, dan anak.
Baca Juga: Jangan Cuma Perhatikan Bayi, Suami Lakukan Ini Setelah Istri Melahirkan Hindari Baby Blues
Seperti pengalaman Mutqinul Fahmi, manager di bidang retail yang selama ini hanya melaksanakan kewajibannya sebagai tulang punggung. Selama menikah, Fahmi membiarkan sang istri yang merupakan ibu rumah tangga untuk mengurus segala pekerjaan domestik.
Ketika istrinya melahirkan dan Fahmi mengambil cuti ayah, barulah dirinya menyadari betapa lelahnya menjadi ibu rumah tangga.
“Capek banget ngurus rumah dari pagi sampai malam. Dari nyapu pagi-pagi sampai kunci garasi malam-malam. Belum lagi bergadang karena bayi minta susu.”
“Ternyata, lelah di kantor belum ada apa-apanya, dikerjakan pasti kelar. Beda sama kerjaan ibunya Bella, nih. Enggak kelar-kelar sehari semalam,” akunya.
2. Reduce (Mengurangi)
Setelah menyadari bahwa urusan domestik dan juga mengurus anak adalah tugas yang dapat dilakukan semua orang, ibu dan ayah bisa merundingkan pekerjaan yang dapat dilakukan masing-masing pihak. Dengan begini, beban ibu bisa berkurang.
Usai melahirkan, ibu fokus merawat anak, sedangkan ayah mengambil dan memanfaatkan cuti melahirkan untuk menyiapkan keperluan ibu dan bayi.
Ayah juga dapat membantu membersihkan rumah, memasak, bahkan memberi makan dan mengganti popok bayi.
Berkurangnya pekerjaan ibu dapat membuatnya bisa beristirahat agar lekas pulih pasca lahiran.
3. Redistribute (Membagi)
Selain mengurangi beban ibu, tugas-tugas lainnya juga bisa didelegasikan. Misalnya, ayah belajar membantu menggendong dan mengganti popok untuk si kecil.
Tugas ibu juga bisa didistribusikan kepada anggota keluarga lainnya ataupun mencari alternatif sesuai kesepakatan.
Seperti meminta kakak menjaga adik saat ibu mandi, atau menggunakan jasa katering sehat pasca persalinan agar kebutuhan dan nutrisi keluarga tetap terpenuhi selama ibu pemulihan.
Baca Juga: Selamat! Sisca Kohl Melahirkan Anak Pertama Perempuan, Ini Arti Namanya
Apabila tidak ada anggota keluarga yang dapat membantu, kita bisa membuat kesepakatan bersama menggunakan jasa babysitter atau PRT (Pekerja Rumah Tangga), yang tentunya membutuhkan alokasi dana tersendiri.
4. Reward (Menghargai)
Cuti melahirkan untuk ayah memberikan manfaat besar dalam membangun keluarga.
Pembagian tugas dalam merawat bersama anak dan juga pekerjaan rumah tangga bisa membuat ibu lebih sehat secara fisik dan mental.
Ibu lebih banyak mendapat waktu istirahat untuk kesehatan fisiknya, dan me time untuk kesehatan mentalnya.
Menurut dokter spesialis anak, dr. Meita Dhamayanti, SpA(K), M.Kes, dikutip dari Kompas.com, ibu yang bahagia akan membesarkan anak bahagia.
Ayah dan anggota keluarga lain yang ikut berbagi tugas juga semakin menghargai ibu dalam mengerjakan urusan domestik yang melelahkan.
Hak cuti ayah untuk menemani istri melahirkan kerap tidak diketahui. Kalau pun tahu, cuti ayah kerap tidak diambil karena masih dianggap sepele atau karena waktunya yang singkat.
Padahal, dengan mengambil cuti ayah (yang ketika diambil, sang ayah tetap dibayar oleh perusahaan), perusahaan turut berkontribusi memberikan penghargaan bagi para ayah untuk ikut berperan mendukung istri melahirkan.
Apalagi, cuti ayah adalah sesuatu yang paling dibutuhkan ibu saat persalinan hingga pasca melahirkan.
5. Represent (Merepresentasikan)
Dengan banyaknya manfaat yang bisa diambil dari cuti melahirkan untuk ayah atau melakukan tugas pengasuhan anak, sudah saatnya semua pihak turut merawat bersama.
Apalagi, momen melahirkan dan merawat si kecil adalah hal yang tidak bisa terulang.
Bila masih banyak cuti ayah yang belum diketahui manfaatnya, sudah waktunya cuti ayah ini dipromosikan ke teman-teman kita yang memiliki tanggung jawab keluarga.
Kalau sudah tahu soal adanya hak cuti ayah berbayar yang dapat diambil, manfaatkan lah untuk makin meningkatkan kualitas hubungan dengan istri, anak, dan anggota keluarga.
Perusahaan atau tempat kerja kita belum memberikan hak cuti untuk para ayah? Maka, sudah sepatutnya baik perempuan dan laki-laki pekerja dengan tanggung jawab keluarga, menyuarakan hal ini agar bisa tercipta kebijakan yang bermanfaat bagi keluarga kita
"Itu harus disuarakan. Jadi, perlunya kerja sama antara Serikat Pekerja juga manajemen perusahaan untuk bisa mendiskusikan pentingnya berinvestasi pada kebijakan dan layanan tersebut," terang Early Dwi Nuriana, perwakilan ILO, dikutip dari wawancara eksklusif bersama Nakita pada Selasa, (15/08).
"Cuti ayah hanya salah satu sarana pelibatan ayah dalam pekerjaan pengasuhan. Namun, ayah juga bisa terus berupaya meluangkan waktu untuk terlibat merawat bersama," imbuhnya.
Tapi, mari kita ingat bersama ya, Sahabat NOVA, bahwa cuti ayah hanya salah satu sarana untuk melibatkan Ayah dalam pekerjaan pengasuhan.
Para ayah tetap perlu terus terus berupaya meluangkan waktu untuk terlibat dan merawat bersama.
(*)
Penulis | : | Tiur Kartikawati Renata Sari |
Editor | : | Tiur Kartikawati Renata Sari |
KOMENTAR