NOVA.id - Sambal yang merupakan asli Indonesia memang tidak ada duanya, rasanya yang pedas tapi nikmat membuat siapa saja ketagihan, bahkan sampai ada istilah taubat sambal.
Pantas saja jika banyak penikmatnya yang sampai enggak bisa makan jika tanpa sambal.
Bermula dari pengalaman pribadi yang tak bisa makan tanpa sambal ini pula yang membuat Susilaningsih (67) memulai usaha sambal, tepatnya pada tahun 2011 setelah pensiun dari pekerjaannya.
Meskipun usianya tidak muda lagi, Susi rupanya enggak mau setengah-setengah dalam bermimpi.
Dengan penuh keyakinan, saat itu salah satu Srikandi untuk Negeri ini bertekad jika produk sambal buatannya harus bisa mendunia.
“Di benak saya, saya ingin mengglobalkan sambal. Jadi itu adalah cita-cita dan visi saya saat memulai usaha ini,” ujar Susi kepada NOVA.
Dengan modal Rp50.000 dia mulai membuat sambal Surabaya dan menghasilkan 10 botol sambal pertama yang dijual dengan harga Rp10.000.
“Waktu itu dikirim ke toko-toko ditolak, karena belum punya izin.
Jadi ya promosi ke orang terdekat, saudara, dan tetangga dari mulut ke mulut. Eh, saya punya produksi sambal lho, sambalku. Enak lho. gitu” kenangnya.
Menariknya, justru testimoni dari mulut ke mulut itulah yang membuat sambal yang diberi nama Dede Satoe (DD1) itu mulai dikenal.
Ekspor Perdana Gagal Singkat cerita, Susi pun mulai mengurus berbagai izin yang diperlukan seperti sertifikasi halal dan izin dari Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM).
Baca Juga: Profil Valerina Daniel, Moderator Debat Capres 2024 Perdana Ternyata Sosok Inspiratif
Produk DD1 akhirnya mulai masuk ke berbagai supermarket dan minimarket di Indonesia.
Susi bahkan sudah tidak mengulek sambalnya sendiri, ia memberdayakan para ibu yang berada di sekitar kediamannya untuk membantunya di ruang produksi.
Hingga akhirnya di tahun 2013 pesanan datang dari Korea Selatan sebanyak 2.000 botol.
Tentu saja Susi sangat senang. Setelah melewati serangkaian prosedur ia pun berhasil mengirimkan produknya.
“Nah, pada waktu di Korea dia request mau sambal ikan. Langsung saya turuti dan sampai sana (sampelnya) diperiksa Food and Drug Administration (FDA) Korea, lolos. Ternyata begitu produknya sampai di Korea, di bea cukai sana enggak lolos, karena produk saya ada ikannya,” kata perempuan yang bisa dibilang Srikandi untuk Negeri itu.
Alhasil, produk sambal pun harus dibuang di negara tujuan. Kendati begitu pengalaman itu tak menghentikan langkahnya.
Kata Susi, “Jadi pelajaran, kalau dari luar ada yang minta jangan yang ada ikannya dulu, saya belum kuat karena banyak sekali prosedurnya. Harus ada sertifikasi-sertifikasi lain yang mendukung produk ikan.”
Tak lama setelah itu ia pun mengikuti pameran Jatim Fair, di sana lagi-lagi ia mendapatkan tawaran untuk mengekspor produknya ke Amerika Serikat.
Hingga saat ini produknya dipasarkan di New York, Virginia, Los Angeles, Vancouver, dan Kanada.
Tahun 2021 Susi mencoba merambah pasar New Zealand dan Australia. Pada April 2022 sambal Dede Satoe (DD1) diekspor ke Belanda.
Dalam waktu dekat ini Susi akan mencoba mengekspor produknya ke Jepang dan Timur Tengah.
Hingga saat ini Dede Satoe (DD1) memiliki 15 varian sambal antara lain, sambal ikan roa, ikan teri, ikan peda, ikan jambal roti, sambal sereh, ikan klotok, sambal rujak manis, sambal pecel, serta sambal korek.
Semuanya dibuat tanpa penyedap rasa. Wah, keren banget ya! Sukses terus sambal Dede Satoe. (*)
(DINNI KAMILANI)
Penulis | : | Maria Ermilinda Hayon |
Editor | : | Maria Ermilinda Hayon |
KOMENTAR