Dalam Tabloid NOVA edisi 1702, dikatakan bahwa sebenarnya secara nature bisnis, sama dengan konvensional, secara persyaratan bisa jadi sama.
Akan tetapi, karena kita masuk ke dalam konsep prinsip syariah, maka transaksi-transaksi keuangan yang sudah biasa kita lakukan itu dilegalisasi agar sesuai dengan kaidah-kaidah syariat.
Sehingga, selain hukum positif dari BI atau OJK yang kita penuhi peraturannya, kita juga ikuti fatwa atau opini dari Dewan Syariah Nasional (DSN) MUI.
Dengan begitu, akan ada rambu- rambu syariah di area fintech, mulai dari akad, syarat, rukun, hukum, administrasi pajak, akuntansi, hingga audit.
Pada dasarnya fintech P2P syariah harus merujuk kepada salah satu prinsip muamalah, yakni asas kerelaan para pihak yang melakukan akad.
Adanya syarat objek (‘aqid), subjek (mu’qud alaihi), dan keinginan untuk melakukan akad (sighat).
Ada juga rukun yang harus terwujud, yakni adanya harga atau upah serta manfaat, serta adanya hukum yang mengiringi, misalnya berbentuk undang-undang, fatwa, dan sertifikasi halal.
Nah, kalau soal bunga bagaimana?
Bunga di P2P lending syariah tidak diperbolehkan, karena mengandung unsur riba yang bertentangan dengan prinsip syariah yang dijalankan.
Sehingga setiap akad yang dilakukan dalam peminjaman syariah ini tidak memiliki bunga di dalam transaksinya.
Namun sifatnya lebih kepada keuntungan tertentu yang disepakati bersama saat menyetujui sebuah akad berdasarkan prinsip syariah yang berlaku.
Baca Juga: Apa Bedanya BPJS Ketenagakerjaan Syariah dan BPJS Ketenagakerjaan Konvensional?
Penulis | : | Maria Ermilinda Hayon |
Editor | : | Maria Ermilinda Hayon |
KOMENTAR