TabloidNova.com - Media sosial kerap menjadi sarana para perempuan pekerja melontarkan pendapat soal besarnya biaya hidup dan tinggal di Ibukota. Sebagian beranggapan bahwa perempuan lajang lebih bisa menikmati hasil kerjanya ketimbang perempuan yang sudah menikah, apalagi memiliki anak. Sebab, umumnya perempuan menikah lebih cepat menghabiskan gaji untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Apakah benar? Nyatanya, tidak!
Ternyata, sebagian dari perempuan pekerja bidang kreatif cenderung boros. Bahkan, fenomena ini terjadi bukan di pertengahan bulan atau di akhir bulan, melainkan di awal bulan setelah baru menerima uang gaji.
"Profesi sebagai interior designer mau tidak mau menuntut saya untuk tampil baik saat berada di depan klien. Terlebih saat ini saya bernaung di bawah perusahaan bertaraf internasional yang bergengsi. Kebanyakan klien saya juga tampil rapih dan cenderung berkelas," ujar Syamilah Agustya, yang sering menangani interior gerai terbaru Starbucks.
Bidang pekerjaan, lokasi pekerjaan, serta siapa saja yang ditemui biasanya menentukan bagaimana perempuan pekerja kreatif menggunakan uang gajinya. Penampilan mendekati kesan sempurna dari setiap sisi diakui menjadi bumerang dalam mengatur pendapatan.
"Sulit juga untuk menahan kebutuhan yang tanpa disadari memang kita perlukan. Profesi saya sebagai Marketing Communication di salah satu agency PR memaksa saya tampil elegan, modis, dan modern. Jadwal meeting dengan klien pun biasanya di lokasi tengah kota, mall mewah atau kafe yang cukup menguras kocek, belum lagi urusan transportasi," cerita Panca Candikarini, saat ditemui TabloidNova.com di acara Resources of Indonesian Craft (Crafina 2014), di Jakarta Convention Center (JCC), Rabu (26/11) lalu.
Pendapat yang sama juga diutarakan oleh Wiwiet, Kiki, Nieva, dan Lulu, yang sehari-hari berprofesi sebagai Editor Mode dan Kecantikan. Mereka mengaku, kadang fokus terbesar pengeluaran mengarah pada penampilan dan tren yang sedang berkembang.
Selain ketiga faktor di atas, sebagian besar pekerja perempuan di bidang kreatif lebih banyak membelanjakan uangnya untuk urusan bersosialisasi atau gaya hidup. Masalah gengsi atau prestise juga sering membayangi mereka.
"Mengurus rubrik kecantikan mempengaruhi saya untuk tampil selayaknya profesi yang diemban. Latah mencoba berbagai metode terbaru sampai urusan produk kecantikan dan kosmetik yang -jujur- malu jika tidak berkualitas dan tidak branded," cerita Nieva dan Lulu yang bekerja di sebuah redaksi majalah ternama di ibukota.
Istilah besar pasak daripada tiang kerap dialami oleh para perempuan yang bekerja di bidang kreatif ini. Tak jarang sebagian dari mereka memanfaatkan fasilitas kartu kredit untuk memenuhi kebutuhan gaya hidup.
"Saat terima gaji, pikiran pertama pasti langsung ingin membayar tagihan kartu kredit karena membeli tas, sepatu, atau gadget yang baru dibeli sebulan lalu. Terus sisanya ya digunakan untuk ongkos transpor, isi bensin, makan, dan isi pulsa, atau sekadar nongkrong dan nonton bioskop," ungkap Wiwiet.
Lalu, apakah semua wanita pekerja kreatif seperti itu? Psikolog Mila Budianti, M.Psi, mengemukakan bahwa fenomena ini memang sudah banyak terjadi dan menjadi penyakit masyarakat yang hidup di perkotaan. Rasa tidak percaya diri dan mudah terbawa arus melandasi sikap yang disebutnya bias modernisasi.
"Tidak hanya wanita saja, para pria pun juga mengalami fenomena ini. Salah kaprah terhadap cara menjalani hidup yang sesuai, bersahaja dan bahagia diartikan hanya dalam tolok ukur materi semata. Padahal, jika terus dilanjutkan, penyakit ini membuat masyarakat terlibat masalah besar serta miskin dalam mengambil persepsi orang sekitar," jelas psikolog lulusan Universitas Atma Jaya tersebut.
Ridho Nugroho
Atlet New Balance Triyaningsih Berhasil Taklukan Kompetisi TCS New York City Marathon 2024
KOMENTAR