TabloidNova.com - Setiap fashion show yang digelar di hampir seluruh penjuru dunia, yang menandakan sudah tibanya pergantian musim, berlomba-lomba menampilkan busana, sepatu, tas, aksesori, make-up, dari ujung rambut sampai ujung kaki. Peragaan tren mode dunia ini seolah merepresentasikan bahwa itulah gaya dan warna yang paling cocok digunakan di musim semi dan panas tahun ini.
Padahal, coba perhatikan saja apa yang akan selalu Anda saksikan dari fashion show satu ke fashion show lainnya, atau dari majalah gaya hidup yang satu dengan majalah yang lain. Anda akan selalu melihat terus menerus dari sepatu jenis sneakers ke platform, dari kulot ke skinny jeans, dari atasan penuh draperi hingga blus gombrong warna-warni, dari rok pendek ke rok bawah lutut.
Tak ada yang terlalu berubah, bukan? Kalau pun ada perubahan, hanya sekitar 1-2 sentimeter soal panjang dan pendeknya pakaian, atau pada
warna. Sementara pemilihan bahan, biasanya orang-orang hanya akan mengenakan busana berbahan tebal dan panjang pada saat akan memasuki musim dingin saja, dan itu pun terjadi di hampir seluruh belahan dunia yang memiliki empat musim.
Menurut sejumlah pengamat fashion dunia, tren ibarat peta bintang di antariksa. Kita diarahkan ke sesuatu hal yang antah berantah. Semua
mata tertuju pada karya para desainer setiap musimnya. Dan karya mereka disempurnakan oleh majalah-majalah gaya hidup yang selama ini
memang dikenal sebagai kiblat fashion dunia, seperti Vogue atau Harper's Bazaar.
Kita didikte oleh sekelompok komunitas fashion bagaimana cara mengikuti tren, apa yang seharusnya dipakai, dan bagaimana mengenakannya. Misalnya saja, di era 1980-an, kita akan tampak dan dinilai sangat fashionable jika mengenakan baju dengan padding tinggi
di bahu.
Namun tampaknya hal itu sudah mengalami pergeseran di era sekarang. Untuk tampil keren atau fashionable, kini orang-orang justru lebih
suka tampil apa adanya atau sesuai kepribadiannya. Sehingga cukup sulit bagi para pelaku fashion saat ini untuk menggiring banyak orang
mengikuti tren yang berlaku. Hal ini oleh banyak kalangan disebut sebagai fenomena street style, atau gaya jalanan.
Sharon Graubard, analis tren dan konsultan fashion untuk Stylesight mengatakan, "Setiap penciptaan tren saat ini diprediksi akan lebih
menantang bagi para desainer setiap tahunnya, dengan semakin sedikitnya 'barang wajib punya' yang ditawarkan oleh para desainer
dan retailer ke konsumen."
Kini, kata Graubard, setiap orang sudah tak terlalu peduli lagi apa yang sedang tren dan yang sudah tidak tren lagi. Mereka lebih memilih
mengenakan busana atau produk fashion yang sesuai dengan bentuk tubuh dan kepribadian mereka dalam menampilkan dirinya.
Graubard menyimpulkan, sudah selayaknya saat ini kita berterima kasih kepada internet yang bisa memberikan rekomendasi gaya jalanan
(street style) yang nyaman digunakan kepada semua orang. Sebab, sudah bukan hal yang mustahil lagi kini bagi setiap orang untuk terhubung
kepada internet. Melalui internet pula setiap orang bisa memiliki rok pendek merek Loius Vuitton, meskipun hanya tiruan. Sehingga tantangan desainer adalah fokus pada bagaimana cara membuat penanda bahwa produk buatannya adalah asli, ketimbang menciptakan tren itu sendiri.
Maka tak heran bila sejumlah majalah gaya hidup yang masih terbit saat ini tidak lagi selaku di masa jayanya. Sebab setiap orang kini sudah
semakin bebas mengekspresikan gaya pribadinya, tanpa perlu khawatir disebut ketinggalan zaman.
Saat ini setiap orang lebih suka melihat apa yang ada di internet. Misalnya mengunduh banyak aplikasi media sosial Instagram atau Pinterest untuk mengikuti gaya dari orang-orang biasa yang dianggap memiliki gaya atau penampilan keren, bukan lagi meniru para pesohor seperti para model, bintang film, atau penyanyi tenar.
Graubard mengatakan, "Saat ini bukan hanya para desainer yang bersikap lebih akurat terhadap produknya; para konsumen kini tak hanya sekadar membeli produk, tapi juga semakin memikirkan apakah produk itu menggambarkan pribadinya secara akurat atau tidak."
KOMENTAR