Tantangan demi tantangan bisa Anda lalui, karena sekali lagi, tak ada perasaan yang, jika Anda tak bekerja dengan baik, kemudian akan kehilangan pekerjaan, dan ada banyak manusia-manusia lain yang menderita karenanya. Maka dari itulah kita sering mendengar, bila bekerja atau belajar bisa dilakukan tanpa tekanan, maupun perasaan tertekan, manusia justru akan mampu merealisasikan potensi yang dimiliki dengan mudah.
Jadi, lain benar rasanya saat tiba-tiba suami di-PHK dan Anda mendapati, jika Anda tak bekerja, siapa yang akan menafkahi keluarga Anda? Anda tiba-tiba merasa, kondisi ideal yang sebelumnya terasa melenakan, kini sirna dan situasinya, kok, tak bisa dikendalikan seperti sebelumnya? Stres lalu muncul dan ini yang kemudian timbul dalam gejala-gejala yang Anda ceritakan di atas. Curiga, takut, panas dingin, dan merasa lemas, itu semua adalah gambaran atau manifestasi dari stres tadi.
Dalam bahasa psikologi, kita katakan ada perubahan pada penghayatan peran, akibat suami sebagai kepala keluarga kehilangan perannya yang paling berarti, yaitu pencari nafkah utama dalam keluarga. Uang, yang kita peroleh melalui pekerjaan, adalah sumber rasa aman yang cukup bermakna dalam kehidupan kita. Memang, punya uang bukan jaminan kebahagiaan, tapi dengan uang, ada banyak peluang yang bisa kita manfaatkan untuk menjadi bahagia, bukan? Sebaliknya, ketika penghasilan utama tiba-tiba menghilang, rasa takut dan cemas pasti akan muncul karena rasa aman berganti dengan ketidakpastian, dan di tangan Andalah kepastian itu bisa terwujud.
Semua ini sebenarnya adalah perasaan dan penghayatan, Bu, karena alam kondisi obyektifnya, bisa Anda atasi, kan? Artinya, mengambil peran sebagai pencari nafkah utama sampai suami kemudian bekerja kembali. Kenapa Anda masih bisa punya kecemasan tinggi? Rupanya, pengalaman itu Anda kemas dalam perspektif yang pesimis ya, Bu. "Aduh, jika nanti suamiku di-PHK lagi, kuat tidak ya, aku menjalankan peran seperti saat itu? Sekarang anakku dua dan badan sering lunglai." Padahal, pengalaman tadi sebenarnya bisa juga kok, Anda kemas dengan mengedepankan sisi positifnya, sehingga optimisme yang akan muncul, "Aku sudah buktikan, aku bisa mengatasi PHK-nya suami. Ini artinya, aku harus selalu mencoba bekerja dengan baik, sehingga sewaktu-waktu ini terjadi lagi, aku tinggal melangkah ke depan, menggantikan fungsi suami sampai ia bekerja kembali."
Self talk atau bicara kepada diri sendiri dengan kemasan optimis, sudah terbukti bisa meningkatkan motivasi hidup maupun daya juang untuk menjalani hidup dengan bergairah, Bu. Bahasa kerennya itu passion. Mengapa? Tak lain karena saat kita berbicara, ada bagian di otak kecil kita yang merekam ini, kemudian menyalurkannya ke seantero tubuh kita sebagai sebuah keyakinan, kita akan mampu dan survive berjuang. Dari situ, menyebarlah ketahanan diri bahwa kita punya kemampuan.
Sebaliknya, bila pesan-pesan yang kita rangkai bernada negatif dan sudah dibayangi kegagalan, sinyal yang akan dikirimkan, "Nyerah saja deh, wong pasti enggak bakalan mampu." Ini melemahkan motivasi, menurunkan rasa pede dan akhirnya kita percaya, kita tak akan mampu. Dari cara Anda menulis surat untuk saya, tampaknya Anda bukan orang yang terhambat mengeksprsikan diri secara verbal kepada orang lain. Anda pun pandai merangkai kata-kata yang runut dan mudah dipahami. Ini salah satu kekuatan yang akan sangat membantu untuk meyakinkan diri.
Berceritalah kepada suami dan orang terdekat tentang kecemasan Anda, serta langkah-langkah yang akan Anda tempuh untuk mengatasi rasa takut dan kecemasan tadi. Minta masukan dan pendapat mereka tentang kemampuan Anda menangani masalah selama ini. Jika mereka mengakui kompetensi Anda, bukankah ini masukan yang bisa memperkuat rasa pede?
Oleh karena saat ini Anda dan suami sedang dalam keadaan bekerja, usahakan sebisa mungkin untuk menabung, sehingga Anda punya cadangan keuangan untuk, minimal hidup 6-7 bulan ke depan, bila sewaktu-waktu suami ter-PHK kembali. Ajak suami untuk saling memberi dukungan pada pekerjaan pasangan hidup, sehingga motivasi bekerja optimal bisa dimiliki Anda berdua. Perasaan kebersamaan perlu terus dipupuk, apalagi suami bertugas di luar kota.
Jika terbiasa berpikir dan menyelesaikan permasalahan bersama-sama, kita akan semakin terlatih untuk saling terbuka dan didukung perasaan saling menghormati, memahami kelebihan dan kekurangan masing-masing. Sehingga, kesulitan apapun akan bisa ditanggulangi dengan bersinergi bersama suami. Pasrah untuk menerima apa pun hasil dari upaya kita, adalah penyumbang terbesar pada terbentuknya pikiran dan perasaan yang ikhlas. Yang penting sudah berusaha dan hasilnya adalah milik Tuhan semata. Sebab, yang akan terjadi adalah kehendak Allah dan bukan melulu tindakan kita.
Jangan berhenti bekerja Bu Dwie, ambil cuti saja jika rasanya jemu menjalani hari demi hari di rumah. Ada banyak hal yang bisa dilakukan seorang ibu. Bongkar pakaian di lemari atau main seharian penuh dengan anak-anak, misalnya. Pokoknya, lakukan sesuatu yang mendatangkan kesenangan diri Anda. Ini akan menyegarkan pikiran dan dan cara kita memandang masalah pasti juga akan lebih cerah lagi. Jadi, tak usah berhenti bekerja ya, Bu, nanti malah makin senewen dan anak-anaklah korban utamanya, dimarahi, dibaweli, sehingga tak ada yang benar pada diri mereka. Mudah-mudahan, Anda bisa lebih tegar menjalani hidup yang penuh makna ini. Salam hangat.
KOMENTAR