Saya seorang ibu dua putra, yang saat ini tengah kebingungan dengan diri sendiri. Saya dilahirkan di tengah keluarga yang mendidik saya dengan kemandirian.
Bahkan, sejak lulus SD saya sudah dikirim untuk bersekolah di luar kota, dengan alasan agar saya menjadi mandiri sekaligus mendapat pendidikan di sekolah bermutu. Saya pun tumbuh menjadi pribadi yang, menurut orang di sekitar saya, tangguh, dan fight, karena saya terbiasa hidup jauh dari orangtua.
Lalu, saya menikah dengan seseorang yang diperkenalkan orangtua, tanpa melalui proses pacaran, saat usia saya 23 tahun dan belum lulus kuliah. Alhamdilillah, meski begitu, kehidupan perkawinan kami aman, tenteram, dan damai. Selulus kuliah, saya pindah ke kota tempat suami bekerja dan menjadi guru honorer di sebuah SMA Negeri dekat tempat tinggal saya.
Perjalanan karier saya bisa dikatakan mulus, Bu. Dari hanya seorang guru honorer, lalu menjadi guru kontrak, dan akhirnya diterima menjadi PNS melalui tes tanpa ada suap-menyuap. Saya termasuk orang yang idealis Bu. Sampai suatu ketika saya ditempatkan di sebuah SMA Negeri, di pelosok yang jauh dari tempat tinggal dan harus melewati hutan, saya masih berpikir idealis.
Setelah sempat keguguran, saya hamil lagi dan karier pun terus melaju, hingga diangkat menjadi wakil kepala sekolah. Padahal, saat itu usia saya tergolong paling muda di antara PNS yang lain. Bersamaan dengan itu, justru karier suami saya di sebuah perusahaan swasta mulai goyah dan berakhir jadi pengangguran, persis setelah saya melahirkan. Inilah awal dari segalanya, Bu.
Saat itu saya baru menyadari, ternyata saya tak setangguh seperti yang dikira orang selama ini. Saya merasa beban hidup saya begitu berat, karena harus menjadi 'tulang punggung' keluarga. Saya stres, bahkan sampai paranoid (merasa diri memiliki banyak perasaan curiga dan takut yang berlebihan). Menjelang cuti melahirkan habis, saya tiba-tiba sering merasa ketakutan, Bu. Takut kecelakaan, takut bepergian, dan takut menghadapi hari esok.
Pernah, saking takutnya naik kendaraan, saya hanya bisa menangis, kaki rasanya lemas dan dingin, dan jantung berdebar tidak karuan. Bahkan saya sempat tak bisa merasakan lapar, haus, marah, ataupun bahagía.Yang saya rasakan hanya takut dan itu berlangsung hingga beberpa bulan lamanya. Akibatnya, berat badan saya turun drastis. Pokoknya, saya tersiksa sekali, Bu.
Saat itu suami sudah bekerja lagi, tapi di luar kota, sehingga saya seperti kehilangan pegangan. Alhamdulillah, Bu, teman-teman saya banyak mendukung, sementara keluarga saya tidak tahu apa yang saya alami selama ini. Pelan-pelan saya lawan rasa takut dengan banyak sharing kepada para sahabat dan mendekat kepada Tuhan. Hingga sekarang, terkadang saya masih merasakan ketakutan itu, tapi tak sehebat dulu. Saya juga sempat berkunjung ke psikiater, meski akhirnya saya kecewa sendiri. Sebab, saya malah diberi obat penenang dosis tinggi, padahal bukan itu yang saya inginkan.
Sekarang, saya begitu ingin meminta mutasi ke sekolah tempat saya mengajar sebagai guru honorer dulu, Bu. Dua kali saya mengajukan permohonan mutasi ke kepala sekolah, tapi tidak diijinkan. Berkali-kali saya keluhkan kondisi saya tapi tak ada tanggapan dari pihak sekolah. Saya merasa tak sanggup lagi bertahan di tempat kerja sekarang dan selalu mencari-cari alasan agar saya bolos mengajar. Apalagi sejak suami bekerja di luar kota, saya harus mengurus segalanya sendiri, ditambah lagi anak-anak juga sering sakit. Sempat juga terpikir untuk berhenti menjadi PNS, bila permohonan pindah saya tetap ditolak.
Kenapa ya, Bu, saya bisa sangat berubah seperti ini? Dari seorang yang tangguh dan fight, menjadi rapuh dan penakut. Apa mungkin ada kaitannya dengan baby blues yang saya alami atau karena saya merasa, semua yang saya impikan sudah teraih semua, sehingga membuat saya jenuh?
Dwie - Somewhere.
Bu Dwie Sayang,
Jika dicermati, kondisi aktual dari pekerjaan maupun tata laksana kehidupan Anda secara keseluruhan sebenarnya tak banyak perubahan, bukan? Yang berubah adalah peran yang sempat harus Anda jalani akibat diPHK-nya suami. Saat itu, Andalah satu-satunya pencari nafkah untuk keluarga dan tidak lagi bekerja dengan dalih, yang Anda yakini, Anda bukan penanggung jawab keluarga. Sehingga, bekerja bisa saja Anda hayati sebagai sarana aktualisasi diri, membantu ekonomi keluarga, bahkan juga bisa sebagai pengisi waktu.
Tantangan demi tantangan bisa Anda lalui, karena sekali lagi, tak ada perasaan yang, jika Anda tak bekerja dengan baik, kemudian akan kehilangan pekerjaan, dan ada banyak manusia-manusia lain yang menderita karenanya. Maka dari itulah kita sering mendengar, bila bekerja atau belajar bisa dilakukan tanpa tekanan, maupun perasaan tertekan, manusia justru akan mampu merealisasikan potensi yang dimiliki dengan mudah.
Jadi, lain benar rasanya saat tiba-tiba suami di-PHK dan Anda mendapati, jika Anda tak bekerja, siapa yang akan menafkahi keluarga Anda? Anda tiba-tiba merasa, kondisi ideal yang sebelumnya terasa melenakan, kini sirna dan situasinya, kok, tak bisa dikendalikan seperti sebelumnya? Stres lalu muncul dan ini yang kemudian timbul dalam gejala-gejala yang Anda ceritakan di atas. Curiga, takut, panas dingin, dan merasa lemas, itu semua adalah gambaran atau manifestasi dari stres tadi.
Dalam bahasa psikologi, kita katakan ada perubahan pada penghayatan peran, akibat suami sebagai kepala keluarga kehilangan perannya yang paling berarti, yaitu pencari nafkah utama dalam keluarga. Uang, yang kita peroleh melalui pekerjaan, adalah sumber rasa aman yang cukup bermakna dalam kehidupan kita. Memang, punya uang bukan jaminan kebahagiaan, tapi dengan uang, ada banyak peluang yang bisa kita manfaatkan untuk menjadi bahagia, bukan? Sebaliknya, ketika penghasilan utama tiba-tiba menghilang, rasa takut dan cemas pasti akan muncul karena rasa aman berganti dengan ketidakpastian, dan di tangan Andalah kepastian itu bisa terwujud.
Semua ini sebenarnya adalah perasaan dan penghayatan, Bu, karena alam kondisi obyektifnya, bisa Anda atasi, kan? Artinya, mengambil peran sebagai pencari nafkah utama sampai suami kemudian bekerja kembali. Kenapa Anda masih bisa punya kecemasan tinggi? Rupanya, pengalaman itu Anda kemas dalam perspektif yang pesimis ya, Bu. "Aduh, jika nanti suamiku di-PHK lagi, kuat tidak ya, aku menjalankan peran seperti saat itu? Sekarang anakku dua dan badan sering lunglai." Padahal, pengalaman tadi sebenarnya bisa juga kok, Anda kemas dengan mengedepankan sisi positifnya, sehingga optimisme yang akan muncul, "Aku sudah buktikan, aku bisa mengatasi PHK-nya suami. Ini artinya, aku harus selalu mencoba bekerja dengan baik, sehingga sewaktu-waktu ini terjadi lagi, aku tinggal melangkah ke depan, menggantikan fungsi suami sampai ia bekerja kembali."
Self talk atau bicara kepada diri sendiri dengan kemasan optimis, sudah terbukti bisa meningkatkan motivasi hidup maupun daya juang untuk menjalani hidup dengan bergairah, Bu. Bahasa kerennya itu passion. Mengapa? Tak lain karena saat kita berbicara, ada bagian di otak kecil kita yang merekam ini, kemudian menyalurkannya ke seantero tubuh kita sebagai sebuah keyakinan, kita akan mampu dan survive berjuang. Dari situ, menyebarlah ketahanan diri bahwa kita punya kemampuan.
Sebaliknya, bila pesan-pesan yang kita rangkai bernada negatif dan sudah dibayangi kegagalan, sinyal yang akan dikirimkan, "Nyerah saja deh, wong pasti enggak bakalan mampu." Ini melemahkan motivasi, menurunkan rasa pede dan akhirnya kita percaya, kita tak akan mampu. Dari cara Anda menulis surat untuk saya, tampaknya Anda bukan orang yang terhambat mengeksprsikan diri secara verbal kepada orang lain. Anda pun pandai merangkai kata-kata yang runut dan mudah dipahami. Ini salah satu kekuatan yang akan sangat membantu untuk meyakinkan diri.
Berceritalah kepada suami dan orang terdekat tentang kecemasan Anda, serta langkah-langkah yang akan Anda tempuh untuk mengatasi rasa takut dan kecemasan tadi. Minta masukan dan pendapat mereka tentang kemampuan Anda menangani masalah selama ini. Jika mereka mengakui kompetensi Anda, bukankah ini masukan yang bisa memperkuat rasa pede?
Oleh karena saat ini Anda dan suami sedang dalam keadaan bekerja, usahakan sebisa mungkin untuk menabung, sehingga Anda punya cadangan keuangan untuk, minimal hidup 6-7 bulan ke depan, bila sewaktu-waktu suami ter-PHK kembali. Ajak suami untuk saling memberi dukungan pada pekerjaan pasangan hidup, sehingga motivasi bekerja optimal bisa dimiliki Anda berdua. Perasaan kebersamaan perlu terus dipupuk, apalagi suami bertugas di luar kota.
Jika terbiasa berpikir dan menyelesaikan permasalahan bersama-sama, kita akan semakin terlatih untuk saling terbuka dan didukung perasaan saling menghormati, memahami kelebihan dan kekurangan masing-masing. Sehingga, kesulitan apapun akan bisa ditanggulangi dengan bersinergi bersama suami. Pasrah untuk menerima apa pun hasil dari upaya kita, adalah penyumbang terbesar pada terbentuknya pikiran dan perasaan yang ikhlas. Yang penting sudah berusaha dan hasilnya adalah milik Tuhan semata. Sebab, yang akan terjadi adalah kehendak Allah dan bukan melulu tindakan kita.
Jangan berhenti bekerja Bu Dwie, ambil cuti saja jika rasanya jemu menjalani hari demi hari di rumah. Ada banyak hal yang bisa dilakukan seorang ibu. Bongkar pakaian di lemari atau main seharian penuh dengan anak-anak, misalnya. Pokoknya, lakukan sesuatu yang mendatangkan kesenangan diri Anda. Ini akan menyegarkan pikiran dan dan cara kita memandang masalah pasti juga akan lebih cerah lagi. Jadi, tak usah berhenti bekerja ya, Bu, nanti malah makin senewen dan anak-anaklah korban utamanya, dimarahi, dibaweli, sehingga tak ada yang benar pada diri mereka. Mudah-mudahan, Anda bisa lebih tegar menjalani hidup yang penuh makna ini. Salam hangat.
KOMENTAR