Berikut beberapa hal yang perlu disampaikan pada anak-anak remaja Anda.
1. Berhenti dan berpikir.
Remaja adalah pemberani hadapi risiko, dan itu bagus. Mereka tidak bisa tumbuh tanpa mencoba hal baru serta mengambil beberapa risiko. Namun mereka juga kerap bertindak atas dorongan keinginan. Jika dikombinasi dengan keberanian mengambil risiko, ini dapat menimbulkan masalah. "Sesekali mintalah anak remaja untuk berhenti dan berpikir, " ungkap Melisa Holmes, MD, salah satu pendiri Girlology and Guyology, program pendidikan tentang kesehatan remaja dan dewasa.
Mengapa demikian? Dibutuhkan kesadaran penuh bagi remaja untuk belajar mengontrol otak mereka. Salah satu tempat terbaik belajar kesabaran adalah media sosial. Jika anak remaja Anda hendak mem-posting foto tertentu untuk membuat kesal orang lain, atau melempar makian di sebuah chat room, mintalah mereka bertanya pada dirinya sendiri "Apakah saya perlu melakukannya? Apa risikonya? Apakah ini layak dilakukan?".
Mereka mungkin tak berpikir jika media sosial dapat berdampak sosial seperti perilaku di masyarakat. Kendati demikian, pilihan-pilihan yang mereka buat mereka lebih baik ke depan. Melatih kemampuan berperilaku di media sosial atau area lain sama dengan belajar mem-pause perbuatan dengan pertanyaan akan risiko ke depan.
2. Dengarkan Naluri.
Mengapa perlu memberitahu remaja soal naluri? Mengikuti naluri, sama halnya dengan senantiasa memiliki Guru, Orangtua, Pelatih, maupun Tokoh sejati di dalam diri. Ini dapat membantu anak remaja menghadapi situasi sulit maupun wilayah baru.
Biarkan anak remaja Anda tahu jika orangtuanya memiliki cukup kepercayaan untuk berpikir sendiri dan membuat pilihan yang solid. Katakan kepada mereka untuk berlatih mendengarkan "suara hati" mereka dan ia akan membimbing hidupnya lebih baik.
3. Periksa Ulang Fakta-fakta Apakah "Ini Semua Sudah Biasa" ?
Kadangkala remaja suka menjajal sesuatu dan tak merasa melanggar apapun karena menganggap "ini semua sudah biasa" dan semua orang biasa melakukannya. Hanya karena teman sekolahnya minum alkohol atau merokok, lantas dirinya menganggap ini bukanlah hal merugikan. Begitupula hal lainyya. Bisa jadi ini merupakan mekanisme untuk meringankan peer pressure (tekanan sebaya) untuk melakukan sesuatu agar diterima kelompok sebayanya. Padahal dirinya belum paham maupun siap menerima dampak dari perbuatannya.
"Biarkan anak mempertanyakan kembali dalam dirinya, apakah teman-temannya melakukan hal tersebut. Dan apakah teman-teman sebayanya melakukan hal tertentu tanpa bersembunyi-sembunyi atau merasa takut," ungkap Holmes.
KOMENTAR