Kata orangtuaku, kenapa aku dinamai Ligwina karena Papa seorang pekerja di pertambangan batubara. Ligwina itu artinya batuan sejenis batubara. Nah, karena Papa juga pernah bekerja di perusahaan pertambangan minyak Shell, maka di belakang namaku ditambahkan kata Shelita. Lengkaplah namaku menjadi Ligwina Shelita. Hananto adalah nama belakang suamiku, Dondi Agus Tri Hananto.
Orangtuaku, termasuk orangtua yang menomorsatukan pendidikan. Katakanlah, untuk keperluan biaya sekolah, Papa tak pernah pelit mengeluarkan uang. Tetapi untuk membeli celana, bisa delapan tahun sekali, he...he...he... Beliau juga amat disiplin membuat aturan di rumah.
Menurutku sih, saat itu Papa galak sekali. Bayangkan, di atas jam lima sore aku sudah harus mandi dan tak boleh keluar rumah. Sudah begitu, Mamaku jenis ibu yang perfeksionis. Mengerjakan sesuatu harus benar. Doing the right things, the right way, begitulah. Klop dengan Papa.
Tahun 1989 ketika aku duduk di kelas dua SMP, kami sekeluarga pindah ke Bandung. Kala itu Papa harus pindah tugas lagi ke Kalimantan Timur. Aku dan Mama serta adikku tidak diajak serta, lantaran perumahan di kawasan pertambangan belum jadi. Setelah dua tahun, barulah Mama dan adikku menyusul ke Kalimantan. Aku tetap tinggal di Bandung hingga menamatkan SMA di Taruna Bakti.
Sebagai siswa SMA, aku aktif di berbagai kegiatan. Salah satunya menulis di majalah dinding sekolah. Di sanalah, aku pernah menuliskan cita-citaku menjadi wanita pebisnis yang mengurus soal uang. Padahal, kala itu aku tidak tahu, lho, ada profesi yang sekarang disebut sebagai financial planner atau perencana keuangan.
Nah, ketika di SMA inilah aku melihat teman-temanku hampir semuanya berpakaian modis. Aku sampai bertanya ke Papa kenapa enggak pernah membelikan aku baju baru? Mainan juga jarang dibelikan. Jawaban Papa, "You are not my obligation, you are my responsibility." Hi..hi..hi... kini aku baru paham. Kewajiban dan tanggung jawab itu memang sangat berbeda. Bagi Papa, sekolah memang penting karena keluarga Mama dan Papa semua memiliki gelar akademis. Bahkan tahun 1950-an, Kakekku sudah mengambil S2 di Amerika.
Karena itu, ketika aku bilang ingin les Bahasa Inggris di The British Institute (TBI) yang kala itu tergolong bagus dan mahal, Papa langsung menyuruhku les di tempat itu. Wah, teman-temanku sampai heran, kok, bisa aku les di TBI.
Bahasa Inggris memang mewarnai kehidupan keluargaku. Tetapi minatku belajar Bahasa Inggris lantaran waktu tinggal di Sulawesi, banyak orang bule di sekitar tempat tinggalku. Papa sering takut aku menyasar saat bepergian. Kalau aku menyasar lalu yang menemukan orang bule, bagaimana aku bisa menjawab saat ditanya? Makanya Mama dan Papa rajin mengajariku bicara dalam Bahasa Inggris. Minimal bisa menjawab namaku dan nama Papa.
Bertemu Pangeran
Lulus SMA aku mendaftar kuliah ke Jurusan Teknik Industri dan Matematika ITB. Aku sengaja memilih jurusan itu agar tidak diterima. Pasalnya? Diam-diam aku ingin kuliah di Australia seperti yang dijanjikan Papa.
Oh, ya saat SMA kelas 2 aku memang pernah dibawa Papa ke Perth, Australia. Papa mengizinkan aku sekolah di kota ini karena sepi. Beda dengan Sidney yang ramai. Jadi, Papa tidak khawatir meninggalkan anak perempuannya ini. Aku tambah semangat dan terus ingat janji Papa.
Nah, ketika enggak diterima kuliah di Bandung, aku memutuskan kuliah di Australia. Papa mengizinkan tetapi tetap berpesan, aku harus pulang ke rumah setelah selesai kuliah. Bagaimanapun, kata Papa, aku orang Indonesia dan muslim.
KOMENTAR