Sebagai persiapan kuliah, selama setahun, aku harus mengikuti program matrikulasi Year 12. Bisa di High School atau College atau Foundation Year Studies di Universitas yang menyediakan. Setelah itu ke Western Australian Tertiary Education Examination (TEE). Selanjutnya baru masuk ke Curtin University of Technology selama 3 tahun.
Di TEE, aku bertemu Mas Dondi yang sekarang menjadi suamiku. Waktu itu aku baru mau diajak mengobrol dia setelah tahu nilai TEE-nya tinggi. Awalnya, sih, dia suka datang ke rumahku meminjam CD tapi aku cuekin. Begitu dia cerita kalau TEE-nya lebih tinggi dari aku, baru deh, aku memperhatikan dia. Ha...ha...ha.
Bersama Mas Dondi aku bisa dekat, mengobrol, dan nyambung. Mas Dondi sangat mengerti cara bicaraku. Bayangkan saja, gaya bicaraku, kan, cepat dan tegas, tapi hanya dengan dia, aku enggak berani begitu.
Di Australia mulanya aku memilih kuliah jurusan accounting dan finance karena menganggapnya keren. Ternyata, selama setahun aku enggak kuat karena membosankan. Akhirnya aku pindah mengambil jurusan finance dan marketing. Jurusan ini mewajibkan mahasiswanya melakukan presentasi tiap minggu. Kegiatan ini membuatku terbiasa bicara di depan orang.
Selama di Australia aku mengerjakan segala sesuatunya sendiri. Untungnya aku terbiasa mandiri. Kan, aku pernah tinggal bersama Nenek, yang mengajarkan segala sesuatu sendiri seperti membayar listrik atau menggaji pembantu.
Nah, ketika negeri ini dilanda krisis ekonomi, sebagai mahasiswa keuanganku 'mepet' untuk hidup. Aku pun memutuskan kuliah sembari bekerja di restoran makanan Cina. Aku mendapat makan siang saja. Malamnya kadang membawa jualan yang tersisa. Begitu pula Mas Dondi, pagi bekerja sebagai cleaner, malamnya sebagai delivery boy.
Selesai kuliah aku merasa membawa bekal cukup untuk kembali ke tanah air. Maka, aku melamar kerja dan diterima di Bank HSBC Bandung, sementara Mas Dondi diterima di HSBC Jakarta.
Dari HSBC aku pindah ke Jakarta lalu bekerja di Mindshare, memegang PT Unilever. Atasanku adalah sarjana lulusan perguruan tinggi negeri. Aku jamin dia lebih pintar dariku. Tetapi tiap kali diminta bicara di depan orang, selalu malu-malu. Akhirnya akulah yang maju menggantikannya bicara. Sejak itulah aku merasakan manfaatnya presentasi saat kuliah di Australia.
Berhenti Bekerja
Oleh karena sudah saling cocok, aku dan Mas Dondi lalu menikah di tahun 2000. Dalam mengemudikan bahtera rumah tangga, aku lebih suka berkaca pada rumah tangga orangtuaku. Misalnya, seorang istri mengabdi kepada suami. Ibaratnya, sebelum Papa bilang haus, Mama sudah menyediakan minuan buat Papa. Dulu, aku sempat bingung melihat Mama seperti itu. Tapi sekarang aku mengerti, lelaki punya tanggung jawab atas perempuan-perempuan di sekitarnya.
Bila aku ditanya, pernah bertengkar atau tidak dengan suami? Jawabannya, pasti pernah. Yang aku suka dari suamiku adalah Mas Dondi selalu berpikir tiap kali hendak melakukan sesuatu. Bahagiakah istrinya? Begitu kira-kiranya. Makanya aku tunduk kepada dia. Itu juga yang aku rasa pernikahan kami lebih erat dan dekat, tidak lagi mengedepankan ego.
Perkawinanku dengan Mas Dondi membuahkan dua anak, Muhammad Azra Ishak Hananto (8) dan Nadira Aisha Hananto (5). Kami berbagi peran dalam mengasuh anak. Misalnya, saat aku bekerja, Mas Dondi mengantar anak-anak ke dokter.
Oh ya, sebelum benar-benar menekuni dunia financial planner, aku sempat berhenti bekerja. Suamiku tidak mau anak-anak tak bisa bertemu ibunya. Bayangkan, aku bisa berangkat kantor jam 06.00 dan baru pulang jam 12 malam. Makanya, Mas Dondi menyarankan agar aku berhenti bekerja. Dia yang bertanggung jawab atas seluruh kebutuhan rumah tangga kami.
Hingga tahun 2003 aku menjadi ibu rumah tangga sepenuhnya. Tak ada pembantu dan baby sitter. Setelah semua pekerjaan rumah tangga selesai, aku baru bisa membuka komputer. Biasanya, sih, mengutak-atik dan menghitung biaya hidup. Sepertinya enggak cukup uang yang kami miliki. Meskipun menabung tanpa putus, rasanya anak kami akan putus sekolah saat mereka SMP. Berapa banyak, sih, yang bisa ditabung? Ah, aku mulai berpikir untuk bekerja lagi.
Noverita K. Waldan / bersambung
KOMENTAR