Kalau dibiarkan, bisa keterusan hingga besar. Bahkan, bukan tak mungkin anak mengalami gangguan psikologis atau malah ada kelainan organis.
Pernah, kan, menyaksikan anak usia ini asyik mengorek-ngorek lubang hidungnya? Entah ada atau tidak kotoran di hidungnya, tangannya seperti tak enak kalau belum melakukannya.
Kebiasaan jelek ini, menurut Rike W. Dhamayanti, Psi., tak lain karena anak menirunya dari orang tua juga. "Anak, kan, tak mungkin serta-merta punya kebiasaan buruk tanpa melihat contoh dari orang dewasa. Terlebih anak usia prasekolah lagi senang-senangnya melakukan imitasi dari lingkungan, terutama keluarganya."
Jadi, secara sadar atau tidak, kita suka melakukan kegiatan bersih-bersih hidung di depan si kecil, hingga ia pun mengadopsinya. Apalagi sewaktu melihat kita melakukannya, sepertinya "nikmat". "Ayah lagi ngapain, ya? Kok, sepertinya 'enak'. Coba, ah, aku ngikutin Ayah," misal. Nah, saat ia meniru dan merasakan 'enak', akhirnya ia lakukan terus-menerus.
Buat anak, jelas psikolog di Fakultas Psikologi Unika Atma Jaya, Jakarta, yang akrab disapa Uke ini, yang penting bukan kegiatan bersih-bersihnya, melainkan kenikmatan dan kenyamanan yang diperolehnya dari aktivitas tersebut. "Pokoknya, anak tak peduli dengan tujuan atau maksud orang lain kala melakukannya."
Masih ada lagi, lo, kebiasaan jelek lainnya. Misal, memainkan rambut, menggigit kuku, mengorek kuping, berkumur lantas meminum airnya, dan sebagainya. Semua ini, menurut Uke, merupakan hasil peniruan dari lingkungan, karena hal itu adalah sesuatu yang baru bagi anak.
MENAHAN NAFAS
Selain kebiasaan buruk, ada pula kebiasaan berbahaya yang juga ditiru anak dari lingkungannya. Misal, membenturkan kepala ke tembok, menahan nafas, atau memukuli diri sendiri dengan tangan. Namun anak menirunya bukan melulu dari orang tua, melainkan juga dari TV. Misal, anak melihat iklan obat sesak nafas di TV. Karena ia tengah dalam masa eksplorasi, ia pun terdorong untuk melakukan hal serupa, "Apa, sih, yang dirasakan waktu menahan nafas, kok, sepertinya enak."
Bisa juga kebiasan bahaya ini berawal dari kegiatan bersama teman-temannya. Siapa yang paling lama menahan nafas, misal, dialah yang paling kuat dan jadi pemenang. Nah, kalau ia mendapat tanggapan positif atas kemenangannya itu, dianggap yang paling kuat, ia akan merasa diberi semangat atau termotivasi untuk melakukannya kembali. "Ia merasa dirinya dihargai," bilang Uke.
Tak tertutup kemungkinan, awalnya ia hanya sekadar menakut-nakuti orang tua agar orang tua lebih memperhatikan atau memberikan apa yang dia mau. Atau malah sebagai reaksi protes, marah, dan frustrasi lantaran keinginannya tak terpenuhi. "Jadi, dalam hal ini ia sebelumnya tak memperoleh contoh atau tak ada yang mengajarkan, melainkan hanya sekadar reaksi spontan yang timbul dari dalam diri anak secara tiba-tiba."
Atau, ia mencontoh perilakunya sendiri. Jadi, awalnya ia lakukan secara spontan atau cuma iseng, tapi karena orang tua menanggapi, misal, memberi apa yang ia inginkan, maka ia pun akan melakukannya lagi untuk mendapatkan yang ia mau. "Dipikirnya, dengan cara itulah ia bisa memperoleh apa yang ia mau atau dengan melakukannya ia disayang dan selalu diperhatikan ayah-ibunya." Bisa juga karena ia melihat di film ada anak yang melakukannya dan kesampaian apa yang diinginkannya.
Bagi anak, jelas Uke, rasa tak enak dan sakit karena menahan nafas atau membenturkan kepala dan lainnya, intensitasnya lebih kecil ketimbang imbalan atau reward dari perbuatannya itu. Bukankah orang tua biasanya langsung khawatir dan panik kala melihat anaknya melakukan perbuatan berbahaya? Hingga, orang tua pun langsung memberikan apa yang diminta si anak. "Nah, pemberian orang tua itulah yang paling berkesan dan berarti, hingga ia bisa mentoleransi rasa sakitnya kala melakukan perbuatan berbahaya itu."
BUKAN KELAINAN PSIKOLOGIS
Menurut Uke, orang tua sebaiknya waspada jika anak melakukan perbuatan berbahaya. Sebab, bukan tak mungkin ada faktor internal pada anak. Misal, ia mengalami kelainan organis di kepalanya, khususnya otak, hingga ia sering membentur-benturkan kepalanya ke tembok. "Konon, jika anak mengalami gangguan organis pada kepalanya, ia suka membenturkan kepalanya. Bisa jadi karena saraf-sarafnya tak terkoordinasi dengan baik." Bila demikian, anjurnya, segera konsultasikan si anak ke dokter ahli saraf.
Beda dengan kebiasaan buruk, "sama sekali bukan kelainan psikologis. Ia tetap anak yang normal, hanya normalnya bermasalah." Tinggal kita lihat, apakah sudah mengganggu lingkungannya atau tidak. Jika ia melakukannya tak kenal tempat, misal, dilakukan kala sedang bertamu, atau intensitas dan frekuensinya sudah mencapai tingkatan mengkhawatirkan, hendaknya kita waspada. Jangan-jangan ia menjadikan perilaku itu sebagai yang tiada duanya untuk memenuhi rasa aman, nyaman, dan nikmatnya kala ia cemas menghadapi sesuatu; entah lantaran habis dimarahi orang tua, berantem dengan teman, atau hanya sekadar suntuk. "Ini berarti, anak sudah mengalami gangguan psikologis."
Selain itu, bila sudah jadi kebiasaan, bisa dijadikan senjata ampuh bagi anak untuk menghadapi orang tua. "Ah, aku akan mengupil terus bila main ke rumah teman Bunda. Biasanya Bunda akan menjanjikan sepulang dari rumah temannya akan memberi aku apa saja yang aku inginkan, asalkan aku tidak ngupil," misal. Tak hanya itu, makin lama ia akan makin tergantung dengan kebiasaan buruknya ini. Hingga, walau diejek teman-temannya, ia tetap akan melakukannya meski dengan mencuri-curi, karena di situlah ia merasa nyaman dan tenang. Akhirnya, kebiasaan ini akan terbawa sampai besar. "Kan, enggak lucu jika di tempat kerjanya selalu mengupil atau saat sedang rapat ia selalu memainkan rambut."
Bukan mustahil pula, kebiasaan ini akan mencelakai anak. Misal, saking asyiknya mengorek-korek kuping, akan melukai gendang telinganya. "Jadi, kebiasaan buruk ini pun bisa menjadi kebiasaan berbahaya." Terlebih jika kebiasaan yang dilakukannya adalah hal-hal yang bahaya, seperti menahan nafas atau membenturkan kepala ke tembok, "ia bisa saja cidera atau bahkan meninggal dunia." Pokoknya, tandas Uke, entah kebiasaan buruk atau yang berbahaya, sama sekali tak ada untungnya buat anak.
Memang, sih, aku Uke, jika tarafnya biasa-biasanya saja, kebiasaan buruk/bahaya ini akan hilang sendiri. "Seiring bertambahnya usia, kematangan jiwa, kepribadian, dan intelektualnya, biasanya kebiasaan itu akan hilang sendiri." Tentu hilangnya melalui proses, semisal sering diejek teman-teman atau setelah ia melihat anak yang diejek dan dicemooh karena kebiasaan buruk tersebut, hingga ia pun takut melakukannya lagi. Namun, ada juga anak yang kebal, tetap saja melakukannya dengan cuek atau secara sembunyi-sembunyi. Nah, yang kebal ini yang bisa berlanjut hingga besar.
BERI PENGERTIAN
Itulah mengapa, Uke minta agar orang tua segera membantu anak untuk menghentikan kebiasaan buruk/bahaya itu. Sarannya, lakukan dengan cara menjalin hubungan atau komunikasi yang lebih baik dengan anak, memberikan pengertian-pengertian bahwa perbuatannya itu tak baik dan bisa mencelakakan dirinya. "Kalau kamu suka membentur-benturkan kepala, nanti kamu akan jadi anak bodoh. Apa kamu mau?", misal.
"Jika tak diberi tahu, anak akan bingung dan bertanya-tanya sendiri, 'Kenapa, kok, segitu aja enggak boleh? Kan, aku cuma ingin dibeliin sepatu oleh Bunda,' misal." Orang tua pun, lanjut Uke, harus memberi contoh yang baik dengan menghentikan kebiasaan-kebiasaan buruknya itu. Juga, jangan lupa selalu dampingi anak nonton TV atau film agar bisa memberikan penjelasan atau pengertian perihal yang ditontonnya.
Uke pun minta agar orang tua tak memberikan tanggapan positif, entah dengan memberikan atau menuruti kemauan anak, kala ia menunjukkan kebiasaan buruk/bahaya itu. "Bersikaplah pura-pura tak perhatian pada anak." Jika anak bertanya, kenapa ia didiamkan, saat itu orang tua bisa masuk dengan memberikan pengertian. Misal, "Bunda enggak suka kamu membenturkan kepala. Bunda, kan, sudah bilang berkali-kali kalau membenturkan kepala itu enggak baik."
Selain itu, berikan kegiatan pada anak atau buatlah ia sibuk. Tentu kegiatan yang disukai anak dan bermanfaat buat tumbuh kembangnya. Selanjutnya, jangan lupa berikan reward atau hadiah jika ia mampu menghentikan kebiasaan buruk/bahaya itu; entah berupa ciuman, pelukan, atau mengajaknya jalan-jalan ke kebun binatang, dan lainnya. Menurut Uke, reward seperti ini akan lebih mengena di dalam hati sanubarinya daripada berupa barang.
Namun jika anak tetap belum mau mengerti atau malah semakin menjadi-jadi, boleh, kok, kita menghukumnya. "Tapi jangan hukuman fisik, ya, melainkan hukuman yang bisa menyentuh afeksi anak. Misal, tak mendapatkan pelukan dari ibu, tak boleh menonton film kesayangannya, atau acara liburan ke rumah kakek-nenek batal." Dengan begitu, akan lebih mengena perasaan anak hingga ia pun termotivasi untuk tak mengulangi perbuatannya itu.
Menambah Pengalaman
Kendati buruk dan bahaya, kita tak boleh terlalu melindungi anak hingga ia sama sekali tak pernah melakukannya. Soalnya, hal buruk/bahaya pun perlu dipelajari anak. "Jika anak pernah melakukannya, ia akan memperoleh pengalaman tentang hal tersebut. 'Oh kalau saya mengupil itu enggak baik,' atau, 'Oh, kalau saya menahan nafas, maka saya bisa sakit dan sesak,' misal," tutur Uke. Dengan mengalami sendiri, lanjutnya, anak akan memperoleh masukan dan tambahan pengalaman serta pengetahuan.
Kebiasaan Ngemut Jari
Untuk kebiasaan buruk yang satu ini, jelas Uke, bukan lantaran modelling, melainkan karena fase oral anak di usia 0-1 tahun tak terpenuhi. "Bukankah pada fase oral, rasa nyaman dan aman anak banyak diperoleh dari mulut?" ujarnya.
Hal serupa juga akan terjadi bila fase oralnya berlebihan. "Biasanya karena orang tua tak pernah mendidik atau mengajarkan anak untuk memperoleh rasa nyaman dengan cara lain selain secara oral."
Jangan Remehkan Anak
Umumnya, orang tua beranggapan anak belum mengerti apa-apa. Hingga, mereka tak pernah memberi tahu si anak bahwa perbuatannya itu buruk atau bahaya. "Namanya juga anak-anak. Kalaupun kita kasih tahu, ia juga belum mengerti," begitu. Padahal, kata Uke, anggapan tersebut salah besar. Bukankah untuk membentuk manusia yang baik, tonggaknya justru ada di usia balita? "Sejak bayi, anak telah merekam dalam memorinya segala sesuatu yang ia peroleh dari luar. Buktinya, anak akan mengenal yang mana ibunya dan wanita lain, sekalipun mirip ibunya, bukanlah si ibu." Itu sebab, lanjutnya, anak harus dijelaskan dan diberikan pengertian bahwa perbuatannya itu buruk/bahaya.
Gazali
Atlet New Balance Triyaningsih Berhasil Taklukan Kompetisi TCS New York City Marathon 2024
KOMENTAR