Apalagi, belum lama ini, kasus serupa terjadi lagi. Trauma dan luka yang diderita pria 32 tahun ini agaknya masih terus bersemayam di dadanya. Beruntung dia memiliki istri yang luar biasa dan "bonus" sepasang anak kembar.
Luka di tanganku masih terus menyisakan rasa sakit. Bahkan sampai sekarang, jika terkena panas atau dingin, tanganku mendadak gatal. Badanku juga terasa cepat lelah, stamina gampang turun. Beda sekali dengan keadaan sebelum jadi korban bom.
Tapi rasa sakit itu kalah jauh dengan goncangan jiwa yang terus merasuki dadaku. Setahun setelah kejadian pun, aku masih trauma dengan rumah sakit. Setiap kali melihat RS, aku seakan dipaksa melihat "gambaran" enam tahun lalu, ketika harus berada di ruang isolasi dengan badan penuh perban. Apalagi jika mencium "aroma" rumah sakit, rasanya langsung lemas. Bahkan pernah sampai pingsan.
Misteri Mobil Putih
Ketika beberapa waktu lalu terjadi lagi ledakan bom di Hotel Marriott, aku memang tak berada di situ. Namun entah mengapa, aku mendadak lemas saat mendengar berita itu. Begitu lemasnya sampai-sampai mobil terpaksa kuhentikan di tepi jalan tol selama 5 sampai 10 menit sehingga petugas patroli jalan tol memintaku kembali jalan. Rupanya trauma yang itu tetap bersemayam di dada dan pikiranku.
Tidur pun jadi masalah bagiku. Celakanya, aku kebetulan suka bergadang. Jadilah mata semakin lama melek karena susah tidur. Aku kerap mimpi buruk, kadang mengigau, pendek kata tak bisa tidur tenang. Secara emosional juga terganggu. Aku kerap mimpi sedang marah-marah. Meski aku bukan pendendam, emosiku memang gampang naik. Nah, sekarang malah lebih sensitif. Jika melihat hal-hal kecil di teve seperti ketidakadilan, pelecehan, pemerkosaan, amarahku langsung memuncak.
Pagi itu, aku harus rapat di kantor jam 09.00, tapi rasanya malas sekali berangkat. Bersama tunanganku, Delirathnasari, aku akhirnya berangkat sambil membawa undangan perkawinan untuk teman-teman kantor. Rencananya, kami menikah 16 Agustus 2003. Usai rapat, aku sempat meninjau pabrik di Cakung, lalu kembali ke kantor dan menemani bosku makan siang di Restoran Syailendra, dekat kantor.
Belum lagi sempat memanggil pelayan untuk memesan makanan, tiba-tiba ada bola api menyambarku. Refleks, kubalikkan badan dan menutupi muka. Toh, tubuhku tetap terpental. Sejurus kemudian kudengar teriakan-teriakan. Kucoba membuka mata. Yang ada hanya kegelapan, asap, dan suasana porak poranda. Sempat aku melap luka di tangan. Tapi, kok, lepas. Duh, ternyata tangan orang lain.
Sekuat tenaga aku berusaha bangkit dan berjalan. Kulihat Pak Atot, rekanku, berlumuran darah dan seluruh tubuhnya menghitam. Entah dari mana datangnya, mendadak muncul mobil putih. Pengemudinya berbaju putih dengan rambut yang sudah memutih pula. Tanpa berkata-kata, ia seperti menyilakan kami naik. Kami lalu dibawa ke RS Jakarta. Sampai di RS, baru saja mau mengucapkan terima kasih, mobil itu sudah tidak ada. Sampai sekarang pun aku tak tahu, siapa si pengemudi misterius yang baik hati itu. Itulah kuasa Tuhan.
Nikah Di RS
Cukup lama aku terbaring di kereta dorong, menunggu paramedis. Telepon genggamku bergetar, ternyata dari temanku. Kuberitahu kondisiku. Aku juga sempat menelepon ibuku. Tak lama kemudian mereka berdatangan.
Karena kondisiku lumayan parah, aku dirujuk ke RS Pertamina. Ternyata semua kamar penuh sehingga aku minta dibawa ke RS Kramat 128. Setelah lima hari, pindah ke RS Pertamina yang mempunyai ruang khusus untuk perawatan luka bakar.
Noverita K. Waldan
KOMENTAR