"Rohedi/nakita "
Betapa kasihan melihat si kecil terserang batuk seperti itu. Terus menerus, seperti tak ada jedanya. Si kecil nyaris sulit tidur, karena gangguan batuknya yang hebat. Dan bunyi batuknya sangat khas. Biasanya 5-10 kali batuk kuat, kemudian terdengar bunyi melengking.
Batuk jenis yang satu ini memang bandel. Dunia kedokteran menyebutnya dengan batuk rejan/pertusis atau kinkhoest (bahasa Belanda, Red.). Kita sering menyebutnya dengan batuk seratus hari. "Bukan berarti masa batuknya seratus hari, lo. Dikatakan demikian karena batuknya memang dalam waktu yang lama. Bisa 6-8 minggu atau sampai 3 bulan," jelas Dr. Najib Advani, SpAK. MMed. Paed, dari RSUPN Cipto Mangunkusumo.
Mengapa, sih, batuknya begitu bandel? Untuk diketahui, wabah pertusis sudah ada sejak abad ke-16. Tetapi, kuman penyebabnya, Bordetella pertussis, baru ditemukan sekitar tahun 1906 oleh Bordet dan Gengou. Dan di negara-negara berkembang penyakit yang satu ini menjadi salah satu penyebab terbesar gangguan kesehatan dan kematian pada anak.
TIGA STADIUM
Batuk rejan mudah sekali timbul, menyebar dan juga menular. Terutama di perumahan padat dan kumuh, yang kurang memadai segi higienisnya. Cara penularannya, terang Najib, bisa melalui udara yang mengandung kuman-kuman pertusis yang kemudian terhirup. Kuman-kumannya akan hinggap pada bulu-bulu getar di lapisan lendir saluran pernafasan. Dan kuman yang menghasilkan racun pertusis ini akan menyebar melalui aliran darah ke bagian tubuh lain.
Batuk rejan ini bisa ditularkan dari orang dewasa atau dari anak di lingkungan sekitarnya. "Mungkin, pada orang dewasa batuk rejannya tak begitu berat, tapi menjadi berat begitu menular kepada anak."
Masa inkubasi batuk rejan dimulai dari masuknya kuman sampai timbul gejala penyakitnya. Lamanya berkisar antara 6-20 hari. "Umumnya sekitar tujuh hari."
Batuk rejan terbagi dalam tiga stadium. Stadium awal/katarhalis, lamanya 1-2 minggu. Stadium kedua/paroksismal, lamanya 2-4 minggu. Ketiga, stadium perbaikan/konvalesen, lamanya 1-2 minggu.
Pada katarhalis, gejalanya antara lain terdapat demam ringan, batuk pilek seperti gejala flu biasa. Kemudian gejala ini meningkat saat memasuki stadium paroksismal. Gejala batuknya mulai nyata dan kuat, batuk panjang secara terus menerus yang berbeda dengan batuk biasa. Pada beberapa anak, kata Najib, muncul whooping. "Sehabis batuk panjang dengan membuang nafas, lalu anak menarik nafas panjang." Itulah mengapa penyakit ini pun kerap disebut whooping cough.
Terkadang, pada kasus tertentu, saking kuatnya batuk anak bisa sampai menungging-nungging, muntah-muntah, mata merah dan berair, mukanya merah karena batuknya sampai mengejan, nafasnya susah sehingga muka anak tampak kebiru-biruan. Bahkan, diantara batuk tersebut anak tak bisa bicara.
Jelaslah, kata Najib, pada stadium paroksismal ini gejalanya berat sekali. "Jadi, bisa dibayangkan kalau batuk rejan ini terjadi pada bayi. Kita kasihan karena ia akan menderita sekali. Padahal, batuk yang sedang kuat-kuatnya ini bisa berlangsung sampai 4 minggu."
Bahkan, pada stadium ini bisa timbul komplikasi, seperti timbul perdarahan di hidung/mimisan, batuk berdarah yang ditimbulkan oleh batuk yang kuat sehingga menyebabkan luka pada saluran nafas. Bisa juga timbul perdarahan di dalam kedua matanya, terutama pada bagian putih mata. "Bahkan perdarahan di otak pun mungkin saja terjadi. Dan konsekuensi dari perdarahan di otak bisa menimbulkan kejang-kejang atau bahkan menyebabkan anak lumpuh," terang Najib.
Komplikasi lainnya, bisa juga menyebabkan kolaps paru, paru-parunya jadi kempes akibat batuk terlalu kuat. Bisa terjadi pula radang paru-paru atau pnemonia.
Pada bayi umumnya terjadi gangguan sesak nafas karena banyaknya lendir. Selain itu, bila lendir masuk ke telinga bisa menimbulkan congekan.
Sedangkan pada stadium konvalesen/perbaikan, batuk mulai berkurang dan kondisi anak mulai pulih. Umumnya setiap penderita akan melewati ketiga stadium tadi. Yang jelas, batuk rejan lebih sering diderita oleh anak perempuan. Hal ini diduga karena daya tahan tubuh anak perempuan lebih rentan ketimbang anak laki-laki.
PENANGANAN
Lantas, bagaimana penanganan terhadap penderita batuk rejan ini? Sebaiknya segera bawa anak ke dokter agar tidak terjadi komplikasi macam-macam. "Sebaiknya pengobatan batuk rejan dilakukan pada stadium awal. Agar bisa terhindar dari berbagai komplikasi yang mungkin ditimbulkannya. Lagipula, untuk mempersingkat waktu sakitnya," anjur Najib.
Biasanya pada awal pengobatan diberikan antibiotik untuk mematikan kuman. Selain itu, kata Najib, juga diberikan obat untuk menekan/mengurangi dan menghentikan batuk supaya anak tak terganggu. Dianjurkan pula untuk istirahat yang cukup, minum yang banyak dan makan yang baik. "Ada juga makanan yang harus dihindari, seperti makanan yang membuat gatal tenggorokan dan merangsang batuk. Misalnya es, makanan atau minuman yang dingin-dingin, goreng-gorengan, permen, dan coklat."
Pada bayi, dianjurkan dengan pembersihan jalan nafas atas. Jadi adakalanya diperlukan fisioterapi dengan penguapan di hidung atau disedot dengan sebuah alat penyedot untuk mengeluarkan lendir, melalui hidung dan mulut.
Batuk rejan ini bisa berulang, karena daya tahan tubuh si anak memang belum sebaik orang dewasa. Tetapi tentu tidak akan separah dan sehebat sakit batuk yang pertama. "Kemungkinan kambuh ini lebih banyak terjadi pada anak yang tidak menerima imunisasi, gizi kurang, lingkungan kurang hiegienis, dan terjadi kontak dengan orang yang sakit batuk rejan," jelas Najib.
IMUNISASI SEBAGAI PENCEGAHAN
Langkah pencegahan terbaik dengan memberi anak imunisasi DPT (Diphtheria Pertusis Tetanus). Imunisasi ini diberikan saat anak berusia 3, 4, dan 5 bulan. Kemudian diulang lagi saat anak berumur 1,5-2 tahun, dan kemudian saat berumur 6 tahun.
Tetapi, perlu diketahui, imunisasi ini memiliki efek samping menyebabkan panas tinggi, sekitar 38-39 derajat Celcius. Sehingga orang tua perlu ekstra hati-hati menjaga kondisi si kecil.
Kecuali itu, efek samping yang lain dari imunisasi ini lebih sering menimbulkan bengkak kecil pada bekas suntikan, berwarna merah dan rasa nyeri. "Akibatnya anak jadi rewel dan susah tidur, karena reaksi yang hebat dari vaksin tersebut. Tetapi, tentu saja jauh lebih baik diberikan imunisasi tersebut, daripada terkena pertusisnya."
Karena, hampir tujuh puluh persen anak yang tak mendapat imunisasi DPT bisa terkena pertusis. Bila anak mendapatkan vaksinasi pertusis kemungkinan terkena batuk rejan akan kecil karena sudah terlindungi. "Memang tak seratus persen terlindungi, tapi kalau, toh, terkena akan ringan."
Umumnya anak yang memiliki bakat kejang demam tidak diberi vaksinasi DPT, tapi DT saja. Tetapi, saat ini di luar negeri sudah ada vaksin pertusis tipe aselular. Vaksin ini jauh lebih ringan, hampir tak menimbulkan demam. "Jadi, bila mau memberikan vaksin DPT harus dilihat anaknya. Bila anak pernah mengalami radang otak, kejang demam, maka pemberian vaksin tersebut harus hati-hati. Karena bisa menyebabkan kejang demam kumat. Jadi dalam pemberian vaksin DPT tersebut bukan mutlak tak boleh diberikan, tapi dilihat dulu untung ruginya bagi anak," jelas Najib.
Nah, kini Ibu dan Ayah sudah lebih jelas lagi mana yang terbaik buat si buah hati. Begitu, kan?
Dedeh kurniasih/nakita
KOMENTAR