Tabloidnova.com - Memeringati Hari Melawan Eksploitasi Seksual Internasional yang jatuh pada 4 Maret kemarin, penanganan kasus kekerasan seksual di Indonesia masih belum menggembirakan.
Kekerasan seksual adalah tindakan pemaksaan untuk melakukan kegiatan seksual di mana salah satu pihak tidak menghendakinya. Dalam kasus kekerasan seksual, biasanya pelaku akan memilih korban yang diangggapnya lebih lemah dibandingkan dirinya.
Ninik Rahayu, mantan komisioner Komisi Nasional Perempuan (dua periode) dan akademisi serta pengajar studi gender mengatakan, perempuan dan anak-anak sering menjadi korban kekerasan seksual. Ini karena perempuan dan anak-anak dianggap lemah.
"Di Indonesia, atau mungkin juga di beberapa wilayah lain budaya patriarki masih sangat kuat di tengah masyarakatnya, di mana perempuan masih menjadi warga kelas dua dan dianggap tidak penting. Begitu pula dengan anak-anak, yang dianggap belum punya hak penuh layaknya orang dewasa,"papar Ninik.
Seringkali, korban kekerasan seksual pun memilih bungkam. "Pasalnya, bukan hanya ia akan merasa malu, tetapi harga dirinya pun sudah jatuh dan masa depannya sudah rusak. Belum lagi jika menerima ancaman serius dari pelaku, maka korban akan semakin takut."
Ninik mengatakan, perempuan dan anak-anak yang menjadi korban kekerasan seksual, biasanya akan berpikir berulang kali untuk melapor ke pihak berwajib (polisi) karena tiga hal.
Pertama, karena saat korban bicara kepada keluarga atau orangtuanya pun akan membuatnya berpikir berulang kali. Sebab kekerasan seksual merupakan bentuk kekerasan yang spesifik, tidak sama dengan kasus kekerasan lainnya.
Kedua, ada ketakutan untuk justru dipersalahkan, mengingat pola pikir masyarakat yang cenderung memojokkan. "Korban kekerasan seksual biasanya juga cenderung akan selalu dipersalahkan. Misalnya, karena dianggap mengenakan pakaian yang seksi dan mengundang hasrat lelaki. Padahal, perempuan yang mengenakan pakaian tertutup pun tak ada jaminan dapat lolos dari kekerasan seksual," tutur Ninik lagi.
Sementara itu, luka yang diakibatkan oleh kekerasan seksual terhadap korban sangatlah mendalam dan akan membekas seumur hidupnya.
Ketiga, Ninik menyayangkan, hukum di Indonesia masih lemah untuk memberi efek jera terhadap para pelaku kekerasan atau kejahatan seksual. Sehingga korban kekerasan seksual tampaknya masih sulit mendapatkan keadilan.
"Diperlukan para hakim yang berwawasan gender, karena pada kasus kekerasan seksual, biasanya pelaku lolos lantaran tak ada saksi atau bukti yang dapat menguatkan. Terlebih jika pelakunya adalah orang yang dikenal atau bahkan orang terdekat dari si korban, misalnya dari lingkaran keluarganya. Bisa ayahnya, kakak lelakinya, atau pamannya," kata Ninik.
Intan Y. Septiani/Tabloidnova.com
Atlet New Balance Triyaningsih Berhasil Taklukan Kompetisi TCS New York City Marathon 2024
KOMENTAR