Renata mulai gelisah. Sejak dipercaya memegang jabatan yang lebih tinggi di kantor, suaminya mudah marah karena hal sepele. Setelah ditelusuri, perbedaan finansial yang cukup kentara antara dia dan pasanganlah yang menjadi penyebab. Sebenarnya, Renata mengaku tak keberatan jika penghasilan suami tidak lebih besar dari yang ia dapatkan. Namun Renata kerap dirundung perasaan serbasalah. Karena di satu sisi, ia bangga dan senang dengan pencapaian yang ia peroleh. Di sisi lain, ia kecewa dengan sikap pasangan yang seolah tidak mendukungnya.
Kesenjangan Penghasilan
Kisah Renata ini, mungkin juga dialami oleh beberapa perempuan lainnya. Malah kondisi di mana istri dianggap lebih sukses dibanding suami acapkali menjadi pangkal masalah dari sebuah rumah tangga. Intriknya juga rumit dan tak sedikit. Padahal, besarnya keinginan dan kesempatan perempuan untuk bekerja, tak dapat dipungkiri turut membantu ekonomi keluarga. Jadi, kesepakatan dari kedua belah pihak lah yang dibutuhkan untuk menciptakan kompromi demi menyenangkan keduanya.
Kesenjangan penghasilan yang berujung konflik ini, menurut Anna Surti Ariani, S.Psi., M.Si., diakibatkan oleh maskulinitas tradisional yang dipegang teguh di masyarakat. "Karena secara tradisional, anggapannya laki-laki lebih maskulin sehingga dalam rumah tangga ia adalah seorang pemimpin. Sebagai kepala keluarga ia terbiasa dituruti dan dianggap tertinggi," ujar psikolog yang akrab disapa Nina ini. Dengan demikian, tambahnya, kenyataan bahwa posisi laki-laki berada di bawah Sang Istri terasa menjadi ancaman yang membuat dia tidak nyaman.
Masalah ternyata tidak hanya berasal dari suami, lho. Ketika pria merasa baik-baik saja dengan keadaannya, bisa jadi justru perempuan yang merasa bermasalah. "Kadang perempuan yang merasa bermasalah jika penghasilan suaminya tidak lebih tinggi dari dia. Hal seperti ini menunjukkan bahwa istri tidak bisa menghargai suami," tukas Nina.
Pentingnya Kompromi
Perihal keuangan memang selalu masuk pada ranah sensitif, apalagi dalam rumah tangga. Maka setiap pasangan harus menanggapi dengan hati-hati. Masalahnya, jika ada salah satu pihak yang merasa dirugikan, bisa-bisa malah memicu ketidakharmonisan di rumah.
Jika suami merasa tidak nyaman dengan keadaannya, bisa jadi ia menyalurkannya dengan menekan istri. "Bisa dilakukan dengan melontarkan kata-kata yang menusuk hingga ancaman. Yang sering terjadi, sih, pelarangan. Misalnya istri akan kerja hingga larut malam, suami bisa tidak mengizinkan dan marah besar jika istri bersikeras kerja," kata Nina. Ketidaknyamanan dan perasaan terintimidasi pada akhirnya bisa membuat suami tidak mendukung karier istri. Akhirnya, kedua belah pihak akan merasa tidak nyaman.
Hal seperti itu memang tidak terjadi pada setiap keluarga, karena latar belakang ideologi setiap orang tidak mutlak sama. "Pembagian tugas di keluarga itu berbeda-beda. Ada suami yang masih berideologi maskulin tradisional dan tidak. Jadi pintar-pintar istri menempatkan dan mengenali kondisi suami. Karena justru ada juga laki-laki yang mengharapkan kesejajajaran dengan istri dan tidak ingin dinomorsatukan," papar Nina. Meski demikian, bukan berarti pemahaman yang satu lebih baik dari yang lainnya. Keduanya akan menjadi baik apabila dapat dikomunikasikan hingga tercapai kompromi.
Jangan Diungkit
Dalam hubungan suami istri, sejatinya kedua belah pihak saling mendukung dan menguatkan. Sehingga jelas bahwa upaya menjaga perasaan tidak hanya berlaku untuk salah satu pihak.
KOMENTAR