Kelak si kecil sulit konsentrasi, mengalami gangguan belajar, dan jadi hiperaktif. Bahkan, saat di kandungan pun bisa mengalami pertumbuhan janin terhambat.
Buat sebagian wanita, kehamilan bukan sesuatu yang mudah. Bisa saja si calon ibu melewati 9 bulan kehamilan dengan perasaan tertekan, stres atau depresi. Dengan demikian, kehamilan pun dirasakan makin berat.
Hal ini bisa dipahami, karena kehamilan merupakan perubahan besar, baik fisik maupun mental. Misal, tubuh yang semula langsing, kini kelihatan gemuk; kulit yang tadinya mulus, sekarang jadi tampak hitam dan bergaris-garis; badan terasa pegal-pegal; payudara tersenggol sedikit saja terasa sakit, dan sebagainya. "Nah, keadaan ini bisa mempengaruhi mental si calon ibu hingga ia mengalami depresi," kata dr. Hj. Hasnah Siregar, SpOG.
Belum lagi perubahan hormon yang berlangsung selama kehamilan juga berperan dalam perubahan emosi si calon ibu. "Membuat perasaannya tak menentu, konsentrasi berkurang, serta pusing-pusing. Suasana ini tentu saja terasa tak nyaman dan kalau tak bisa diatasi akan muncul depresi," lanjut dokter dari Bagian Kebidanan/Penyakit Kandungan RSAB Harapan Kita, Jakarta.
KETAKUTAN BERLEBIHAN
"Munculnya depresi juga sangat dipengaruhi latar belakang kepribadian si calon ibu," tambah psikiater dr. L. Suryantha Chandra yang dijumpai pada kesempatan terpisah. Jika ia berkepribadian immature (kurang matang), introvert (tak mau berbagi dengan orang lain), atau tak seimbang antara perilaku dan perasaannya, seperti menjalani perkawinan yang dipaksakan, akan membuat jiwanya rapuh dalam menghadapi berbagai masalah selama kehamilannya. Akibatnya, ia akan mudah depresi.
Matang-tidaknya seseorang, lanjut Direktur Utama Sanatorium Dharmawangsa, Jakarta ini, tak tergantung usia tapi lebih pada pola asuh orang tuanya. "Bila orang tua selalu memanjakan berlebihan, secara tak sadar telah memupuk ketidakdewasaan pada anaknya. Biasanya anak yang demikian takkan bisa menerima perubahan yang terjadi pada kehamilannya sebagai sesuatu yang alami. Kalau ia tak bisa menanggulanginya, maka stresnya jadi tinggi."
Bukan itu saja, "ibu hamil yang kerap dilanda ketakutan-ketakutan tertentu dalam menghadapi kehamilannya: takut ada apa-apa selama persalinannya kelak, ada apa-apa dengan janinnya, takut suaminya tak mencintainya lagi dengan keadaan tubuhnya sekarang, dan takut-takut lainnya, akan membuatnya stres," tambah Hasnah. Terlebih jika dirinya juga ada masalah dalam kehamilannya, misal, menderita darah tinggi, diabetes, atau anemia, atau bila keluarganya ada yang menderita cacat bawaan, "akan semakin membuatnya stres. Ia takut akan dampaknya bagi janinnya."
Depresi akibat ketakutan/kecemasan yang berlebihan ini bisa menimpa siapa saja, baik pada calon ibu muda yang baru pertama kali hamil maupun ibu-ibu yang sudah berkali-kali melahirkan. "Pada wanita usia muda, biasanya ketakutannya berkisar soal keadaan kesehatan janinnya dan proses persalinan yang harus dihadapinya kelak. Terlebih jika sebelumnya ia mendengar cerita-cerita seram mengenai proses persalinan. Sementara pada usia tua, ketakutannya lebih karena faktor usia. Ia takut terjadi apa-apa pada kehamilannya karena usianya tak muda lagi itu, 'Kalau ada apa-apa dengan saya, siapa nanti yang akan mengurus anak-anak.' Akhirnya ia jadi melankolik dan tertekan jiwanya."
Faktor lain yang juga turut andil membuat calon ibu mengalami depresi ialah perkawinan bermasalah dan kelahiran anak yang tak diinginkan.
DUKUNGAN DARI KELUARGA
Biasanya, depresi muncul di usia kehamilan trimester II, saat tubuh tengah mengalami perubahan besar, baik fisik yang membesar maupun hormon yang meningkat. "Pada saat-saat seperti inilah ada kecenderungan ibu hamil jadi egois. Ia ingin selalu jadi pusat perhatian. Pokoknya, kala hamil, dorongan ingin diperhatikan itu kuat sekali, " terang Hasnah. Namun bila kepribadian ibu cukup matang, menurut Chandra, depresi bisa cepat diatasi, "karena ia akan gampang diberi pengertian. Hingga, kala kehamilan trimester II dan III, sudah bisa beradaptasi dan lebih tenang."
KOMENTAR