Menurut Parenting Communication Specialist, Hana Yasmira, MSi., terdapat tiga topik yang sukar dibicarakan dengan anak yaitu Sex, Death, and Divorce (SDD) karena menyangkut hal sensitif seperti pornografi dan perasaan kehilangan atau kesedihan.
Di antara ketiganya, Death (kematian) dan Divorce (perceraian) adalah topik yang paling sulit dikomunikasikan. Contohnya, orangtua yang menyembunyikan perceraian dari anaknya. Padahal, anak sebenarnya tahu meski orangtua menganggap anak tidak tahu. "Bahasa tubuh kita menyampaikan pesan yang akan tertangkap oleh anak," ucap Hana.
Menurut Hana, menyembunyikan perkara seperti ini akan membuat anak gamang, bertanya-tanya sendiri, dan tidak sanggup menyelesaikan masalahnya. "Padahal, anak hanya ingin didengarkan," lanjut Bunda Hana, sapaan akrab Hana.
Ajak Bicara
Ketika anak menghadapi kematian ayah atau ibunya, misalnya, biarkan anak usia belia berduka dan mengekspresikan kesedihannya. "Belajar memahami dan menerima kesedihan itu sebagai bagian dari proses belajar anak untuk menerima kehilangan. Jangan remehkan, apalagi mengabaikan kesedihan itu," kata Bunda Hana.
Orangtua bisa membantu anak mengkonfrontasi rasa kehilangannya dengan membiarkan anak ketia ia ingin menangis. Lalu, hadapi dengan sikap, "Silakan menangis, Nak. Tidak apa-apa karena itu akan membuatmu lega."
Sayangnya, orangtua sering mendoktrin anak dengan perkataan yang tidak masuk akal. Misalnya, "Jagoan, kok, menangis," kepada anak laki-laki. Doktrin semacam ini tentu membebani anak. Cara lainnya, ajak ia bicara dan yakinkan bahwa segala sesuatu yang ia rasakan adalah wajar. Dengarkan dan terima apa pun yang dia katakan. Baik itu perasaan, harapan, atau ketakutan. Penerimaan ini akan mendorong anak untuk berbicara terbuka.
Kalau anak kesulitan mengungkapkannya, jangan ragu untuk "memancingnya". Misalnya, "Kamu kangen Ayah, ya? Kapan pun kamu kangen Ayah, kamu bisa bilang ke Ibu." Jika yang meninggal dunia sang adik, katakan, "Kakak mau membelikan susu untuk Dedek Aldi? Kamu kangen Dedek, ya? Ibu juga kangen, tapi Dedek sudah meninggal, jadi tidak bisa lagi minum susu."
Akan tetapi, bila anak kesulitan mengungkapkan kesedihannya secara lisan, beri dia jalan keluar nonverbal. Misalnya, lewat permainan boneka, gambar, atau tulisan.
Beri Label
Jadi, yang penting, apa pun perasaan negatif anak-anak, orangtua sebaiknya mau mendengarkan dan tanpa mengirim pesan balik. Artinya, orangtua tidak menghakimi atau menghibur. "Pokoknya terima saja dan name it, atau beri label perasaan itu. Misalnya ketika anak sedih karena ayahnya meninggal, 'Kamu sedih ya?' Cara ini akan membuat emosi anak mereda dengan sendirinya," terang Hana.
Di sisi lain, banyak orangtua yang menghibur anak dengan mengatakan bahwa, "Ayah pergi ke surga, Nak," "Pergi jauh" atau, "Tidur panjang." Hal ini, hanya akan membingungkan anak karena pikirannya sangat konkret. Bisa saja, lho, mereka akan menunggu atau mencari orang yang "pergi jauh" tadi.
Selain itu, menurut Hana, ucapan ini akan mendatangkan kesedihan yang mendalam. Oleh karena itu, orangtua sebaiknya jujur, tidak emosional, serta menggunakan bahasa sederhana. Misalnya, "Ya, ayah meninggal karena sakit, Nak. Kamu sedih, ya? Ibu juga sedih, kok."
Hana lalu menambahkan bahwa perasaan sedih anak tidak selalu bisa cepat diusir. Akan tetapi, begitu kesedihannya usai, rasa itu pasti akan pergi.
Rasa Bersalah
Saat menemani anak yang berduka, orangtua tidak boleh mengabaikan kesedihan anak dan membiarkannya terlalu lama menumpuk di dalam hati. Begitu pula dengan meremehkan kesedihannya dan lalu mengangkatnya ke permukaan. "Anda harus meyakinkan anak bahwa kesedihan ini wajar dan dia selalu punya hak untuk mengekspresikannya dengan cara yang dia mau," lanjut Hana.
Anak-anak acapkali juga menyimpan perasaan bersalah menghadapi kematian orang yang mereka cintai. Misalnya, karena tidak pernah menjenguk Sang Ayah ketika sakit. "Apakah perasaan bersalah ini akan hilang? Tergantung sejauh mana orangtua memahami dan menerima (berempati, Red.) perasaan anak, tanpa menyalahkan," lanjut Hana.
Ingat, jika anak tidak bisa mengungkapkan perasaannya dan orangtua tidak mampu berempati, maka perasaan kecewa bisa jadi akan terus terbawa. Mungkin saja, lho, anak akan mengungkapkannya lewat tindakan negatif.
Peluk Erat
Lima cara ini juga bisa membantu pemulihan anak yang sedang berduka:
? Lakukan aktivitas rutin seperti biasa.
? Atur kebersamaan anak dengan orang-orang yang dekat dengan mereka.
? Lebih sering memeluk anak karena hal ini akan membantu anak merasa nyaman.
? Anak biasanya menjadi tidak percaya diri pada malam hari. Jadi, sementara waktu biarkan lampu kamar tidur menyala atau temani mereka tidur.
? Jangan mengeluh ketika anak tiba-tiba lengket dan tidak mau ditinggal karena mereka sedang berada pada masa sulit dan sedang mencari rasa aman dan nyaman.
Benak Anak
Apa yang ada di benak seorang anak ketika orangtua atau orang yang mereka cintai meninggal dunia?
Usia 0 - 2 tahun:
Melihat kematian sebagai perpisahan atau perasaan bahwa mereka ditinggal, tidak memiliki pemahaman kognitif tentang kematian, dan merasa tidak lagi mendapat perhatian dan perawatan.
Usia 2 - 6 tahun:
Seringkali percaya bahwa kematian hanya sementara dan orang yang meninggal pasti akan kembali, acapkali menerima kematian sebagai hukuman atas tindakan yang pernah mereka lakukan, dan sering merasa bersalah atas perilaku negatif mereka terhadap orang yang meninggal.
Usia 6 - 11 tahun:
Secara perlahan menunjukkan pemahaman mengenai kematian dan menunjukkan penalaran yang nyata serta mampu memahami hubungan sebab akibat dari kematian.
Hasto Prianggoro/Dari Berbagai Sumber
KOMENTAR