Berpisah lama dengan orang tua membuat anak batita merasa kehilangan. Pikirkan dampak dan lakukan persiapan jika terpaksa harus meninggalkannya.
Cukup banyak pasangan muda sekarang ini harus meninggalkan anaknya demi tugas kantor atau tugas belajar. Baik yang hitungan hari maupun tahun. Untuk sementara, anak dititipkan pada kerabat, semisal kakek-neneknya.
Yang jadi masalah adalah jika anak harus ditinggal berbulan-bulan atau bahkan tahunan. "Orang tua harus memikirkan konsekuensinya terhadap anak," kata Alma Nadhira, psikolog dari RS Fatmawati, Jakarta.
Secara psikologis, kata Dhira, anak batita belum bisa lepas dari orang tuanya. Ia masih membutuhkan kasih sayang dan perhatian. "Kalau perginya untuk waktu lama, misalnya tahunan, sebaiknya anak diajak. Atau salah satu dari mereka tetap tinggal bersama anak." Dengan kehadiran salah satu, entah ayah atau ibu, anak tetap merasa aman.
Yang jelas, lanjut Dhira, anak harus disiapkan sejak jauh hari. Sebab, kesiapan anak sangat tergantung pada kedekatannya dengan orang tua yang terjalin selama ini dan dengan siapa si anak lebih dekat. "Beda dengan anak yang sejak kecil memang sudah sering ditinggal ayah-ibunya yang bekerja. Dampaknya mungkin tak seberapa parah. Sebab, biasanya anak sudah terbiasa dengan figur pengganti seperti nenek-kakek yang siap memberinya kasih sayang, perhatian, serta perlindungan." Kendati tak parah, kata Dhira, "Anak tetap akan stres. Apa pun juga, pisah dari orang tua, bukan hal yang menyenangkan buat anak." Karena itu, eliminir sekecil mungkin dampaknya.
Umumnya, anak lebih dekat dengan ibunya yang lebih banyak mengurus dirinya. Meski ada juga yang lebih dekat ke ayah karena sang ayah rajin mengajaknya bermain. Nah, ketika ayah dapat tugas belajar atau harus tugas ke luar kota/negeri dalam waktu lama, anak jadi kehilangan.
BISA TRAUMA
Perlu diingat pula, anak usia batita belum begitu paham kenapa orang tuanya harus pergi. Dijelaskan berkali-kali pun, mereka belum bisa sepenuhnya mengerti. Apalagi di usia ini ia masih egosentris dan belum bisa berpikir dengan konsep yang rumit-rumit. Yang jelas, perpisahan selalu menjadi hal yang mengerikan buatnya. Dengan bahasa yang terbatas, si batita akan bilang, "Bunda, aku kangen sama Ayah. Kok, Ayah pulangnya lama, ya." Di sini anak masih bisa berkeluh kesah pada ibunya.
Nah, jika dua-duanya pergi untuk waktu lama, anak bisa stres. Dari yang ringan sampai berat. "Mungkin awalnya ia jadi pendiam, pemurung, dan agak rewel. Lama-lama, ia protes dengan caranya sendiri seperti enggak mau makan." Lebih celaka lagi jika figur pengganti dirasa tidak mampu memenuhi peran ayah-ibunya, "Anak bisa trauma yang berlanjut sampai dewasa."
Sebaliknya, anak justru bisa lebih dekat pada figur pengganti ketimbang dengan orang tuanya sendiri. Jika tak diatasi, sampai waktu yang lama anak akan selalu mencari figur penggantinya. Dengan kata lain, kedekatannya berpindah pada orang yang memberinya perhatian dan kasih sayang selama ia ditinggal orang tua. "Orang tua harus mulai dari awal lagi untuk melakukan pendekatan pada anak," kata Dhira.
Ketika orang tuanya kembali, hubungan mereka akan terasa kaku, canggung, dan anak tidak seekspresif dulu dalam mengungkapkan rasa sayangnya. Jadi, secara alamiah, perpisahan yang lama bisa menjauhkan kedekatan di antara mereka. Misalnya, anak enggan memeluk ayah/ibunya. "Memang tak selalu begitu karena tergantung dari seberapa besar trauma yang dialaminya."
PERSIAPAN SEMUA PIHAK
Oleh sebab itu, tandas Dhira, orang tua harus siap dengan segala risiko. Ini bisa dikurangi jika sebelumnya mental anak sudah benar-benar disiapkan. Di sisi lain, tak cuma anak yang perlu disiapkan, tapi juga orang tua, dan figur penggantinya. Berikut sejumlah langkah yang disarankan Dhira.
* Jangan lakukan persiapan secara mendadak. Minimal 1-3 bulan sebelumnya, anak sudah dikondisikan. Lebih lama, lebih baik lagi.
* Jelaskan tentang figur pengganti yang akan mendampingi anak selama orang tua tak ada. Lakukan pendekatan dengan figur pengganti jauh-jauh hari hingga anak sudah bisa menciptakan kedekatan.
* Bangun kerja sama yang baik dengan tokoh pengganti. Orang yang diberi kepercayaan itu pun harus bisa menjadi jembatan yang menjaga hubungan baik anak dengan orang tua. Bukan malah justru menjauhkan dan menguasai anak sepenuhnya. Setidaknya, anak dibolehkan menghubungi orang tuanya dengan alat komunikasi yang memungkinkan. Juga tetap mengingatkan tentang orang tuanya sambil memperlihatkan foto-foto, selain berusaha menenangkan perasaan si anak. Pendek kata, figur pengganti ini harus bersikap kooperatif.
* Lakukan secara perlahan dan bertahap sambil tetap memberinya penjelasan semisal, "Ibu dan Ayah nanti harus pergi. Bukan karena kami tidak sayang sama kamu, tapi Ibu dan Ayah harus sekolah lagi. Nah, untuk sementara, kamu tinggal sama Eyang. Jangan takut, Ibu dan ayah akan selalu menelepon kamu." Dengan begitu anak tidak akan kaget.
* Akan lebih baik jika figur pengganti tinggal di rumah kita, sehingga anak tak perlu pindah ke lingkungan baru.
* Persiapan sama perlu dilakukan kendati hanya satu orang tua yang pergi. Misalnya, "Papa nanti akan pergi jauh dan lama. Tapi enggak usah sedih, kan, ada Mama. Nanti kita bisa telepon Papa." Dengan demikian anak akan merasa lebih tenang.
Di masa berpisah, orang tua tidak boleh lupa menjaga kedekatan dengan anak. Oleh karena itu orang tua harus tetap intens memberi perhatian dan selalu berkomunikasi dengan anak. Banyak cara yang bisa dilakukan. "Misalnya, menelepon secara rutin, kirimi foto lewat internet, atau mengirim oleh-oleh secara berkala." Jika dana mencukupi, bisa saja orang tua yang pulang-pergi mengunjungi anaknya di waktu-waktu tertentu. Atau sebaliknya, anak diajak berkunjung ke tempat tugas/belajar orang tuanya. Hal-hal seperti ini akan menggembirakan anak. Ia pun merasa tetap diperhatikan dan disayang orang tuanya.
Dedeh
Berita yang lebih lengkap dan dalam ada di Tabloid NOVA. Belinya enggak repot, kok.
Sahabat NOVA bisa pilih langganan di Grid Store, atau baca versi elektroniknya (e-magz) di Gramedia.com, MyEdisi, atau Majalah.id.
KOMENTAR