Sedangkan ditilik dari aspek gender, imbuh Singgih, jelas ada nuansa perbedaan antara pria dan wanita. Wanita, contohnya, lebih mengarah ke hal-hal atau suasana yang memberi rasa aman terhadap masa depannya. Sementara laki-laki lebih dikuasai oleh hal-hal yang berkaitan dengan harta benda dan segala sesuatu yang memberikan nilai-nilai yang prestisius.
Artinya, kalau awalnya ia berasal dari tingkatan yang biasa-biasa saja kemudian berhasil meningkatkan diri setingkat demi setingkat, maka ketika mencapai level tertentu ia akan merasa dirinya berhasil. Lebih jauh keberhasilan tersebut membuatnya merasa perlu melakukan overkompensasi terhadap segala hal yang dulu tidak dimilikinya. Mengapa? Karena overkompensasi semacam itu menimbulkan rasa senang, nyaman, sekaligus bangga. Contoh konkretnya adalah membeli segudang perhiasan yang mahal-mahal. Secara psikis, perhiasan tadi memberi nilai kepuasan pada dirinya. Ia sama sekali tak peduli betapa mahal harganya. Padahal kegunaannya pun boleh dibilang tak ada atau tak mendesak sifatnya seperti kebutuhan akan pangan dan sandang. Baginya, "Lo, ini, kan, hasil jerih payah saya. Saya berhak mendapatkannya. Apalagi benda-benda itulah yang membuat saya merasa istimewa dan bahagia." Sementara pada pria, kemapanan yang sama akan membuat dirinya merasa sukses. "Inilah saya. Saya berhasil. Saya bisa melakukan apa saja yang saya mau."
Itulah mengapa, pria akan cenderung mengkait-kaitkan keberhasilannya dengan benda-benda yang dianggap memiliki nilai prestisius. Semisal rumah di kawasan tertentu, lengkap dengan mobil merek tertentu, dan penampilan dengan corak atau gaya tertentu pula.
YANG BISA DIUPAYAKAN
Tak heran jika si individu berasal dari tingkat sosial ekonomi yang sangat berbeda, ia terkesan norak sebagai OKB (Orang Kaya Baru). Sebab, ia cenderung melebih-lebihkan kemewahan dalam setiap tutur kata maupun tindak-tanduknya. Itu semua dilakukan semata-mata guna menentramkan hati bahwa dirinya hebat dengan segala keberhasilannya.
Ironisnya, lupa diri membuat seseorang jadi melupakan pasangan/keluarganya. Terlebih jika nilai kebutuhan akan tepuk tangan dan pujian lebih ditinggikan. Mudah sekali baginya terjerumus pada sikap atau pola hidup yang mementingkan pengakuan dari orang luar. Meski idealnya, sih, susah dan senang selalu ditanggung bersama. Kendati tak bisa dipungkiri bahwa mereka tetaplah dua pribadi yang berbeda. Dalam arti, masing-masing memiliki latar belakang, persepsi, dan "tingkat kekebalan" yang berbeda menghadapi permasalahan yang ada.
Kalau kita tahu pasangan lupa diri, saran Singgih, "Cobalah cari bagaimana caranya supaya tetap terbina saling kerja sama dan komunikasi timbal balik. Caranya, suami istri-saling menghargai dan saling mengingatkan." Memang, sih, mereka yang lupa diri ini biasanya terkesan membatasi interaksi bahkan cenderung menutup diri dari pasangannya. Yang muncul adalah "Aku adalah aku. Aku menjadi aku seperti yang kumau. Tak peduli apa katamu, meski kau adalah suami atau istriku." Seharusnya, mereka berdua kembali pada komitmen bersama sejak awal. Dengan demikian, apa yang telah dicapainya adalah bagian dari prestasi dan rejeki pasangannya juga. Sayangnya, pihak yang lupa diri ini umumnya menganggap pasangannya tak bisa mengimbangi keberhasilan dirinya. Seolah ada jurang pemisah di antara mereka akibat ada perubahan nilai yang drastis.
Itu sebabnya, ungkap Singgih, upayakan keseimbangan di antara suami-istri untuk meminimalisirnya. "Jangan sampai yang satu langkahnya sudah bergegas, yang lain masih berjalan di tempat dengan santai. Ya, jelas enggak seimbang, dong." Makanya, bila pasangan sudah terlihat ambil ancang-ancang untuk melangkah cepat, kita pun mesti menyiapkan diri untuk bergegas mengimbanginya. Jika tidak, bukan tidak mungkin terjadi disintegrasi. Hingga ungkapan-ungkapan seperti, "Lo, kok, suamiku sudah berubah?" atau "Payah, istriku ketinggalan zaman.", tak perlu terdengar. Yang juga tak kalah penting, harus ada kesediaan untuk saling mengimbangi dan memahami kebutuhan pasangan. Bila sejak awal komunikasi sudah terbangun, diharapkan kesenjangan komunikasi akibat pasangan lupa diri kian bisa diminimalisir. Akan jadi masalah karena komunikasi di saat-saat seperti itu biasanya juga sudah rusak atau malah terputus. Pasangan merasa terabaikan kebutuhannya oleh suami/istri. "Padahal, kalau komunikasi masih terjalin baik, suasana atau momen manis untuk bercakap-cakap masih bisa diupayakan."
MERASA DIRI BENAR
Harus diakui, suami maupun istri yang dengan segala jerih payahnya sendiri mencapai kedudukan terhormat, sedikit banyak pasti akan mengubah pribadinya. Itu semua karena adanya tuntutan-tuntutan dari lingkungan sesuai dengan perubahan statusnya tadi. Semisal harus tampil rapi karena sekarang sudah menduduki posisi pimpinan. Hingga, bila perubahan tadi tidak diikuti oleh istri/suaminya, besar kemungkinan akan muncul kekacauan-kekacauan kecil akibat kondisi tak seimbang tersebut.
Tentu saja bukan berarti perubahan yang dialami harus selalu "mendikte". Yang bersangkutan, jelas Singgih, tetap bisa mempertahankan kepribadiannya, semisal sederhana. Asalkan si individu mampu mengubah-ubah role-nya. Dalam arti, ia harus pandai-pandai menempatkan diri dan menyesuaikan peranannya sebagai apa.
Perlu diingat bahwa setiap peranan baru tentu menuntut kemampuan untuk menyesuaikan diri. Jika tidak, akan muncul kegoncangan dalam role of conflict-nya. Di antaranya mabuk kepayang alias lupa diri. Perlu diingat, semakin stabil kepribadian seseorang, kian sedikit pula konflik yang bakal muncul.
KOMENTAR