Yang jadi masalah, jika depresi tak bisa diatasi karena akan berlanjut hingga pasca persalinan, disebut post partum psychosis. "Mereka yang mengalaminya, selama hamil tak menunjukkan gejala apa-apa, hanya kelihatan murung. Namun setelah melahirkan, ia jadi meledak yang tarafnya sudah psychotik; gejalanya seperti sakit jiwa, marah-marah dan bicara sendiri. Ia juga mengalami halusinasi yang mengatakan dirinya sudah jelek hingga suaminya bisa meninggalkannya. Ini sudah tergolong depresi akut atau parah," terang Chandra.
Itulah mengapa, depresi harus diatasi agar jangan sampai berlanjut jadi parah. Apalagi kehadiran depresi tak bisa dicegah. Peranan keluarga, menurut Hasnah dan Chandra, amat penting untuk mencegah keparahan. Misal, suami men-support istri yang keadaannya lagi tak menentu. Bahkan, dukungan mertua pun sangat dibutuhkan. Pendeknya, seluruh keluarga besar turut men-support ibu hamil. Makanya, kini ada program Piaga, yaitu perawatan ibu hamil yang melibatkan keluarga. Tak heran bila sekarang seluruh anggota keluarga -baik suami, orang tua dan mertua- dibolehkan berada di ruang bersalin. Tujuannya, agar ibu yang akan melahirkan merasa seperti berada di rumah sendiri dengan dikelilingi orang yang disayangi dan menyayanginya.
Selain keluarga, support dari dokter tak kalah pentingnya, lo. "Dokter harus bisa menyakinkan calon ibu bahwa kehamilan adalah proses alamiah. Jadi, ada semacam garansi bahwa dokter akan membantu hingga ia tak perlu cemas atau takut. Nyeri dalam persalinan yang kerap ditakuti, kan, bisa diatasi sehingga tak perlu takut. Toh, dokter akan selalu menuntunnya dalam persalinan," tutur Hasnah. Bahkan, cukup banyak ibu hamil yang jadi lebih tenang ketika didampingi dokter dan mengaku nyerinya pun hilang.
Sementara untuk mengurangi kecemasan dan ketakutan, saran Hasnah, sebaiknya ibu hamil dan suaminya ikut pendidikan parent education. "Alangkah baiknya jika diikuti sejak kehamilan trimester I, hingga bila belum berpengalaman, mereka akan mendapat banyak pengetahuan; dari perubahan-perubahan yang terjadi sampai apa yang harus dilakukan suami pada istrinya." Diharapkan lewat bimbingan ini para calon ibu lebih bisa menerima perubahan dalam kehamilannya, hingga mereka bisa cepat beradaptasi pada perubahan-perubahan tersebut dan ketakutannya pun berkurang. Soalnya, yang membuat stres itu adalah ketidaktahuannya. Namun setelah tahu bagaimana mengatasi setiap perubahan yang ada, mereka jadi lebih tenang hingga depresinya juga berkurang.
HINDARI OBAT-OBATAN ANTI DEPRESAN
Akan halnya obat-obatan antidepresan, takkan sembarangan diberikan. "Sebelum kehamilan berumur 4 bulan, obat-obatan ini tak akan diberikan," tegas Hasnah. Jadi, setelah kehamilannya kuat baru diberikan. Soalnya, obat antidepresan ini bisa berpengaruh pada liver janin. Itu sebab, pemberian obat-obatan merupakan langkah terakhir. "Selama masih bisa diatasi tanpa obat, lebih baik diberikan support sosial."
Selain itu, ada beberapa teknik relaksasi untuk mengendurkan ketegangan yang bisa dipelajari ibu hamil. Salah satunya yang termudah seperti dianjurkan Chandra, tidur-tiduran di alas yang agak keras atau duduk bersandar di kursi dengan rileks, lalu pejamkan mata dan kendurkan otak serta otot-otot tubuh dari muka hingga kaki. "Dengan mengendurkan otak, biasanya bisa sampai ketiduran. Sesudah itu, akan terasa segar dan tak tegang. Bukankah orang depresi itu biasanya merasa tegang, pikirannya lambat, dan tak bisa konsentrasi. Nah, dengan relaksasi, maka bisa kendor semua."
Bisa juga dengan cara lain, yaitu tarik nafas panjang, cari suasana beda, atau berbagi cerita dengan orang lain, mendengarkan musik, serta berolahraga. "Kalau tetap tak bisa diatasi, bahkan sampai tak bisa tidur bermalam-malam, ya, segera hubungi psikiater untuk mendapat pertolongan lebih lanjut," bilang Chandra. Yang pasti, pesannya, jangan minum alkohol selama depresi karena akan makin memperparah keadaan.
DAMPAK PADA ANAK
Penting diketahui, depresi pada ibu hamil akan berdampak pada proses persalinan dan janin. "Menurut penelitian, ibu hamil yang selalu gelisah, cemas, dan takut, maka anaknya kelak akan mengalami kesulitan belajar, tak bisa konsentrasi, sering ketakutan, bahkan tak jarang hiperaktif," tutur Hasnah.
Soalnya, terang Chandra menambahkan, bila ibu hamil gelisah, akan ada perubahan-perubahan neurotransmiter di otaknya. "Nah, neurotransmiter ibu akan mempengaruhi sistem neurotransmiter si janin melalui plasenta. Selain itu, bila ibu selalu dalam keadaan takut akan meningkatkan produksi neural adrenalin, serotonin, dan gotamin, yang bisa masuk ke peredaran darah si janin, hingga mempengaruhi sistem sarafnya."
Depresi juga bisa mengganggu kehamilan itu sendiri, terutama bila ibu tak mau makan. "Akibatnya pertumbuhan janin bisa terhambat. Bukankah metabolisme ibu tak maksimal, hingga pasokan oksigen pada janin juga tak maksimal," terang Hasnah pula. Jika ini terjadi, berarti si ibu harus meningkatkan gizinya. "Dengan membaiknya kondisi ibu diharapkan janin pun akan mengejar ketinggalannya. Apalagi jika ketahuannya sejak dini, maka pertumbuhannya bisa terkejar. Walaupun kita juga tak bisa jamin apakah pertumbuhan organ janin tak terganggu, karena di trimester I itu, kan, saat pembentukan organ dan kelamin bayi."
Depresi yang akut pun akan menyulitkan ibu dalam persalinannya. "Hisnya bisa tak teratur, jalan lahir bisa sangat kaku dan sulit membuka, atau posisi bayi tak kunjung turun. Nah, kalau terjadi deviasi persalinan seperti ini biasanya dokter akan melakukan sesar setelah sebelumnya dicoba memberikan stimulus untuk hisnya."
Jadi, Bu, jangan biarkan depresi "menyerang", segera atasi demi kebaikan janin dan Anda sendiri. Tentu para Bapak pun diharap mendukung Ibu yang tengah hamil agar tak sampai stres.
Indah
KOMENTAR