Anak yang pintar bicara boleh jadi amat membanggakan, tapi memberi kesempatan orang lain bicara juga perlu diajarkan.
Di usia prasekolah, kemampuan bahasa anak berkembang pesat. Kemampuan ini meliputi kosakata dan makna kata. "Kosakata mereka bertambah dengan cepat karena diajarkan langsung oleh orang tua, hasil dari interaksi dengan teman, belajar di sekolah, atau karena menonton televisi," papar Evi Elviati Psi., psikolog dari Essa Consulting.
Bila di usia batita kemampuan bahasanya baru bersifat ekspresif, maka di usia prasekolah, kemampuan itu berkembang juga menjadi reseptif. Artinya, mereka tidak sekadar mengemukan apa yang dirasakan, tetapi juga mampu tanggap terhadap pembicaraan yang diterima. Hal ini, kata Evi, bisa dilihat dari semakin kerapnya anak-anak usia prasekolah berbicara satu sama lain, terutama saat bermain.
Kematangan-kematangan perkembangan bahasa inilah yang membuat anak prasekolah senang bicara. Ditambah dengan perkembangan sosial maupun kematangan untuk mencari identitas diri, jadilah mereka selalu ingin tampil sebagai pembicara. "Sudah bicaranya semakin pintar, anak usia prasekolah berada pada tahapan egosentris, yang ingin menunjukkan keakuannya. Sehingga dalam setiap kesempatan berbicara, ia selalu ingin menonjolkan diri," jelas Evi.
Itulah mengapa, akhirnya yang tampak, anak sering mendominasi obrolan. Ditambah, pada usia tersebut, anak memang belum dapat menunda keinginan untuk berbicara. "Kalau mereka ingin bicara, ya mereka langsung saja bicara. Mereka tak peduli kapan harus berhenti bicara dan berbalik menjadi pendengar."
BUKAN CARI PERHATIAN
Perilaku ini terbilang normal di usia prasekolah. Apalagi juga ada hubungannya dengan ego mereka. Pada tahapan usia ini, segala sesuatunya berpusat pada dirinya sendiri. "Jadi karena fokusnya ke diri sendiri, dia ingin semua orang mendengarkan. Mereka tak peduli pada teman-temannya meski sebaya. Mereka enggak melihat apakah lawan bicaranya sebaya atau orang dewasa. 'Pokoknya aku mau ngomong'."
Meski ingin semua orang mendengarkannya, bukan berarti anak bermaksud mencari perhatian, lalu ia ngomong terus. "Tetapi karena mereka belum tahu aturan sosial dalam berbicara, bahwa dalam percakapan, ada yang berbicara, ada yang mendengar, lalu bergantian. Itu yang membuat mereka, sebenarnya bukan mendominasi pembicaraan, tapi ingin mengatakan apa pun yang mereka katakan. Jadi tak punya maksud apa-apa. Ini bukan tingkah laku negatif karena mereka belum paham tindakannya mendominasi atau memborong percakapan adalah sesuatu yang tidak sopan."
Masalahnya, kalau kemudian dia mendapat teman sebaya yang juga doyan bicara jadinya malah ramai karena tak ada yang mau mengalah untuk jadi pendengar. Semua pihak cenderung mendominasi padahal sebenarnya ada aturan percakapan yang harus dipatuhi.
JADILAH WASIT
Kendati terbilang normal, mendominasi pembicaraan tak semestinya dibiarkan. Si kecil tetap harus diarahkan agar perilakunya ini tak menjadi kebiasaan yang melekat selamanya. "Apalagi perilaku memborong pembicaraan dipandang melanggar norma sopan-santun dalam budaya kita karena dipandang egois dan tak berempati. Di sini perlu peran orang tua atau orang dewasa yang ada di sekitarnya untuk mengajarkan norma-norma tersebut pada anak," tutur Evi.
Beri tahu si kecil, bahwa bercakap-cakap harus dilakukan bergantian. Bila ayah atau ibu kebetulan melihat salah satu anak sudah mendominasi, Evi menyarankan untuk mengintervensi. Misalnya, "Nah, Anto sudah ngomong, coba sekarang Edo. Anto diam dulu ya, dengerin Edo mau gantian cerita." Dengan demikian, anak tahu, bahwa adakalanya dia harus diam mendengarkan dan menyilakan orang lain untuk gantian berbicara.
Namun, dalam mengintervensi, orang dewasa perlu juga bertindak hati-hati. Jangan asal menghentikan anak yang sedang asyik bercerita. "Ada kan, orang tua atau orang dewasa yang enggak tahan mendengar anaknya ceriwis. Langsung memotong, 'Udah jangan ngomong lama-lama', apalagi tanpa menjelaskan alasannya. Padahal, mereka ceriwis karena kemampuan bahasanya memang sudah mendukung, ditambah kognitifnya juga sudah memadai untuk menceritakan dengan panjang lebar pengalamannya."
Bila anak sedang seru-serunya bercerita, lalu orang tua memotong, lama-lama anak jadi malas berbicara. Pikirnya, "Ketika aku ngomong, kok, selalu dipotong. Aku nggak mau lagi ngomong."
Pengalaman tidak enak ini akan berdampak pada tumbuh kembang anak. "Kemampuan bahasanya terhambat dan ekspresi dirinya berkurang. Keterampilan komunikasinya juga enggak terlatih. Ke depannya, dia bisa tumbuh jadi pribadi yang tak percaya diri karena hambatan komunikasi."
Jadi, orang dewasa pintar-pintarlah membaca situasi untuk menjadi fasilitator yang baik. Tahu kapan harus menginterupsi untuk mengarahkan anak yang mulai mendominasi. Evi menyarankan, potonglah ketika nada bicara anak mulai menurun. "Kalau sedang asyik, biasanya menggebu-gebu. Jangan dipotong karena akan menyakitkan. Pada saat nada bicaranya sudah menurun, boleh kita langsung memotong, 'Nah, sekarang gilliran temanmu yang cerita ya. Ayo kita dengarkan.' Selanjutnya, bila temannya sedang gantian bercerita, kita ajarkan juga bagaimana caranya menunggu sampai si teman selesai berbicara, baru kemudian giliran ia berbicara lagi."
Orang tua juga dapat menginterupsi bila anak sudah bicara berpanjang lebar ngalor-ngidul, terutama yang membual. Contoh, ia mengaku pergi ke suatu tempat, padahal tidak benar. Namun, agar tidak menyinggung harga diri anak, katakan, "Nah, Kakak ceritanya berhenti dulu. Sekarang gantian temanmu. Kalau temanmu sudah bercerita, Kakak gantian cerita tentang pergi ke Bandung ya, tempat yang minggu lalu Kakak pergi bersama Ibu." Dengan begitu, si anak akan tahu bahwa ibu tak suka anak membual sekaligus belajar bahwa dalam bercakap-cakap, harus gantian.
Bila kebetulan yang menjadi lawan bicara anak adalah temannya yang pasif atau pendiam, orang tua perlu juga menyarankan agar si teman mau berbicara. Misalnya dengan mengatakan, "Anto sudah cerita perjalanannya ke Bandung, coba kamu sekarang Andi, Tante ingin dengar, liburan kamu kemarin ke mana?" Dengan demikian anak yang pasif dan hanya mau mendengarkan pun diberi kesempatan bicara. Lama-lama, ia akan terlibat aktif dalam obrolan.
TUNJUKKAN EMPATI
Memberi kesempatan bicara pada lawan bicara termasuk bentuk empati yang perlu diajarkan. Pada tahapan usia prasekolah, anak masih senang membicarakan segala sesuatu yang berpusat pada dirinya. "Egosentrisme ini mendorong mereka hanya berbicara pada topik-topik seputar keseharian mereka. Misalnya, cerita tentang mainannya, kemarin pergi dengan siapa. Jadi, topiknya belum mengarah pada hal-hal di luar dirinya. Segala sesuatunya menurut cara pandang dia dan menonjolkan dunianya. Belum ingin tahu urusan orang lain," lanjut Evi.
Karena itu, selain mengajarkan untuk tidak mendominasi percakapan, kita juga bisa mengajari anak untuk tidak hanya fokus ke dirinya saja. "Tidak ada salahnya kita melatih, misalnya, 'Nah, sekarang Arif sudah selesai cerita. Coba sekarang Arif tanya Dion, gimana perjalanan Dion kemarin ke Bandung. Ayo Dion, cerita dong ke Arif.' Jadi perlu diajarkan." Menanyakan kegiatan orang lain juga menunjukkan pada anak tentang sopan santun dalam pergaulan. Dengan begitu, anak berkesempatan mendengarkan orang lain sekaligus belajar mengekspresikan dirinya.
Perlu diingat, masa prasekolah adalah masa yang tepat untuk menanamkan nilai dan aturan-aturan sosial. Bila kita tidak mengajari anak bertatakrama dalam berbicara, mungkin saja anak terbiasa mendominasi pembicaraan dan ingin selalu didengarkan tanpa mau mendengarkan orang lain. "Pribadinya juga kurang berempati karena ingin semua berpusat pada dirinya. Lama-kelamaan dia bisa egois juga."
Tentu saja sifat egois bisa menimbulkan konflik kala dia harus berbaur dengan teman-temannya. Kasihan kan, kalau si kecil kemudian dikucilkan.
CIRI ANAK CERDAS
Suka ngomong sebenarnya menunjukkan keterampilan berbahasa yang baik. Hal ini menimbulkan rasa percaya diri pada anak karena dengan mudah mampu berkomunikasi dengan siapa pun.
Perlu diketahui, di usia prasekolah perkembangan bahasa memang berkembang pesat. Tapi ini tentu tergantung pada seberapa besar stimulasi yang diterimanya dari lingkungannya. "Anak yang biasa diajak bicara, sering diajak ngobrol, akan pandai mengungkapkan ekspresinya, sehingga percaya dirinya tampak menonjol," tambah Evi.
Beda dengan anak yang jarang diajak ngobrol, menurut Evi, bisa saja si anak tetap bisa berbicara, tetapi kosakatanya terbatas. Cara dia mengungkapkan perasaan, pengalaman, dan ide-idenya juga terbatas. "Segi nada, intonasi, mungkin tidak sekaya mereka yang selalu dirangsang untuk berbicara."
Itulah mengapa, anak harus dirangsang potensi bahasanya untuk selalu berbicara. "Jadi jangan salah, ngomong terus juga ada manfaatnya. Anak belajar perbendaharaan kata, makna kata, dan cara berbicara yang runtut. Anak, kan, kadang-kadang tidak runtut bila bercerita. Nah, dengan banyak berbicara, dia berlatih. Ada penempatan kata sambung dan sebagainya."
Jadi, biarlah anak terus berbicara untuk mengembangkan potensinya. Tapi, sekali lagi, ajarkan juga tatakrama dalam berbahasa. Bukankah bahasa menunjukkan bangsa? Artinya kesopanan, kedewasaan, dan kepribadiaan seseorang tercermin juga dari caranya berbicara.
BERIKAN TELADAN
Teladan sangat bermanfaat buat si kecil. Dengan contoh konkret dari orang tuanya, anak mudah menyerap sebuah perilaku. Ketika orang tua hendak mengajarkan bagaimana pentingnya memberi kesempatan pada lawan bicara, mulailah dari memberi kesempatan pada pasangan untuk berbicara. "Cara ini akan mengajari si kecil bahwa tidak mendominasi pembicaraan merupakan bagian dari tatakrama bergaul," ungkap Evi.
Jika ibu atau ayahnya selalu mendominasi pembicaraan, dan celakanya, tak ada konsekuensi apa-apa yang diterima oleh pasangannya, maka si anak akan belajar, "Wah, ternyata tidak apa-apa kalau ngomong terus." Tetapi keluarga ini lupa, di lingkungan luar, si anak bisa mendapat efek yang negatif. Dia bisa saja dijauhi teman-temannya karena dinilai egois. Meski mungkin teman-temannya belum mengerti konsep egois, anak kecil pun ingin dihargai. Tentu teman-temannya juga sebal kalau harus mendengar si kecil ngomong terus tanpa mau mendengarkan orang lain bicara.
Santi
KOMENTAR