Soalnya, meski rasa jijik/takut ini wajar pada batita, tapi tak boleh dibiarkan berlarut-larut karena akhirnya bisa membuat si kecil jadi phobia dan krisis kepercayaan diri. Bukankah rasa takut berkaitan dengan kemampuannya mengendalikan rasa takut tersebut? Nah, berarti akan berpengaruh pada kepercayaan dirinya, kan?
Jika penyebabnya sudah diketahui, saran Nisfie, tangani secara perlahan. Bila karena meniru orang tua atau orang yang dekat dengannya, kita harus memberi peniruan lagi dengan contoh konkret. Misal, "Lihat, nih, Bunda main tanah. Tangan Bunda memang jadi item-item, tapi enggak apa-apa. Nanti, kan, cuci tangan lagi." Dengan begitu, ia berpikir, "Ah, pegang tanah enggak apa-apa, kok!" Bahkan, kita bisa mengubah objek yang menakutkan menjadi sesuatu yang fun, misal, mencetak tanah jadi macam-macam bentuk menarik dan lucu.
PAHAMI PERASAANNYA
Tak kalah penting, jangan pernah membuat anak menyembunyikan atau menekan rasa takut/jijiknya. Terlebih hanya agar ia tak tampil malu-maluin di depan orang. Biasanya ini banyak dilakukan orang tua, lo, terutama pada si Buyung, "Kok, jagoan Ayah lihat pasir aja jijik, sih? Malu, ah!"
Memang, untuk selanjutnya si kecil akan bereaksi seperti yang kita inginkan. Namun dalam dirinya terjadi konflik hebat: di satu sisi ia merasa jijik/takut, di sisi lain ia harus menekan perasaan itu agar terlihat berani. "Dampaknya bisa lebih kompleks, lo. Ia jadi menarik diri dari sosialisasi atau mengalami mistrust pada orang tuanya. Akibatnya, apa pun omongan orang tua takkan didengar hingga ia tumbuh jadi pembangkang," jelas Nisfie.
Jangan pula mempermalukannya, "Aduh, Adek, kok, kayak gitu aja jijik, sih? Ini, kan, enggak apa-apa. Lihat, nih, Mama pegang enggak apa-apa, kan?", misal. Hal ini hanya membuat si kecil merasa tak dipahami, merasa diabaikan, dan tak dihargai perasaannya. "Kok, aku enggak dipahami, sih? Aku harus bilang gimana biar Bunda dan Ayah tahu bahwa benda ini memang menjijikkan!" Jadi, dengan menunjukkan reaksi jijik, sebenarnya ia ingin orang lain mengerti apa yang ia rasakan.
Akan lebih bijaksana bila kita berpikir dari sudut pandang anak, bukan sudut pandang orang dewasa. Kata-kata kita akan lebih didengar karena si kecil merasa kita sepaham dengannya. Misal, "Waktu Bunda masih kecil, Bunda juga merasa jijik sama pasir, tapi lama-lama enggak lagi." Dengan begitu, dalam dirinya timbul keyakinan, "Lama-lama juga aku enggak jijik lagi, kok, karena enggak cuma aku yang jijik sama pasir, Bunda juga tapi Bunda sekarang sudah enggak jijik lagi!"
Setelah berusaha memahami perasaannya, berilah alasan yang masuk akal. Meski rasa ingin tahu anak belum dalam, tapi usahakan memberi penjelasan logis dan efektif. Jangan hanya sekadar berkata, "Iya, lo, pasir itu memang menjijikkan, ya?' tanpa diiringi penjelasan logis. Ini malah akan memperkuat rasa takutnya.
Lebih baik katakan, misal, "Dek, pasir itu awalnya terbuat dari batu, terus kena hujan dan panas hingga batu itu pecah lalu jadi kecil, jadi kecil, akhirnya jadi pasir seperti ini." Namun, objek lain yang diambil haruslah yang tak ditakuti si kecil. "Ini akan membuat cara berpikir anak tak lagi terfokus pada rasa takut tapi mulai belajar menganalisa bahwa objek yang membuatnya takut, sebenarnya tak menakutkan."
Dengan bercerita yang sarat akan informasi positif, menurut Nisfie, kita bisa mengurangi rasa takut anak sekaligus melatih nalarnya. Sebab, rasa takut/jijik, selain berkaitan dengan masalah emosi, juga kognitif (pemikiran anak akan suatu objek tertentu). Begitulah solusinya, Bu-Pak, dalam menghadapi anak yang jijikan.
Agar Si Kecil Tak Jorok
Tentu kita tak ingin si kecil tumbuh jadi anak jorok, kan? Di sisi lain, kita pun tak boleh menghambat ia bereksplorasi hanya karena takut ia akan tumbuh jadi anak jorok.
Saran Nisfie, ambil jalan tengah, "ia boleh bermain kotor-kotoran asalkan setelah itu langsung membersihkan badan." Bila perlu, kita bisa menetapkan "hari" di mana ia bisa berkotor-kotor ria, tapi dengan peraturan, sehabis bermain, ia harus langsung mandi agar bersih kembali. Dengan begitu, anak enggak kita loss sama sekali, tapi juga enggak terlalu protective.
Jika si kecil menolak ganti baju atau mandi sehabis main kotor-kotor, kita bisa bilang, "Dek, ganti baju, dong. Kalau Adek berpenampilan seperti ini, nanti disangka orang enggak pernah diurus sama Bunda, lo." atau "Dek, kalau kamu kotor seperti itu, nanti banyak yang ngejek kamu, lo!"
Faras Handayani/nakita
KOMENTAR