Untuk jangka panjang, dampak buruknya terutama berkaitan dengan prestasi akademikya. "Dengan duduk diam menyaksikan acara di TV, anak sudah terpola oleh suguhan visual dan alur cerita yang menarik." Artinya, segala sesuatu mengenai tokoh cerita, bahkan perkembangan imajinasinya sendiri sudah disetir sedemikian rupa oleh TV. Jadi, imajinasinya tak berkembang sendiri secara proporsional.
Akibatnya, ia tak terbiasa aktif dalam menangkap apa yang disajikan kepadanya. Padahal, saat masuk "sekolah" dibutuhkan daya tangkap yang baik mengenai segala hal yang dilihat dan dialaminya. Itu sebab, besar kemungkinan ia pun jadi tak terbiasa menaruh perhatian pada guru maupun apa yang diterangkan guru. Baginya, sosok guru tidaklah sehebat sosok jagoannya di TV. Sementara materi pelajaran dan cara penyampaiannya dianggap tak menarik karena tak bergerak atau "hidup", kalah seru dan tak berwarna alias datar-datar saja dibanding acara kesayangannya di TV.
Jika dampak buruk ini tak segera diminimalisir atau bila sudah terlanjur mendarah daging, sedikit banyak akan mempengaruhi perilakunya. Misal, ia tumbuh jadi anak yang agresif dan kaya akan kata-kata kotor/kasar. Ia pun bisa terbentuk menjadi anak cuek alias kurang menaruh peduli pada orang lain; bila dipanggil enggak nyahut, ogah mendengarkan omongan kita atau bila diajak bicara matanya jelalatan entah ke mana. Penyebabnya apalagi kalau bukan lantaran ia tak terbiasa berkomunikasi dua arah dan menatap lawan bicara. Selain karena seluruh waktunya selama ini hanya terpuaskan untuk menikmati kejadian yang sifatnya satu arah.
DAMPINGI ANAK
Itulah mengapa, kita harus selalu mendampingi si kecil kala ia menonton acara kegemarannya maupun tayangan lain di TV. "Namun mendampinginya bukan sebatas ada bersama tapi sibuk dengan urusan masing-masing, lo!" tegas Nisfi. Melainkan, kita harus berusaha keras melibatkan anak dalam tayangan yang tengah ditontonnya.
Misal, si kecil suka nontonTeletubbies. Nah, ajak ia mengulangi kata-kata yang "diajarkan" di situ. Terangkan pula nilai-nilai moral yang hendak disampaikan, seperti kerukunan saat bermain bersama. Kemudian, bila si kecil rewel kala ada selingan iklan, kita bisa katakan, "Teletubbies-nya, kan, butuh istirahat. Mereka capek, lo, habis main-main di lapangan. Sekarang, Mama dan Adek istirahat juga, dong." Dengan begitu, si kecil pun belajar bahwa ia tak bisa selalu memperoleh apa yang diinginkannya.
Manfaat lain, imajinasi si kecil akan terlatih karena ia merasa ikut terlibat dalam acara tersebut. Selain telinga dan hatinya tak terus-menerus kosong karena komunikasi dan kedekatan emosinal tetap terjalin.
DISIPLIN DAN KONSISTEN
Selain pendampingan, Nisfi pun menganjurkan kita agar memanfaatkan resume acara sebelum membolehkan si kecil menonton acara tertentu. Hingga, kita pun bisa menentukan acara mana yang boleh dan tak boleh ditonton si kecil.
Kemudian, disiplinkan seluruh anggota keluarga. "Jangan pernah ijinkan siapa pun sepanjang hari menikmati tayangan TV tanpa sempat melakukan kegiatan lain secara proporsional." Batasi jam menonton, misal, hanya 1-2 jam di waktu pagi/siang atau 1-2 jam saat sore/malam. Namun dalam memberlakukannya tak perlu dengan disiplin ala militer yang serba kaku sampai menggunakan kekerasan. "Cukup beri tahu atau bangun pengertiannya dengan cara-cara halus." Misal, "Nak, nanti kalau jarum yang pendek sudah ada di angka 7, TV-nya dimatiin, lo." Atau, ingatkan si kecil untuk makan, tidur siang, merapikan mainan, dan lainnya begitu acara favoritnya usai ditayangkan.
Tentu saja, kita harus konsisten. "Bila kita melarang anak menonton acara tertentu, kita pun seyogyanya tak menyaksikan acara tersebut.
Jangan sampai anak protes karena merasa diperlakukan berbeda." Bila kebiasaan ini ditanamkan, menurut Nisfi, tanpa dilarang pun si kecil akan tahu bahwa acara tersebut memang bukan porsinya. Namun bila kita tak konsisten, "jangan harap disiplin akan terbentuk." Malah, bisa jadi si kecil akan memanfaatkan ketidakkonsistenan kita, semisal, "Kalau sama Bunda, aku pasti enggak boleh nonton acara itu. Tapi kalau Bunda pergi, aku, kan, enggak dilarang sama Si Mbak." Itulah mengapa, seluruh anggota keluarga sampai pembantu dan pengasuh pun harus sepakat, acara mana yang boleh ditonton dan tidak.
Bila perlu, tekan Nisfi, orang tua menentukan batasan-batasan tegas dan meminta seluruh anggota keluarga mematuhinya. Termasuk aturan-aturan lain yang berkaitan dengan acara menonton, semisal tak boleh makan sambil nonton. Apalagi bila si kecil sudah "sekolah", kita harus mulai mengajarkannya bertanggung jawab dari hal-hal kecil, misal, kalau mau "sekolah" enggak boleh nonton. Namun jangan lupa, sertai penjelasan konkret yang bisa diterima si kecil mengapa kita memberlakukan aturan tersebut. Misal, supaya enggak terlambat saat mobil jemputan datang.
Faras Handayani/nakita
KOMENTAR