Banyak pasangan yang setiap tahun selalu bersemangat merayakan ulang tahun perkawinannya. Ada yang merayakannya dengan cara pesta di rumah mengundang sanak keluarga dan sahabat, ada pula yang pergi bulan madu lagi berdua atau hanya makan malam berdua dalam suasana romantis, dan sebagainya.
"Semua ini soal teknis, tergantung kesepakatan dan kebiasaan masing-masing pasangan. Ada yang merasa perlu merayakan dan ada yang tidak, cukup diingat saja tanggalnya," tutur psikolog Ieda Poernomo Sigit Sidi. Sebenarnya, lanjut Ieda, kebiasaan merayakan ulang tahun perkawinan berkaitan dengan kultur, sosial, agama, dan ekonomi. "Malah ada juga, lho, pasangan yang merasa tak perlu mengistimewakan hari ulang tahun perkawinannya. Kesannya, tak menganggap penting karena di masyarakatnya, ulang tahun perkawinan bukan merupakan sesuatu yang penting," tuturnya lagi.
Jadi, bila suami-istri berangkat dari latar belakang dan kebiasaan yang berbeda, bukan tak mungkin akan terjadi pandangan yang berbeda tentang perlu tidaknya merayakan ulang tahun perkawinan. Bahkan bisa terjadi, yang satu enggak ngerti apa, sih, istimewanya ulang tahun perkawinan sementara pasangannya justru sangat mengagungkan. "Biasanya ini akan jadi masalah karena yang satu menganggap penting dan ingin merayakannya sementara pasangannya tak peduli, bahkan ingat pun tidak," bilang Ieda.
TAK BOSAN MENGINGATKAN
Menurut Ieda, umumnya suami tak begitu mempersoalkan hal ini. "Ulang tahun perkawinan saja, kok, diributkan. Yang penting, kan, saya ingat. Lagi pula, mau kasih kado kapan saja saya bisa, kok," begitu katanya. Sebaliknya, istri cenderung mengagung-agungkan ulang tahun perkawinan dan berangan-angan untuk merayakannya secara romantis. "Nah, angan-angan inilah yang justru seringkali membuat ribut. Kok, kamu enggak perhatian; kok, kamu lupa, dan sebagainya. Padahal ini hanya soal kebiasaan saja," tutur Ieda.
Agar tak terjadi konflik, saran Ieda, suami-istri harus segera mencari kompromi atau bersepakat, bagaimana sebaiknya bila hendak merayakan ulang tahun perkawinan. "Apakah hendak menjadikannya tradisi atau tidak. Termasuk teknis pelaksanaannya, mau pakai pesta atau berdua saja." Bila pasangan bukan berasal dari keluarga yang amat mementingkan ulang tahun perkawinan dan menolak menganggap penting, kata Ieda, "Anda tak perlu berkecil hati karena dia tentunya akan sulit melakukan kebiasaan-kebiasaan baru bila sebelumnya tak pernah melakukan itu."
Bahkan, Ieda minta agar Anda jangan terlalu mempersoalkan kebiasaan tersebut, apakah menganggap penting atau tidak. Yang perlu Anda lakukan ialah bersabar dan tak bosan mengingatkan. "Jadi tak usah menuntut dari pasangan untuk hal yang memang dia belum terbiasa. Beri dia kesempatan, dong," tukas Ieda. Jangan pula mengharap suatu saat dia pasti akan mengikuti kebiasaan baru itu dan mengingatnya.
"Mungkin sepanjang hidup Anda, tiap ulang tahun perkawinan hanya Anda sendiri yang ingat, lalu menata rumah dan memasak secara istimewa. Sementara suami pulang-pulang hanya berkata, 'Ada apa, nih, kok istimewa?'" Kalau memang kesadaran suami hanya sampai di situ, istri jangan langsung gundah apalagi sampai ribut. "Sayang, kan, suasana ulang tahun perkawinan jadi rusak," ujar Ieda.
Jadi, bila Anda menganggap itu penting untuk dirayakan, lakukannya dengan senang hati namun jangan berharap dari pasangan Anda. "Enjoy yourself, mungkin saja lambat laun pasangan merasa, saya harus ikut dalam kegembiraan itu. Tapi mungkin juga, setiap tahun pasangan Anda hanya akan mengatakan, 'Oh iya, saya, kok, lupa.' Ya, sudah, tak apa-apa. Itulah pasangan Anda yang harus diterima," lanjutnya.
LAKUKAN EVALUASI
Sebenarnya, terang Ieda, yang lebih penting dalam memperingati ulang tahun perkawinan bukanlah kesepakatan tentang pesta atau perayaannya, tapi mencari makna dalam setiap tahun perkawinan yang dilewati. "Setiap pasangan hendaknya saling berdiskusi, apa, sih, arti ulang tahun perkawinan ini buat kita. Kita mau ngapain, sih, ke depannya, apa yang sudah kita capai, dan sebagainya."
Dalam bahasa lain, setiap memperingati ulang tahun perkawinan hendaknya ada evaluasi karena situasi perkawinan memang harus selalu dilihat lagi setiap tahun. "Bukan saja bagi yang baru 5 tahun menikah tapi juga yang sudah 25 atau 30 tahun karena setiap tahun yang lewat membawa perubahan pada setiap kehidupan perkawinan." Misalnya, pantas enggak di usia perkawinan 10 tahun kita masih meributkan hal-hal yang sama seperti pada tahun-tahun pertama. "Bisa juga sambil mengucap syukur, ah, lega, ya, kita baru 10 tahun menikah tapi rasanya kayak sudah 20 tahun. Lalu apa ke depannya yang akan kita lakukan."
Jadi, lebih menyadarkan bahwa usia perkawinan kita sudah segini, lo; apakah perkembangan perannya sudah tepat, ada yang ketinggalan enggak? Memang, aku Ieda, bukan berarti kegembiraan merayakan ulang tahun perkawinan harus ditinggalkan, "tapi sebaiknya kegembiraan itu juga bisa menjadi patokan untuk meninjau kembali dan menata kehidupan perkawinan agar ke depannya bisa diperbaiki yang kurang dan belum terlaksana."
Dengan demikian, di setiap ulang tahun perkawinan akan ada penambahan, pengenalan diri, dan pengenalan pasangan. "Kita juga jadi selalu optimis melihat ke depan karena kehendak masing-masing saling didengar sehingga setiap pihak terdorong untuk berinisiatif dan inovatif mengelola rumah tangga. Sekaligus sebagai perenungan untuk melihat apakah diri kita atau pasangannya sudah berbeda dengan kemarin."
Soal teknisnya seperti beli kue atau kembang, dirayakan berdua di luar kota atau pesta bersama seluruh keluarga besar, tergantung dari kebiasaan dan kemampuan ekonomi masing-masing. Sayangnya, tutur Ieda, justru evaluasi inilah yang kerap dilupakan pasangan karena terlalu mengagung-agungkan perayaannya. "Padahal, meski tanpa perayaan sekalipun setiap pasangan juga bisa terus merawat cinta mereka, kok. Asalkan evaluasinya dilakukan." Jadi, Bu-Pak, jangan lupa, lho, untuk saling introspeksi diri di hari ulang tahun perkawinan.
Santi Hartono / nakita
KOMENTAR