Perilaku mengadu kerap ditemui pada anak usia ini karena kemampuan berbicaranya sudah terbilang lancar. Namun patut diwaspadai bila si kecil sering mengadu. Jangan-jangan lantaran ia kurang perhatian.
Pada dasarnya, mengadu dilakukan bila anak ingin minta tolong orang lain menyelesaikan masalahnya. Misal, si Upik mengadu pada gurunya lantaran dipukul teman. Nah, ia ingin agar gurunya menghukum si teman. Atau, si Buyung mengadu mainannya direbut adik; ia ingin kita memarahi adiknya dan mengambilkan mainan itu dari si adik.
Namun, perilaku mengadu dianggap wajar hanya bila yang diadukan memang hal-hal membahayakan semisal dipukul, didorong hingga jatuh, atau diancam. "Jadi, bila lingkungan sosialisasinya relatif aman, tingginya frekuensi mengadu patut dicermati sebagai bentuk "kelainan"; apakah cermin ketakmandirian, ingin cari perhatian, kebiasaan yang harus diluruskan seperti kemanjaan berlebih, ataukah alat memanipulasi orang lain," tutur Indri Savitri dari LPT (Lembaga Psikologi Terapan) UI.
Soalnya, di usia prasekolah, anak diharapkan mulai bisa membina hubungan dengan orang lain dan menikmati sosialisasinya. Selain, bisa meng-handle masalah sesuai kemampuannya. Minimal, dengan kemampuannya berbahasa yang mulai lancar, kala dipukul teman, misal, ia bisa protes, "Kamu jangan mukul aku, dong. Sakit, nih! Lagian, aku, kan, enggak mukul kamu."
Selain itu, mengadu lebih banyak mendatangkan kerugian buat anak. "Cepat atau lambat, anak yang tukang ngadu pasti dibenci teman-temannya dan akhirnya menjadi the outsider alias dikucilkan." Padahal, buat anak seusia ini, penerimaan teman-teman sangat penting karena menyangkut konsep diri dan keberhasilannya bergaul. Bahkan, saat si kecil duduk di SD, keberhasilan bersosialisasi juga amat menentukan "prestasi"nya, disamping prestasi akademik tentunya.
Dampaknya semakin buruk bila orang tua tak segera mengarahkannya. Ia bukan hanya tak mengenali penyebab dirinya tak diterima lingkungan, juga tak mampu mengenali dirinya sendiri.
FAKTOR PENYEBAB
Berikut ini sejumlah faktor pemicu perilaku mengadu seperti dipaparkan Kepala Divisi Klinik & Pelayanan Masyarakat LPT UI ini.
1. Meniru
Boleh jadi si kecil tumbuh jadi anak pengadu lantaran orang-orang terdekatnya memang berperilaku seperti itu. Coba, deh, selidiki, adakah anggota keluarga yang hobi mengadu? Jangan-jangan malah kita sendiri yang sebentar-sebentar bilang, "Nanti Mama bilangin ke Papa, lo! Biar dijewer sama Papa kalau makannya enggak dihabisin." atau "Nanti Ayah bilangin Bunda, ya, kalau kamu gangguin Ayah terus. Biar nanti disetrap sama Bunda."
Ingat, lo, Bu-Pak, modelling atau peniruan masih cukup dominan di usia ini. Selain, omongan semacam itu cuma membikin si kecil meragukan kemampuan kita menyelesaikan masalah. Soalnya, yang tertangkap di benak si Upik atau si Buyung, kan, memang ketidakmampuan kita. Ia akan berpikir, "Kok, ayahku payah banget, sih, sebentar-sebentar ngadu ke Bunda."
Padahal, lebih efektif hasilnya bila kita langsung menegur si kecil. Misal, "Enggak boleh begitu, dong, Sayang. Kamu harus makan. Kalau enggak makan, nanti bisa sakit, lo." atau "Nak, Ayah harus menyelesaikan pekerjaan ini. Bila kamu terus mengganggu Ayah, kan, Ayah jadi enggak bisa bekerja. Gimana kalau kamu menggambar dulu di meja kecil itu sementara Ayah menyelesaikan pekerjaan. Kalau Ayah sudah selesai, baru kita main bersama."
KOMENTAR