Bisa juga dengan menjanjikan hal-hal yang masih relevan semisal, "Kalau makannya enggak habis, kita enggak jalan-jalan ke mal." Cara ini lebih baik ketimbang main ancam atau ngadu ke sana ke mari. Namun dengan catatan, sebelumnya kita memang sudah punya rencana ke mal dan janji itu harus ditepati bila si kecil benar-benar menghabiskan makanannya, atau bila ia tak juga menghabiskan makanannya maka ia tak boleh ikut ke mal.
2. Tak Terlatih Mandiri
Ini salah satu kesalahan kita sebagai orang tua: tak tega pada anak. Hingga, tanpa sadar kita cenderung memberlakukan kebiasaan-kebiasaan yang membuat si kecil jadi tak mandiri. Misal, selalu menyuapi makan, memandikan, memakaikan baju, menolong mengambilkan ini-itu, dan sebagainya. Bahkan, tak jarang kita biarkan si kecil terlayani semua kebutuhannya hanya cukup dengan berteriak, "Mbak!" memanggil pembantu atau pengasuhnya. Hingga, untuk tugas-tugas sederhana pun semisal mengambil minum dan membuka sepatu, si kecil akan memanggil pembantu/pengasuhnya.
Hati-hati, lo, Bu-Pak, kebiasaan ini bukan hanya berlangsung di rumah, tapi juga akan berlanjut ke "sekolah"; sebentar-sebentar ia memanggil gurunya untuk minta bantuan. Yang lebih parah, bisa menumbuhkan perilaku bossy, terutama dalam pergaulan dengan teman-temannya. Jika sudah begitu, ia bisa dijauhi lingkungan sosialnya.
Bukan berarti si kecil tak boleh dibantu, lo. Hanya saja, dalam batas-batas tertentu, ia harus mulai dilepas. Paling tidak, untuk tugas-tugas sederhana yang berkaitan dengan dirinya sendiri seperti makan, mandi, buka-pakai baju, dan lainnya. Dengan begitu, kemandiriannya perlahan-lahan tumbuh. Jangan lupa, di usia ini anak diharapkan bisa menyelesaikan segala persoalannya sesuai kemampuannya. Kita memang harus sedikit tega pada si kecil, ya, Bu-Pak.
3. Cari Perhatian
Bukan tak mungkin si kecil terbiasa mengadu hanya karena ia membayangkan nikmatnya mendapat perhatian dari guru atau orang tua. "Aku juga mau, ah," begitu pikirnya setiap kali ada temannya mengadu dan guru menanggapi atau adik/kakaknya mengadu dan ayah/ibu menanggapi. Padahal, mengadu yang sering merupakan bentuk pelarian dari ketakmampuan menyelesaikan masalah, bila tak direm, akan berdampak fatal. Anak terbentuk jadi pribadi yang terbiasa cari selamat sendiri, atau bahkan tega "mengorbankan" teman/adik/kakak, misal.
Terlebih bila guru/orang tua tak cermat, hingga mudah termakan pengaduan anak, "Bu, si A mukul," padahal sebetulnya tidak. Bila tak jeli melihat situasi, guru/orang tua pun akan salah menilai anak yang mengadu tadi. Sementara anak akan berpikir ia bisa memanfaatkan orang lain hanya dengan mengadu. Celaka, kan, Bu-Pak? Nah, untuk mencegah hal-hal seperti ini, kita memang perlu bersikap bijak dalam arti, kapan harus menanggapi pengaduan anak dan kapan pula perlu bersikap cuek.
4. Butuh Perlindungan
Dalam banyak hal, dengan segala keterbatasannya, anak memang sering merasa tak berdaya. Nah, dalam keadaan tak berdaya inilah, si kecil merasa perlu lari pada orang tua atau gurunya. Dengan kata lain, ia meminta kita atau gurunya menjadi perpanjangan tangannya dalam menyelesaikan masalah. Soalnya, di kelas siapa lagi, sih, yang pantas dianggap sebagai tokoh yang mampu melindungi selain guru? Sementara di rumah, cuma ayah-ibunya, kan?
Tentu hal ini tak boleh dibiarkan. Jangan lupa, anak terus tumbuh dan berkembang. Selama di TK, tuntutan semacam ini mungkin tak menimbulkan masalah buat guru. Namun setelah duduk di SD ketika guru-gurunya sudah tak seramah seperti di TK dan lingkungan sosialisasinya semakin "liar" sementara orang tua pun tak setiap saat bisa menolongnya, maka anak-anak yang terbiasa kelewat dilindungi jadi enggak percaya diri. Kebiasaan mengadu mengundang anak jadi pribadi cengeng yang selalu bergantung pada orang lain, padahal dunia butuh orang-orang yang tough alias tahan banting.
5. Kurang Pergaulan
KOMENTAR