Sebaliknya, jika anak dibiarkan tanpa diberi bekal dan langsung dicemplungin ke suatu lingkungan baru, "ya, tentunya ia akan bingung," ujar Aya. Soalnya, ia tak tahu harus seperti apa, harus berbuat bagaimana yang sesuai dengan tuntutan lingkungan. Akibatnya, ia pun akan bingung ketika ditolak dan dikatakan negatif oleh lingkungan karena tindakannya itu. "Ia juga bisa menjadi tertekan."
Selain itu, anak pun bisa menjadi over. Jangan lupa, di usia ini anak banyak menerima input, baik yang positif maupun negatif. Bila input positif yang seharusnya ia dapat dari orang tua atau pengasuh ternyata tak diperolehnya dan hanya input negatif yang ia terima, maka ia pun akan mengikutinya.
Misalnya, anak melihat model temannya yang suka bertindak kasar seperti memukul, merebut/merampas, dan sebagainya. Ia akan berpikir, oh, caranya minjam itu harus merebut; oh, kalau nggak suka itu tinggal pukul saja, dan sebagainya. "Nah, ia akan mengikutinya. Mungkin di rumah hal itu memang tak berlaku, tapi kalau orang tua tak pernah mengajarkan bahwa hal itu tak boleh, ya, mana anak akan tahu."
Dengan demikian, orang tua pun tak bisa mengatakan bahwa tindakan anaknya yang "berani" itu sebagai nakal/bandel. Wong, orang tua juga enggak pernah mengajarinya, kok. Itulah mengapa, tandas Aya, pentingnya anak diajarkan norma-norma sosial agar ia tahu mana yang boleh dan tak boleh, mana yang baik dan buruk,benar-salah, dan sebagainya.
CARI PERHATIAN
Tentu saja, tak ada kata terlambat untuk "membentuk" anak karena ia masih berkembang. Jadi, kalau di usia ini ia bandel, belum tentu di usia sekolah nanti ia akan bandel juga. Yang penting, ujar Aya, orang tua cepat menyadari bahwa apa yang dilakukan anaknya itu salah sehingga bisa segera diperbaiki. "Lewat proses belajar, lama-lama anak pun bisa berubah jadi lebih baik."
Nah, yang perlu dilakukan orang tua ialah menjelaskan kepada anak bahwa tindakannya yang "berani" itu tak bisa diterima oleh lingkungan. Misalnya, "Ade boleh kenalan tapi nggak boleh ditarik-tarik tangan temannya. Nanti dia bisa jatuh. Kan, sakit. Kalau begitu, Ade enggak pintar, ah."
Dengan demikian, anak belajar bahwa menarik-narik tangan orang selagi bersalaman atau berkenalan adalah tak boleh secara moral, bisa menyakiti orang itu, dan saya jadi anak nakal. Contoh lain, anak naik ke atas sofa saat bertamu dan orang tua bilang, "Ade, enggak boleh naik ke atas sofa, dong. Malu, kan, sama Tante."
Jadi, anak diarahkan agar ia tahu. Jika anak sudah diarahkan tapi tetap saja melakukan, menurut Aya, bisa jadi karena orang tua tak konsisten menerapkan norma; kadang boleh, kadang tidak. Itulah mengapa, Aya minta orang tua agar bersikap konsisten, "kalau enggak boleh, ya, enggak boleh. Jangan hari ini enggak boleh tapi besoknya boleh. Begitu pun sebaliknya."
Kemudian, terapkan pola rewarding. "Bila anak bertingkah baik, berilah hadiah atau pujian sehingga tingkah laku itu akan diulangnya. Jangan menunggu sampai anak melakukan kesalahan dulu." Selain lantaran orang tua tak konsisten, sikap anak yang "membandel" bisa juga disebabkan ia cuma ingin mencari perhatian; entah dari orang tua atau orang yang baru dikenalnya.
Bila niatnya mencari perhatian dari orang tua, ada banyak sebab. Bisa karena anak belajar bahwa kalau ia bertingkah "berani" , maka ayah dan ibu akan memberi perhatian lebih dibanding bila ia bersikap manis; orang tua memang kurang memberi perhatian, anak sedang tak enak badan tapi tak bisa mengungkapkannya, atau karena ia merasa kangen.
"Tapi kalau anak tengah mencari perhatian dari orang asing, biasanya karena pada dasarnya anak masih malu atau belum tahu caranya supaya orang lain memberi perhatian kepadanya." Pada kasus yang ekstrim, lanjut Aya, anak mencari perhatian karena ia memang under attention (kurang perhatian). "Anak seperti ini biasanya sangat kelihatan over acting-nya." Jadi, kita juga harus lihat kualitasnya. "Ada kalanya anak mencari perhatian hanya karena ingin disapa, ingin diakui keberadaannya, tapi ada anak yang bertingkah 'berani' karena memang ingin cari gara-gara." Bila demikian, orang tua harus tegas.
KOMENTAR