Temperamennya ini sudah dibawa sejak lahir. Bukan berarti si kecil selamanya akan jadi anak sulit. Kita bisa, kok, mengubahnya agar ia berkembang menjadi pribadi yang lebih baik.
Para ahli sepakat, setiap anak lahir dengan temperamen yang sudah ditentukan. Jadi, temperamen lebih disebabkan faktor bawaan. Ada 3 klasifikasi temperamen anak yang dibawa sejak lahir, yaitu anak yang difficult (sukar), easy (mudah), dan slow to warm up (lambat). Perbedaan ketiga klasifikasi ini didasarkan pada 9 karakteristik, yaitu tingkat aktivitas motorik, respon terhadap stimulus baru, kemampuan beradaptasi terhadap lingkungan, sensitivitas terhadap stimulus, intensitas reaksi yang muncul, keteraturan dalam menjalankan aktivitas sehari-hari semisal makan dan tidur, mood secara umum, jangkauan perhatian dan ketekunannya, serta seberapa mudah perhatiannya beralih.
Dengan demikian, di usia batita ini, temperamen anak merupakan pengembangan dari temperamennya semasa bayi. "Seberapa pun besarnya pengaruh lingkungan, temperamen yang dibawa anak sejak lahir akan tetap kuat mewarnai kepribadiannya di usia ini," tutur Dra. Farida Kurniawati. Jadi, kalau selagi bayi si kecil termasuk anak yang sulit, misalnya, maka di usia ini pun kecenderungannya akan sulit juga. Begitu pula bila semasa bayi ia bertemparamen mudah/lambat, kecenderungan di usia selanjutnya juga akan mudah/lambat.
TIDURNYA SEMAU GUE
Jadi, Bu-Pak, sebenarnya kita sudah bisa mengenali temperamen si kecil di usia ini. Apalagi jika sejak bayi kita sudah bisa mengobservasinya dengan baik. Berdasarkan kesembilan karakteristik di atas, tutur Farida, anak yang mudah ditandai dengan kemampuannya beradaptasi terhadap perubahan. "Ia juga bisa mengembangkan suatu pendekatan yang tepat terhadap situasi baru dan lebih fleksibel."
Adaptasinya terhadap pola asuh orang tua akan lebih baik. Kalaupun ia mendapat orang tua yang pola asuhnya cenderung otoriter atau permisif, pengaruhnya tak akan sebesar pada anak yang sulit. "Ia bisa lebih adaptable, lebih bisa memberikan toleransi yang baik karena basic-nya memang memungkinkannya untuk itu." Pada anak yang lambat, "mood atau respon emosional yang ditampilkan tak seekstrem anak sulit. Misalnya, marah seperti pada anak sulit. Hanya saja, kemampuan adaptasinya agak lambat sehingga perlu support dan kesabaran orang tua. Akan lebih baik bila pola asuhnya agak lebih demokratis," lanjut psikolog dari Fakultas Psikologi UI ini.
Anak yang sulit bisa dikenali dari tidurnya yang semau gue dan jadwal makannya yang tak teratur, misalnya. "Berbeda dengan anak mudah yang ritme tidur dan makannya lebih teratur." Reaksi terhadap kekecewaan pada anak sulit juga bisa begitu negatif. Bila keinginannya tak terpenuhi, ia mudah sekali mencetuskan emosi marahnya walaupun sudah diberi pengertian atau pemahaman. Atau, dalam toilet training, kapanpun ia mau BAB/BAK, ia akan langsung melakukannya di tempat, entah di belakang pintu, di halaman, dan sebagainya. Padahal, sebelumnya sudah diberi pengertian.
General mood atau kecenderungan-kecenderungan emosi secara umum juga bisa dipakai untuk mengenali temperamen si sulit. "Ia cenderung menampilkan reaksi-reaksi negatif, sementara emosi anak yang mudah lebih sesuai dengan tuntutan situasi." Anak yang sulit juga cenderung berlebihan dalam mengungkapkan reaksi emosionalnya; bisa jadi negatif atau kalau lagi senang tak proporsional. Kemampuan beradaptasi anak mudah juga akan membuatnya lebih ramah, lebih mudah berempati sama orang, dan sensitif terhadap bahasa nonverbal.
"Bila ada orang yang dewasa nggak suka, ia akan lebih merasa, 'Jangan-jangan aku salah.' Misalnya, lewat pandangan mata. Orang tua cuma melotot atau memalingkan muka, anak sudah paham." Tak demikian halnya dengan anak sulit, dimarahi pun ia cuek saja. Pada anak mudah, attention span dan persistence atau kemampuan memusatkan perhatian dan ketekunan bermain atau beraktivitasnya juga jauh lebih baik dari anak sulit.
"Ia lebih bisa konsentrasi, sementara anak sulit cenderung gampang teralihkan perhatiannya." Anak yang sulit juga lebih susah diberi batasan-batasan tentang apa yang boleh dan tak boleh. Kita pun bisa mengenali temperamen si kecil melalui sensorimotornya ketika ia tengah eksplorasi. Misalnya, anak pegang sana-sini. Nah, pada anak normal, aktivitas motorik dan perhatiannya akan lebih terarah. Tapi kalau anak sulit, mungkin ia memegang barang atau sesuatu cuma sekadar sambil lalu, bukan karena ia memang berminat.
TERGANTUNG POLA ASUH
Tapi, Bu-Pak, bukan berarti si kecil yang sulit akan selamanya tetap menjadi anak sulit atau si lambat akan lambat terus dan si mudah akan selamanya mudah. Karena dalam perkembangannya, seperti dikatakan Farida, temperamen anak dipengaruhi pula oleh pola asuh dan reaksi lingkungan. Nah, pada usia batita, karena anak umumnya belum begitu banyak bersosialisasi, maka perkembangan temperamennya lebih terpulang kepada pola asuh orang tua atau orang yang menggantikan peran orang tua baginya.
"Tapi nanti, begitu ia masuk play group, ia akan banyak mendapat masukan yang mungkin berbeda. Ia akan bisa berubah, namun karakteristik dasarnya akan masih tampak." Dengan demikian, bila anak sulit diasuh oleh orang tua yang cenderung sabar dan konsisten, maka akan lebih besar kemungkinannya untuk berkembang menjadi pribadi yang jauh lebih baik atau lebih sehat ketimbang anak sulit dengan pola asuh otoritatif atau malah permisif. "Pada anak sulit yang pola asuhnya kurang mendukung, kemungkinan untuk mengalami gangguan-gangguan kepribadian akan jauh lebih besar daripada anak tipe lainnya," tutur Farida.
Apalagi, tambahnya, anak sulit biasanya lebih banyak mengalami hal-hal yang kurang menyenangkan, penyesuaian dirinya terhambat, sulit untuk berkembang dengan baik, dan bahkan bisa saja mengalami kelainan kepribadian. "Tapi jika sejak anak masih kecil orang tua sudah mau jeli melihat anaknya seperti apa, ia akan bisa mengubah pola asuhnya untuk 'mengubah' temperamen anak." Jadi, bagaimana kita memperlakukan sang buah hati akan banyak berpengaruh terhadap temperamennya kelak.
"Kalau kita mau menerapkan pola asuh dan disiplin yang lebih sesuai pada anak sulit akan membantunya untuk merasa lebih diterima oleh lingkungannya, sehingga ia tak akan mengalami masalah-masalah dalam hidupnya." Bukankah di usia ini perasaan dihargai, diterima, dan dibutuhkan di mana anak berada merupakan pondasi untuk mengembangkan hubungan sosial yang rasanya aman? Dengan kata lain, si sulit akan lebih percaya diri, emosinya lebih sehat, dan lebih mudah untuk mengembangkan attachment di masa kecil kalau memang lingkungan memperlakukannya dengan tepat. Begitu pula dengan anak lambat, ia akan berkembang menjadi lebih baik; sementara si mudah akan semakin memiliki kepribadian yang bagus.
JANGAN BERI LABEL
Tentu akan lebih baik bila orang tua telah mengenali temperamen anaknya sejak berusia bayi sehingga bisa diarahkan sejak dini. Namun begitu, belumlah terlambat jika di usia ini kita baru "menyadari" bagaimana temperamen si kecil. Masih bisa diperbaiki, kok," ujar Farida seraya melanjutkan, "Jangankan yang masih batita, orang dewasa sekalipun masih mungkin berubah selama ia memang merasa bahwa ia harus berubah dan lingkungan men-support. Hanya memang tak akan seefektif ketika ia masih bayi atau batita."
Jadi, Bu-Pak, tak ada kata terlambat untuk sebuah perubahan ke arah yang lebih baik. Kita masih bisa "membentuk" si kecil di usia ini untuk memiliki pribadi yang bagus. Caranya antara lain dengan pendidikan, dialog, dan modeling. Apalagi, tutur Farida, temperamen sudah muncul secara bakat; tinggal bagaimana kita mengasahnya. Itulah mengapa, sejak anak lahir sebaiknya orang tua melibatkan tak hanya fisik dalam merawat dan mengasuh tapi juga mengembangkan semua indera yang kita miliki untuk bisa mengamati si kecil.
"Kalau kita peka mengamati anak, maka kita akan tahu persis apa kebutuhannya dan karakteristik anak. Diharapkan kita bisa menyesuaikan atau memberikan sesuai dengan kebutuhan anak." Misalnya, memberi stimulasi yang lebih tepat seperti dalam pemilihan alat-alat bermain atau buku-buku cerita. Pada anak sulit, karena emosi atau konsentrasinya tak sebagus anak mudah, kita bisa memberikan mainan-mainan yang membuatnya jauh lebih tenang atau lebih menyalurkan emosinya secara sehat. Misalnya, menggambar. "Bisa juga diberi mainan-mainan untuk melatih konsentrasi. Ini juga akan menurunkan level aktivitas yang lebih."
Kemudian, merangsang anak untuk banyak bergaul karena adaptasinya terhadap perubahan dan situasi baru agak sulit. "Jadi, jangan biarkan anak bermain hanya di rumah tapi perbanyaklah interaksi dengan teman-temannya." Yang juga penting, jangan memberi label/stigma/cap kepada anak. Misalnya, "Kamu memang bandel!" kepada si sulit. "Pemberian label akan membuat anak merasa dirinya memang bandel dan membuat orang tua putus asa dalam mengasuh anak. Akibatnya, anak akan semakin sulit," terang Farida mengakhiri.
HIDUP NYAMAN BERSAMA SI SULIT
Memang, tak mudah hidup dengan anak yang sulit. Kita sering dibuat merasa kesal serta marah, dan tak jarang sampai kehilangan kendali diri. Tapi sebenarnya kita bisa, kok, merasa nyaman menjalani hari-hari bersama si sulit. Nah, bagaimana caranya? Sejumlah tips berikut semoga dapat membantu.
* Beri ia banyak kesempatan bermain di luar rumah untuk menyalurkan aktivitas motoriknya yang sangat tinggi, namun tetap harus diberikan aturan/batasan dan pengawasan demi keamanannya.
Bila ia melanggar aturan/batasan tersebut berilah konsekuensi agar aktivitasnya yang tinggi tak berubah menjadi tingkah laku yang tak terkendali. Sebaliknya, pujilah ia ketika menunjukkan perilaku yang sesuai dengan aturan/batasan tersebut.
* Ajarkan bersuara pelan di dalam ruangan dengan diberi contoh sepelan apa suara yang Anda inginkan. Sementara di luar ruangan, ia boleh bersuara lebih keras (juga dicontohkan).
Bila di dalam ruangan ia mulai berbicara keras dan tak mau mengubahnya sekalipun Anda sudah mengingatkannya, bawalah ia ke luar ruangan tanpa banyak komentar apalagi marah-marah. Bagaimanapun Anda tak bisa menuntutnya untuk berbicara pelan sepanjang waktu di dalam ruangan.
Ada baiknya ia diberi banyak kesempatan untuk melatih vokalnya dengan cara yang lebih bisa diterima semisal menyanyi mengikuti suara dari pita kaset, menirukan suara binatang, membaca puisi, dan sebagainya. Siapa tahu ia kelak menjadi penyanyi terkenal atau juara omba baca puisi, dan sebagainya.
* Untuk memperpanjang kemampuan konsentrasinya, tawarkan aktivitas yang benar-benar diminatinya. Misalnya, ia suka segala jenis binatang; entah dalam bentuk gambar, film, ataupun melihat langsung. Nah, tawarkan buku cerita bergambar atau film tentang binatang, entah yang secara khusus menceritakan tentang kehidupan satu jenis binatang maupun beraneka binatang. Dampingi ia saat "membaca" buku tersebut, misalnya, sambil Anda bertanya ini-itu atau menceritakan seputar binatang tersebut.
* Minta ia menatap mata Anda saat berbicara dengan Anda ataupun ketika Anda mengajaknya bicara. Kebiasaan melakukan kontak mata akan sangat membantunya memusatkan perhatian untuk mendengarkan.
Sebaiknya, bila Anda ingin menyampaikan sesuatu kepadanya, sebelumnya katakan kepadanya semisal, "Sini, De, duduk dekat Bunda. Ada yang ingin Bunda katakan pada Ade." Setelah ia duduk di samping atau di hadapan ataupun di pangkuan Anda, katakanlah sambil mengarahkan wajahnya ke hadapan Anda, "Coba Ade lihat Bunda dan dengarkan apa yang Bunda katakan."
* Agar ia bisa mengikuti suatu rutinitas seperti mandi, makan, dan tidur pada waktunya, hendaknya Anda jangan bersikap terlalu kaku sekalipun Anda adalah orang yang sangat menyukai ketea.
Hasto Prianggoro
KOMENTAR