Pada pria pun hormon diberikan melalui suntikan. Hormonnya tergantung kebutuhan, mana yang kurang. Namun umumnya diberikan kombinasi hormon FSH dan LH. "Selain hormon tersebut sebetulnya ada hormon prolaktin, yang bila produksinya tinggi, pada pria akan berpengaruh terhadap hormon gonadrotopin, hingga secara tak langsung akan menghambat pembentukan sperma. Nah, untuk kasus ini akan diberikan obat anti prolaktinnya, yaitu bromocriptine," tutur Tri Bowo.
Sedangkan untuk FSH dan LH, karena obat-obatan untuk suntikan hormon ini tak ada yang murni mengandung FSH atau LH, digunakanlah hCG/ human Chorionic Gonadotropin (berasal dari air kencing ibu hamil) yang punya efek seperti LH atau hMG/human Menopouse Gonadrotopin (berasal dari air kencing wanita pasca menopouse) sebagai pengganti FSH.
Suntikan hormon pada pria bisa dilakukan kapan saja, tak seperti pada wanita yang harus diberikan saat siklus haidnya. Umumnya, suntikan diberikan 2 hari sekali, tergantung dari konsentrasi kerja hormon yang diberikan. "Masa kerja suntikan hormon ini, kan, umumnya antara 3-7 hari. Jadi, sebelum hormon ini turun, kita harus berikan lagi. Dengan demikian, bila hCG-nya diberikan Senin, Rabu, Jumat, maka hMG-nya diberikan Selasa-Kamis."
Setiap 1-1,5 bulan akan dievaluasi adakah perkembangannya atau tidak. Bila setelah 3 bulan masih minimal juga, akan diteruskan untuk satu siklus lagi (1 siklus pembentukan sperma = 3 bulan). "Untuk mengetahui sudah bagus atau tidak, bisa melalui pemeriksaan sperma atau ditambah pemeriksaan hormon. Pemeriksaan sperma harganya lebih murah dibanding pemeriksaan hormon. Pemeriksana hormon bisa mencapai Rp 500-600 ribu. Kalau pemeriksaan sperma paling hanya Rp 50 ribu."
Biasanya pemeriksaan sperma dilakukan 2 kali selang dua minggu, supaya didapat pemeriksaan yang akurat apakah benar atau tidak sperma yang didapat memang segitu. Juga untuk menyiapkan buah zakar agar berproduksi kembali. "Syarat untuk pemeriksaan sperma, tak boleh berhubungan selama minimal 3 hari dan maksimal 7 hari," lanjut Tri Bowo.
INSEMINASI
Setelah terapi berhasil, yaitu sperma atau sel telurnya bagus, akan berlanjut ke program inseminasi. "Jika terapi ini hanya dilakukan pada suami, maka saat spermanya sudah bagus, sel telur si istri harus sudah siap. Jika tidak, sayang sekali, sudah susah payah diobati, eh, istrinya tak siap," tutur Tri Bowo.
Pun sebaliknya, jika yang menjalani terapi ini sang istri, maka saat folikel membesar dan mengeluarkan sel telur, sperma suami juga sudah harus dalam keadaan siap. Tentunya syarat bisa dilakukan program inseminasi adalah saluran telur si istri dalam keadaan bagus dan tak ada sumbatan.
Jika program inseminasi tak bisa dilakukan semisal ada sumbatan di saluran telur, akan dilanjutkan dengan program bayi tabung. Sel telur dan sperma diambil dan dipertemukan di luar, setelah tumbuh dimasukkan ke dalam tabung. "Itulah mengapa sering dikatakan, terapi hormon ini adalah langkah awal dari program bayi tabung."
Baik Andon maupun Tri Bowo menyarankan, sebaiknya terapi dilakukan sedini mungkin. "Kalau masih muda, fungsi dari sel-sel tubuh masih bagus, hingga responnya juga masih bagus."
Jadi, setelah setahun menikah dengan hubungan yang teratur, tak menggunakan kontrasepsi, dan tak ada masalah dengan siklusnya, tapi belum juga kunjung hamil, sebaiknya suami-istri periksa ke dokter dan jangan ditunda lagi. Selama dilakukan terapi, tak ada larangan untuk melakukan hubungan seks.
KEHAMILAN GANDA
KOMENTAR