TRAUMA MEMBUAT ANAK "MOGOK" JALAN
Menurut Lidia L. Hidajat, MPH, lambat berjalan juga bisa disebabkan anak mengalami trauma, yakni suatu peristiwa penting yang sangat mendalam dan berarti pada diri anak. "Biasanya anak kecil bisa mengingat suatu peristiwa yang dialaminya bila ia mengalaminya di usia 1,5 atau 2 tahun. Tapi kalau usianya di bawah setahun, ia belum terlalu ingat pada kejadiannya," terang Lidia. Trauma tersebut dapat menimbulkan ketakutan, kecemasan dan apapun yang mengganggu keseimbangan jiwanya.
Namun, lambat berjalan yang disebabkan trauma ini hanya terjadi bila anak sudah pernah bisa berjalan dan kemudian terjadi sesuatu pada dirinya yang membuatnya "mogok", tak mau jalan lagi. "Jadi ada hal-hal luar biasa yang sifatnya traumatik. Misalnya, pernah terhanyut atau ketika kebakaran kakinya menjejak api, dan sebagainya." Tapi kalau sekadar anak pernah belajar berjalan dan terjatuh, itu jarang sekali sampai membuat anak menjadi trauma. Sebab, terang Lidia, "pada anak kecil, struggle-nya lebih besar dari orang dewasa. Sehingga, setiap kali berjalan dan terjatuh, mereka akan mencobanya kembali. Keinginannya kuat dan tak putus asa."
Kendati demikian, lambat berjalan yang disebabkan trauma jarang sekali terjadi. Selain itu, trauma juga tak mudah terjadi bila tak disertai kelainan fisik. "Bagaimanapun juga anak diciptakan dengan refleks dan otot sedemikian rupa. Bila tak ada kelainan, pastilah anak tak betah untuk duduk terus," kata Lidia.
Anak yang lambat berjalan karena trauma, lanjutnya, bisa disembuhkan namun tak tertutup kemungkinan bisa timbul lagi di usia selanjutnya apabila ia bertemu peristiwa serupa yang menyebabkannya trauma. "Tapi itu pun tergantung penanganan lingkungannya juga. Bila lingkungan sudah memberikan support yang bagus, jarang sampai anak itu tak bisa jalan lagi. Jadi tergantung intensitas kejadian dan derajat keparahannya juga."
Lidia menganjurkan orang tua sebaiknya banyak bertanya kepada psikolog sehingga tahu bagaimana cara menangani si anak. "Jangan sampai anak perlu ditolong dan dibuat sedemikian rupa tapi malah jadi merasa tak nyaman, jadi teringat terus pada pengalaman traumatisnya, sehingga anak justru jadi semakin tak mau jalan lagi."
Adapun cara menanganinya dengan terapi berjalan agar anak mau untuk menjejakkan kakinya. Karena anak yang mengalami trauma ini merasa takut untuk menjejakkan kakinya lagi sehingga ia jadi tak mau berjalan. "Sebaiknya orang tua membantu dengan permainan atau kegiatan lain yang memaksa anak menggunakan kakinya. Tapi paksaan itu tak kentara sehingga anak lupa bahwa kakinya menginjak lagi dan dia ternyata berjalan tak apa-apa." Latihan ini harus lebih sering dilakukan dan "pelatih"nya yang ideal adalah orang yang paling dekat dan dipercaya anak.
Namun selama latihan tersebut, Lidia wanti-wanti berpesan agar anak jangan pernah diingatkan pada kejadian lalu yang membuatnya trauma. Kalau tidak, anak akan kembali takut untuk menjejakkan kakinya dan berjalan lagi. Latihan pun menjadi sia-sia.
Dedeh Kurniasih/nakita
KOMENTAR