Curiga boleh, asal jangan terlalu cemas, apalagi sampai memaksakan si kecil berlatih jalan. Kadang, anak lambat berjalan karena kesalahan orang tua juga.
Wajar bila orang tua mencemaskan anaknya yang belum juga bisa berjalan. Terlebih lagi bila keluarga besar atau lingkungan sekitar kerap membandingkan perkembangan si anak dengan anak lain seusia. Takutnya, si anak tak juga bisa berjalan lantaran mempunyai cacat fisik.
Merujuk teori perkembangan, 25 persen anak sudah bisa berjalan di usia 11,1 bulan, 50 persen di usia 12,3 bulan dan 90 persen di usia 14,9 bulan. "Tapi pada umumnya, usia anak berjalan tak terlalu jauh berkisar antara 16-20 bulan," ujar psikolog dari Unika Atma Jaya Jakarta, Lidia L. Hidajat, MPH. Jadi, bila anak belum bisa berjalan namun masih dikisaran usia tersebut, orang tua sebaiknya jangan terlalu cemas.
Lain halnya bila anak sudah melewati batasan usia tersebut, misalnya, sampai usia 1,5 tahun belum juga bisa berjalan, "bolehlah orang tua curiga," lanjut Lidia. Tapi tetap jangan terlalu cemas, apalagi sampai memaksakan anak. Karena, terangnya, setiap anak punya ciri khas dan kelebihannya masing-masing. Misalnya, ada anak yang belum bisa berjalan tapi sudah pintar omong. Bukankah menurut kepercayaan orang tua, kalau anak perkembangan bicaranya lebih dulu maka perkembangan berjalannya akan belakangan? Begitupun sebaliknya. "Nah, itu menunjukkan bahwa masing-masing anak punya kecakapan sendiri-sendiri, kendati tak selalu begitu dan spesisik pada setiap anak."
KEMATANGAN FISIK DAN PSIKOLOGIS
Anak-anak yang dapat cepat berjalan, menurut Lidia, mungkin dikaruniai otot yang kuat karena dari kecil kebetulan kalsiumnya bagus. "Postur tubuh anak juga bisa berpengaruh meskipun tak selalu." Anak yang terlalu gemuk, misalnya, dapat membuatnya susah berjalan karena kakinya tak cukup kuat untuk menopang tubuhnya. "Tapi pada anak yang gemuk ini pun mungkin lebih karena efek pola asuh orang tua. Mungkin karena anak tak dibiarkan bersusah payah, digendong terus, tak pernah bergerak, dan sebagainya."
Pada dasarnya, terang Lidia, penyebab lambat berjalan tergantung dari faktor kematangan fisik dan psikologis anak. Faktor fisik, misalnya, kekuatan otot kaki. Apakah organ kakinya sudah matang atau belum. "Bila sudah matang, dengan sendirinya anak dapat berjalan." Tapi kalau anak ada kelainan fisik semisal ototnya lemah atau cacat, maka ia akan terlambat berjalan.
Menurut Dr. Hardiono D. Pusponegoro, MD dari bagian neurologi anak RSUPN Cipto Mangunkusumo, kelainan organik atau fisik tersebut bisa karena ada gangguan di otot atau otak. "Gangguan otot kebanyakan diperoleh sejak lahir, secara genetik atau turunan, sehingga anak tak bisa berjalan," terangnya. Sementara gangguan di otak disebabkan ada kerusakan otak sehingga menimbulkan gangguan gerak.
Adanya gangguan di sumsum tulang belakang juga bisa membuat anak tak bisa berjalan. Misalnya, karena jatuh dan sumsum tulang belakangnya patah. "Bisa juga terjadi kekurangan salah satu bahan kimia tertentu sebagai neurotransmitter (bahan yang membantu penyaluran rangsang antara dua sel saraf atau antara saraf dan otot), yang bekerja antara sambungan saraf tepi dan otot. Ini pun bisa menyebabkan anak lumpuh." Penyebab lainnya ialah penyakit semisal polio.
Untuk mengetahui ada-tidak kelainan fisik, anak perlu diperiksakan ke dokter. Bila secara fisik anak tak mengalami kelainan dan sudah matang, maka harus dilihat pula kematangan psikologisnya, apakah anak sudah tampak keinginannya untuk berjalan "tatih". "Kematangan psikologis ini tergantung pada kesiapan diri sang anak sendiri. Meski kakinya sudah kuat tapi karena ia merasa belum waktunya atau ia belum mau berjalan, maka ia tak akan terdorong untuk berjalan," terang Lidia. Hal ini tampak jelas terlihat pada anak ekstrovert dan introvert. "Anak ekstrovert akan lebih kelihatan keinginannya. Ketika ia sudah siap berjalan, ia akan mencoba menjejakkan kakinya atau merambat." Sebaliknya pada anak introvert, lebih banyak diam dan tampak tenang.
POLA ASUH
Masih ada satu faktor lagi yang menyebabkan anak lambat berjalan, yaitu pola asuh orang tua. "Ada orang tua yang perhatian sekali terhadap perkembangan anaknya. Ia akan ribut bila anaknya belum bisa jalan, sehingga berusaha merangsang anaknya agar bisa cepat jalan. Misalnya, dengan memberikan baby walker atau sepatu yang berbunyi," tutur Lidia. Padahal, belum tentu si anak sudah siap secara fisik dan psikologis. "Lagipula, kalau anak sudah siap, tanpa diberi perangsang seperti itu pun anak bisa berjalan." Sebaliknya, kalau anak belum siap, biar dipaksa kayak apapun juga, dia tak akan mau jalan.
Pola asuh lain yang menghambat perkembangan berjalan anak ialah sikap orang tua yang memperlakukan anak dengan nyaman. Misalnya, anak selalu digendong. "Orang tua tak pernah memberdirikan anak karena khawatir anaknya jatuh. Anak tak dirangsang menggunakan kakinya sehingga membuatnya jadi keenakan dan malas berjalan." Selain itu, bila anak tak dirangsang secara fisik maka fisiknya pun akan lambat berkembangnya.
Dengan kata lain, lingkungan pun harus mendukungnya. Jangan sampai anak dipaksakan secara ekstrim untuk berjalan atau malah tak dirangsang sama sekali. "Jadi, dari segi psikologis, anak terlambat berjalan kadang karena kesalahan orang tua juga," tandas Lidia.
Yang terbaik ialah orang tua yang bersikap well educated, yaitu melihat sebatas kemampuan anak. "Bila anak secara fisik belum terlalu siap dan ia pun tak menunjukkan keinginan untuk berjalan, maka orang tua tak memaksakannya." Namun tetap anak dirangsang untuk mau berjalan. Nanti kalau sudah terlihat ada keinginan anak untuk berjalan dan ototnya sudah kuat, barulah orang tua mulai melatihnya.
DIBERI PERANGSANG
Sebenarnya, jelas Lidia lebih lanjut, kemampuan berjalan tak perlu dilatih karena akan muncul dengan sendirinya. Yang perlu dilakukan orang tua ialah memberikan perangsangan atau stimulus. Misalnya, dengan makanan bergizi yang bisa menguatkan tulang dan otot kaki. Antara lain makanan yang banyak mengandung kalsium dan zat besi, zat-zat yang diperkirakan dapat mendukung anak untuk cepat berjalan.
Kemudian, sejak kecil anak dirangsang menggerakkan badannya. Misalnya, ketika anak merangkak diberikan mainan agak jauh dari jangkauannya dan biarkan ia mengambilnya sendiri, sehingga seluruh ototnya jadi bagus. Pada tahap selanjutnya, ketika anak tampak ingin menjejak dan berjalan, orang tua membantunya. Tapi kalau si anak terlihat sudah mulai lelah, orang tua tak memaksa.
Bisa juga orang tua menjadikan teman atau saudara si anak sebagai perangsang untuk anak berjalan. Misalnya, anak diajak main dengan teman/saudaranya dan mereka berdua berdiri. "Melihat teman sebayanya akan membuat anak berusaha mencoba-coba untuk berjalan." Selain itu ruang yang luas juga memberi nilai tambah untuk anak bisa berjalan, karena anak akan bebas bergerak ke sana kemari.
Yang penting, pesan Lidia, orang tua jangan terlalu berlebihan dalam melatih anak berjalan. "Toh, pada waktunya anak akan berjalan dengan sendirinya. Biarlah anak tumbuh sebagaimana mestinya." Lain halnya bila anak sudah bisa berjalan tapi ia malas melakukannya, "orang tua harus turun-tangan. Orang tua harus merangsangnya terus, yakni dengan memberikan reward dan punishment." Misalnya, "Kalau kamu sudah pintar jalan, Ibu beri kue ini." Tapi jangan selalu setiap kali mau jalan diberikan sesuatu, "karena nantinya anak mau berjalan hanya kalau diberi hadiah. Tentunya ini pun tak baik. Untuk pertamanya bolehlah. Jadi orang tua perlu tahu kapan dan harus pintar-pintar pegang kendalinya."
Sementara kalau anak tak mau jalan, berilah punishment namun bukan dalam bentuk fisik. Tapi dengan perkataan, misalnya, "Ade mau kue? Kalau mau, coba ini ambil sendiri," sehingga anak tahu kalau dia tak jalan maka tak akan mendapatkan kue itu. "Tapi orang tua harus konsekuen, lo. Jangan karena merasa kasihan lalu memberikannya." Punishment seperti itu lebih ke arah bila anak tak melakukan sesuatu atau tak ada upaya maka ia tak memperoleh apa yang ia mau. Anak harus merasakan bahwa untuk mendapatkan sesuatu perlu usaha.
BABY WALKER BIKIN ANAK MALAS BERJALAN
Menurut Lidia, seringkali orang tua salah kaprah dengan memberikan baby walker agar bisa membantu anak berjalan. "Bukannya tak berguna, tapi akan berguna untuk anak-anak yang sudah punya kesiapan. Kalau belum punya kesiapan, tetap saja anak tak jalan. Malah bisa membahayakan, menabrak sana-sini," terangnya.
Para ahli kesehatan maupun psikologi anak umumnya berpendapat, baby walker tak terlalu bagus. Dengan menggunakan baby walker, anak seolah-olah hanya terpuaskan keinginannya untuk ke sana ke mari tanpa ditunjang oleh kematangan fisik. Penelitian di Amerika malah membuktikan, baby walker bukannya membantu anak bisa cepat berjalan tapi justru membuat anak jadi lambat berjalan. Karena, "anak cenderung merasa enak bisa bergerak ke mana pun tanpa harus susah payah menjejakkan kakinya. Kakinya tak menjejak tapi mengayun dan alatnya saja yang berjalan, sehingga membuatnya jadi malas. Kalau anak berpikir malas maka kakinya pun jadi malas," tutur Lidia.
TRAUMA MEMBUAT ANAK "MOGOK" JALAN
Menurut Lidia L. Hidajat, MPH, lambat berjalan juga bisa disebabkan anak mengalami trauma, yakni suatu peristiwa penting yang sangat mendalam dan berarti pada diri anak. "Biasanya anak kecil bisa mengingat suatu peristiwa yang dialaminya bila ia mengalaminya di usia 1,5 atau 2 tahun. Tapi kalau usianya di bawah setahun, ia belum terlalu ingat pada kejadiannya," terang Lidia. Trauma tersebut dapat menimbulkan ketakutan, kecemasan dan apapun yang mengganggu keseimbangan jiwanya.
Namun, lambat berjalan yang disebabkan trauma ini hanya terjadi bila anak sudah pernah bisa berjalan dan kemudian terjadi sesuatu pada dirinya yang membuatnya "mogok", tak mau jalan lagi. "Jadi ada hal-hal luar biasa yang sifatnya traumatik. Misalnya, pernah terhanyut atau ketika kebakaran kakinya menjejak api, dan sebagainya." Tapi kalau sekadar anak pernah belajar berjalan dan terjatuh, itu jarang sekali sampai membuat anak menjadi trauma. Sebab, terang Lidia, "pada anak kecil, struggle-nya lebih besar dari orang dewasa. Sehingga, setiap kali berjalan dan terjatuh, mereka akan mencobanya kembali. Keinginannya kuat dan tak putus asa."
Kendati demikian, lambat berjalan yang disebabkan trauma jarang sekali terjadi. Selain itu, trauma juga tak mudah terjadi bila tak disertai kelainan fisik. "Bagaimanapun juga anak diciptakan dengan refleks dan otot sedemikian rupa. Bila tak ada kelainan, pastilah anak tak betah untuk duduk terus," kata Lidia.
Anak yang lambat berjalan karena trauma, lanjutnya, bisa disembuhkan namun tak tertutup kemungkinan bisa timbul lagi di usia selanjutnya apabila ia bertemu peristiwa serupa yang menyebabkannya trauma. "Tapi itu pun tergantung penanganan lingkungannya juga. Bila lingkungan sudah memberikan support yang bagus, jarang sampai anak itu tak bisa jalan lagi. Jadi tergantung intensitas kejadian dan derajat keparahannya juga."
Lidia menganjurkan orang tua sebaiknya banyak bertanya kepada psikolog sehingga tahu bagaimana cara menangani si anak. "Jangan sampai anak perlu ditolong dan dibuat sedemikian rupa tapi malah jadi merasa tak nyaman, jadi teringat terus pada pengalaman traumatisnya, sehingga anak justru jadi semakin tak mau jalan lagi."
Adapun cara menanganinya dengan terapi berjalan agar anak mau untuk menjejakkan kakinya. Karena anak yang mengalami trauma ini merasa takut untuk menjejakkan kakinya lagi sehingga ia jadi tak mau berjalan. "Sebaiknya orang tua membantu dengan permainan atau kegiatan lain yang memaksa anak menggunakan kakinya. Tapi paksaan itu tak kentara sehingga anak lupa bahwa kakinya menginjak lagi dan dia ternyata berjalan tak apa-apa." Latihan ini harus lebih sering dilakukan dan "pelatih"nya yang ideal adalah orang yang paling dekat dan dipercaya anak.
Namun selama latihan tersebut, Lidia wanti-wanti berpesan agar anak jangan pernah diingatkan pada kejadian lalu yang membuatnya trauma. Kalau tidak, anak akan kembali takut untuk menjejakkan kakinya dan berjalan lagi. Latihan pun menjadi sia-sia.
Dedeh Kurniasih/nakita
KOMENTAR