Setelah syarat aman terpenuhi, mainan juga harus dipilih yang sesuai dengan fungsinya, yaitu harus bisa dibongkar pasang dan bisa memenuhi imajinasi anak. Misalnya, orang-orangan atau rumah-rumahan. "Bahan boleh dari kayu atau plastik. Karena ada beberapa sifat dari plastik yang tak bisa digantikan oleh kayu."
Namun dalam memilih mainan tersebut, saran Emmy, sebaiknya orang tua yang memilihkan dan bukan anak yang diminta memilih sendiri. "Kalaupun anak disuruh memilih, beri beberapa pilihan yang diambil dari pilihan orang tua." Misalnya, kita pilihkan 3 boneka memakai baju merah, hijau, dan kuning. Katakan padanya, "Mama mau beliin boneka, Mbak mau pilih yang mana." Dengan demikian anak juga tak pusing memilihnya dan orang tua pun tak dipusingkan oleh banyaknya permintaan anak.
Biasanya, lanjut Emmy, kalau anak dibebaskan memilih, anak laki-laki pasti memilih pistol dan anak perempuan memilih boneka. "Bukan berarti pistol enggak boleh, tapi kalau bisa, bikin pistolnya dari lego atau alat yang lain. Jadi, anak tak hanya menjadi konsumen tapi juga menjadi produsen," terangnya.
Selain itu, orang tua kadang juga menerapkan standar ganda. Anak disuruh memilih, tapi begitu anak memilih, orang tua tak setuju. "Kalau kita memang belum percaya pada anak, ya, tak usahlah meminta anak untuk memilih," tukasnya.
Yang tak kalah penting, lanjut Emmy, ayah juga harus berperan dalam memilihkan mainan untuk anak, bukan hanya ibu. "Biasanya pemikiran para ibu lebih pendek. Anak butuh boneka, ya sudah, dibelikanlah ia boneka terus sampai bertumpuk di kamar." Tapi para ayah biasanya datang sambil membawa mainan yang "aneh-aneh" yang memacu kreativitas. "Penelitian membuktikan, kalau ayah ikut berperan dalam pendidikan anak, maka anak cenderung lebih cerdas, ketimbang jika hanya ibu sendirian yang mendidik. Ini karena 'kreatifitas' sang ayah tadi," tutur Emmy.
FASILITATOR
Peran orang tua juga sangat dibutuhkan saat anak bermain. "Anak-anak sering kehabisan ide, mau diapain lagi mainan di tangannya. Nah, orang tua sebaiknya tak menjadi penunggu. Karena kalau nungguin, berarti anak tak mandiri. Tapi juga jangan sampai permainan lantas menjadi pengganti orang tua," tutur Emmy. Malah, lanjutnya, kalaupun di dunia ini tak ada mainan, anak juga sudah cukup, kok, dengan orang tuanya. Karena bagaimanapun, orang tua tetap nomor satu, perannya tak tergantikan.
Adapun peran orang tua yang dibutuhkan dalam permainan ialah memberikan tema. Misalnya, pagi hari sebelum berangkat ke kantor, katakan kepada anak, "Kakak, hari ini Ayah dan Ibu ingin melihat Kakak membangun istana seperti yang ada di buku dengan balok." Jadi, "orang tua memberi ide agar nanti dari satu ide akan menyebar menjadi berbagai ide. Apalagi anak usia ini imajinasinya luar biasa. Bahkan, kadang kita heran anak dapat informasi darimana, kok, tiba-tiba bilang mau bikin roket, misalnya."
Dengan kata lain, orang tua berperan sebagai fasilitator bagi anak. Kalau anak mengalami kesulitan, orang tua membantu.
Jangan sampai anak frustrasi hanya karena hal-hal yang tak terlalu berat. "Tapi bukan berarti orang tua menjadi malaikat penolong, ya." Misalnya, anak sejak awal dibantu membuat pesawat dari lego. Kalau ini yang terjadi, sama juga orang tua yang membuat, bukan si anak.
Yang terbaik, anjur Emmy, orang tua menerapkan teknik looking and seeing atau melihat dan observasi. Misalnya, orang tua mengajak anak membuka buku-buku mengenai cara membuat kapal terbang. "Sambil membuka buku, orang tua menerangkan. Ini akan lebih diserap oleh anak. Jangan heran, lo, indera pertama yang dipakai anak adalah telinga, bahkan, sejak di kandungan," terangnya.
ANAK JADI MATANG
Satu hal diingatkan Emmy, dalam memilih mainan yang harus dikenalkan kepada anak adalah tanggung jawabnya. Misalnya, mainan pedang-pedangan. "Setiap ibu pasti pernah membelikan pedang-pedangan untuk anak laki-lakinya. Padahal, tak ada kegiatan lain dalam pedang-pedangan selain melukai, menusuk, atau membunuh. Jadi, kenapa kita belikan ia pedang?"
Mainan pedang-pedangan, lanjutnya, tak mengajarkan tanggung jawab kepada anak, malah hanya mengajarkan kekerasan. "Kalau dibilang untuk melatih anak supaya bisa membela diri, enggak benar juga, kok. Karena secara naluri, pembelaan diri akan muncul dengan sendirinya, nggak perlu kita belikan mereka dengan mainan semacam itu," terangnya. Oleh karena itu, Emmy sama sekali tak menganjurkan orang tua membelikan permainan agresif semisal pedang-pedangan atau pistol-pistolan.
Pendeknya, tegas Emmy, jangan anggap remeh soal bermain. "Bermain sama artinya dengan istirahat, makan, dan minum bagi anak. Jadi, tujuannya juga demi kesejahteraan anak," jelasnya. "Bermain juga berfungsi sebagai alat untuk menjadi makhluk sosial, melatih motorik, IQ, dan EQ-nya."
Tujuan bermain, lanjut Emmy, untuk mematangkan seluruh aspek jiwa anak. "Anak-anak yang waktu kecil sudah puas bermain, nantinya akan menjadi seorang dewasa yang matang yang bisa memilah bagaimana harus bersikap," katanya. Itulah mengapa bila kita melihat ada orang dewasa yang main-main dalam hal pekerjaan, misalnya, boleh jadi lantaran di waktu kecil ia kurang bermain. Kita tentu tak ingin hal demikian terjadi pada si kecil kelak, bukan!
Hasto Prianggoro/nakita
KOMENTAR