Orang tua kadang bingung mencarikan mainan untuk buah hatinya. Sehingga sering terjadi, anak dibelikan mainan yang tak sesuai dengan usianya. Nah, apa saja, sih, mainan untuk anak prasekolah.
Pada dasarnya, kata Emmy Soekresno, SPd., mainan tak boleh terlalu mudah tapi juga tak boleh terlalu sulit bagi anak. Misalnya, anak usia prasekolah diberi mainan merakit mobil. "Ini terlalu sulit bagi anak. Bisa-bisa anak jadi frustrasi." Tapi juga jangan beri mainan yang berbunyi kepada anak usia ini, "karena ia sudah tak tertarik lagi," lanjut pemerhati dan praktisi masalah-masalah anak ini.
JENIS MAINAN
Pada anak usia prasekolah, terang Emmy, gerakan-gerakan motoriknya sudah mulai matang. Sehingga, anak membutuhkan sesuatu yang challenging atau menantang, termasuk mainan. Jadi, anak tak lagi sekadar menggerak-gerakkan mobil-mobilan, misalnya. "Mereka sudah jauh lebih kreatif dalam menggunakan mainan." Untuk itu mainan yang bisa dibongkar pasang seperti balok atau lego lebih tepat bagi anak usia ini.
Selain motoriknya sudah berkembang, imajinasi anak usia ini juga sudah berkembang pesat. "Kadang dari mainan balok saja mereka sudah bisa membuat roket," lanjut konsultan di Komunitas Bermain Semut-Semut ini. Oleh sebab itu, alangkah baiknya bila mainan yang orang tua berikan juga yang bisa melatih imajinasi anak.
Emmy juga menyarankan agar orang tua memberi mainan yang sifatnya open ended. "Artinya mainan yang di akhir permainan tak harus menjadi sesuatu. Contohnya, mainan merakit mobil-mobilan yang hasil akhirnya pasti mobil. Nah, yang kita berikan adalah mainan yang bisa dijadikan apa saja." Misalnya, mainan balok yang bisa dijadikan apa saja, entah pesawat, rumah, mobil, dan sebagainya.
Kemampuan motorik halus anak juga sudah berkembang di usia ini, sehingga permainan mewarnai sudah tak menarik lagi. "Ini sudah terlalu simpel dan anak bisa bosan," lanjut Emmy. Lebih baik anak diberi permainan menggunting, menempel, dan memberi warna. "Anak juga sudah bisa diajarkan menjahit atau menganyam. Malah di luar negeri sudah ada jarum plastik dan kain yang berlubang-lubang untuk mainan."
Permainan yang menggunakan peraturan juga sudah bisa diberikan kepada anak usia ini, karena mereka memang sudah cukup matang untuk bermain dengan peraturan. Misalnya, bermain halma atau ular tangga, dan sebagainya. Mereka juga sudah bisa bermain puzzle. "Tapi sebaiknya berikan puzzle yang jauh lebih menantang, pieces-nya lebih kecil, jumlahnya lebih banyak, dan gambarnya lebih rumit," kata Emmy.
Pada usia 0-5 tahun, lanjut Emmy, 80 persen kemampuan intelejensi anak sudah tercapai. Dengan demikian, usia 5 sampai 12 tahun tinggal meneruskan yang 20 persen. Nah, untuk itu, anjur Emmy, orang tua sebaiknya juga memberikan mainan yang sifatnya lebih ke persiapan akademik 3 M (membaca, menulis, menghitung). "Belajar menghitung itu, kan, nggak mesti harus 1 + 1 = 2, tapi bisa juga lewat permainan bebek. Misalnya, 2 bebek ditambah 3 bebek = 5 bebek atau kalau ada 6 bebek kemudian yang dua dipanggil pulang tinggal berapa bebek, dan sebagainya."
Jadi, tandas Emmy, jangan beri anak boneka atau mobil-mobilan saja. "Orang tua harus mulai bisa melihat apa yang bisa menunjang kemampuan dan kreativitas anak." Misalnya, membaca bisa ditunjang dengan mainan scrabble atau kartu bergambar untuk menunjang kehidupan sosial. Kemampaun menulis bisa didorong lewat mainan buku-bukuan yang bisa untuk menulis dan bisa dihapus, atau dengan menggunakan papan persiapan menulis.
ORANG TUA YANG MEMILIHKAN
Yang harus diperhatikan saat akan memberi mainan antara lain faktor keamanan, karena anak usia ini cenderung belum bisa mengontrol emosinya secara stabil. "Hindari mainan yang tajam atau bentuknya kecil-kecil. Catnya pun dipilih yang non toxic, yang enggak berbahaya," pesan Emmy.
Setelah syarat aman terpenuhi, mainan juga harus dipilih yang sesuai dengan fungsinya, yaitu harus bisa dibongkar pasang dan bisa memenuhi imajinasi anak. Misalnya, orang-orangan atau rumah-rumahan. "Bahan boleh dari kayu atau plastik. Karena ada beberapa sifat dari plastik yang tak bisa digantikan oleh kayu."
Namun dalam memilih mainan tersebut, saran Emmy, sebaiknya orang tua yang memilihkan dan bukan anak yang diminta memilih sendiri. "Kalaupun anak disuruh memilih, beri beberapa pilihan yang diambil dari pilihan orang tua." Misalnya, kita pilihkan 3 boneka memakai baju merah, hijau, dan kuning. Katakan padanya, "Mama mau beliin boneka, Mbak mau pilih yang mana." Dengan demikian anak juga tak pusing memilihnya dan orang tua pun tak dipusingkan oleh banyaknya permintaan anak.
Biasanya, lanjut Emmy, kalau anak dibebaskan memilih, anak laki-laki pasti memilih pistol dan anak perempuan memilih boneka. "Bukan berarti pistol enggak boleh, tapi kalau bisa, bikin pistolnya dari lego atau alat yang lain. Jadi, anak tak hanya menjadi konsumen tapi juga menjadi produsen," terangnya.
Selain itu, orang tua kadang juga menerapkan standar ganda. Anak disuruh memilih, tapi begitu anak memilih, orang tua tak setuju. "Kalau kita memang belum percaya pada anak, ya, tak usahlah meminta anak untuk memilih," tukasnya.
Yang tak kalah penting, lanjut Emmy, ayah juga harus berperan dalam memilihkan mainan untuk anak, bukan hanya ibu. "Biasanya pemikiran para ibu lebih pendek. Anak butuh boneka, ya sudah, dibelikanlah ia boneka terus sampai bertumpuk di kamar." Tapi para ayah biasanya datang sambil membawa mainan yang "aneh-aneh" yang memacu kreativitas. "Penelitian membuktikan, kalau ayah ikut berperan dalam pendidikan anak, maka anak cenderung lebih cerdas, ketimbang jika hanya ibu sendirian yang mendidik. Ini karena 'kreatifitas' sang ayah tadi," tutur Emmy.
FASILITATOR
Peran orang tua juga sangat dibutuhkan saat anak bermain. "Anak-anak sering kehabisan ide, mau diapain lagi mainan di tangannya. Nah, orang tua sebaiknya tak menjadi penunggu. Karena kalau nungguin, berarti anak tak mandiri. Tapi juga jangan sampai permainan lantas menjadi pengganti orang tua," tutur Emmy. Malah, lanjutnya, kalaupun di dunia ini tak ada mainan, anak juga sudah cukup, kok, dengan orang tuanya. Karena bagaimanapun, orang tua tetap nomor satu, perannya tak tergantikan.
Adapun peran orang tua yang dibutuhkan dalam permainan ialah memberikan tema. Misalnya, pagi hari sebelum berangkat ke kantor, katakan kepada anak, "Kakak, hari ini Ayah dan Ibu ingin melihat Kakak membangun istana seperti yang ada di buku dengan balok." Jadi, "orang tua memberi ide agar nanti dari satu ide akan menyebar menjadi berbagai ide. Apalagi anak usia ini imajinasinya luar biasa. Bahkan, kadang kita heran anak dapat informasi darimana, kok, tiba-tiba bilang mau bikin roket, misalnya."
Dengan kata lain, orang tua berperan sebagai fasilitator bagi anak. Kalau anak mengalami kesulitan, orang tua membantu.
Jangan sampai anak frustrasi hanya karena hal-hal yang tak terlalu berat. "Tapi bukan berarti orang tua menjadi malaikat penolong, ya." Misalnya, anak sejak awal dibantu membuat pesawat dari lego. Kalau ini yang terjadi, sama juga orang tua yang membuat, bukan si anak.
Yang terbaik, anjur Emmy, orang tua menerapkan teknik looking and seeing atau melihat dan observasi. Misalnya, orang tua mengajak anak membuka buku-buku mengenai cara membuat kapal terbang. "Sambil membuka buku, orang tua menerangkan. Ini akan lebih diserap oleh anak. Jangan heran, lo, indera pertama yang dipakai anak adalah telinga, bahkan, sejak di kandungan," terangnya.
ANAK JADI MATANG
Satu hal diingatkan Emmy, dalam memilih mainan yang harus dikenalkan kepada anak adalah tanggung jawabnya. Misalnya, mainan pedang-pedangan. "Setiap ibu pasti pernah membelikan pedang-pedangan untuk anak laki-lakinya. Padahal, tak ada kegiatan lain dalam pedang-pedangan selain melukai, menusuk, atau membunuh. Jadi, kenapa kita belikan ia pedang?"
Mainan pedang-pedangan, lanjutnya, tak mengajarkan tanggung jawab kepada anak, malah hanya mengajarkan kekerasan. "Kalau dibilang untuk melatih anak supaya bisa membela diri, enggak benar juga, kok. Karena secara naluri, pembelaan diri akan muncul dengan sendirinya, nggak perlu kita belikan mereka dengan mainan semacam itu," terangnya. Oleh karena itu, Emmy sama sekali tak menganjurkan orang tua membelikan permainan agresif semisal pedang-pedangan atau pistol-pistolan.
Pendeknya, tegas Emmy, jangan anggap remeh soal bermain. "Bermain sama artinya dengan istirahat, makan, dan minum bagi anak. Jadi, tujuannya juga demi kesejahteraan anak," jelasnya. "Bermain juga berfungsi sebagai alat untuk menjadi makhluk sosial, melatih motorik, IQ, dan EQ-nya."
Tujuan bermain, lanjut Emmy, untuk mematangkan seluruh aspek jiwa anak. "Anak-anak yang waktu kecil sudah puas bermain, nantinya akan menjadi seorang dewasa yang matang yang bisa memilah bagaimana harus bersikap," katanya. Itulah mengapa bila kita melihat ada orang dewasa yang main-main dalam hal pekerjaan, misalnya, boleh jadi lantaran di waktu kecil ia kurang bermain. Kita tentu tak ingin hal demikian terjadi pada si kecil kelak, bukan!
Hasto Prianggoro/nakita
KOMENTAR