Untunglah kebiasaan ini akan banyak berkurang, bahkan hilang dengan sendirinya, jika si anak sudah pandai bicara. Meski begitu, "Orang tua tetap harus memberi perhatian pada anak yang suka menggigit dan jangan berharap, toh, kebiasaan buruk itu bakal hilang dengan sendirinya." Sebab, jika dibiarkan saja, "Bisa terlanjur menjadi kebiasaan. Sebab, si anak merasa, perbuatannya benar. Buktinya, ia tak pernah ditegur atau diberi penjelasan."
Jadi, sedapat mungkin, usahakan selalu dekat dengan anak jika ia sedang main dengan temannya, misalnya. Awasi jangan sampai ia menggigit temannya. Jika si kecil "siap-siap" menggigit temannya, "Tarik dan jauhi dari temannya. Ajarkan padanya untuk mengatakan apa yang tak disukainya." Misalnya, jika mainannya direbut, ajarkan si anak berkata, " Jangan, ini punya aku. Enggak boleh diambil."
Istilahnya, menurut Ery, anak diajarkan terapi "Katakan". Tentu saja, dalam situasi si anak "terdesak", jangan diajarkan kalimat yang panjang-lebar agar ia bisa segera mempraktekkan. Cukup ajari ia mengatakan, "Jangan. Enggak boleh."
Bagaimana kalau ia sudah terlanjur menggigit? Yang jelas, segera pisahkan ia dari temannya. Beri perhatian terlebih dulu pada korban. Kalau sampai berdarah, misalnya, bawa ke dokter atau obati. Jangan lupa pula meminta maaf kepada orang tua korban.
Setelah itu, barulah giliran anak. Beri ia nasehat, "Kamu boleh marah, tapi nggak boleh menggigit. Digigit itu sakit. Kamu, kan, juga nggak mau digigit karena akan merasa sakit." Nah, kata "sakit" itu diulang-ulang agar si anak mengerti bahwa apa yang dilakukannya telah membuat sakit temannya.
Agar si anak tak menggigit lagi, orang tua harus membuat aturan. Misalnya, ia boleh bermain dengan temannya tapi tak boleh menggigit. Ingatkan selalu pada aturan tersebut setiap kali si anak akan bermain dengan temannya.
DISIPLIN
Ery berpendapat, kurang bijaksana jika kita menghukum anak bila satu saat ia melanggar "perjanjian" yaitu kembali menggigit teman. Menghukum, kata psikolog ini, "Hanya menunjukkan kesalahan anak dan bukan memperbaiki tingkah lakunya." Misalnya saja, ketika si anak usai menggigit, orang tua balas menggigit anak dengan maksud memberi tahu, betapa sakit jika digigit. "Cara ini tak benar. Anak akan berpikir, kok, ibuku juga menggigitku." Tak perlu pula mengancam anak semisal, "Awas, ya, kalau menggigit lagi, Ibu pukul!"
Ery lebih setuju lewat disiplin. Sebab, disiplin akan membuat anak belajar bagaimana bertingkah laku yang baik. "Ada 3 komponen dalam disiplin, yakni aturan, komunikasi dan penguat positif maupun konsekuensi," terangnya.
Dalam hal aturan, contohnya, seperti telah disebutkan di atas, anak boleh bermain tapi tak boleh menggigit. Untuk menyampaikan dan mensosialisasikan aturan tersebut pada si anak, orang tua harus punya kemampuan berkomunikasi. Selanjutnya, bila anak bermain dengan baik, ia perlu diberi penguat positif. Misalnya, pujian, pelukan, hadiah, atau apa saja yang dapat memperkuat tingkah lakunya.
Sedangkan konsekuensi diberikan bila anak tak bermain dengan baik. "Tapi konsekuensinya jangan terlalu kejam," pesan Ery. Misalnya, anak menggigit anak tetangga, maka ia tak dibolehkan bermain ke rumah tetangga itu lagi. "Kan, bisa dengan cara lain. Misalnya, 'mencabut' untuk sementara waktu hal-hal yang disukai si anak seperti menonton film kartun, main game, dan lainnya.
Konsekuensi semacam ini akan lebih terasa pada anak. Sebab hal itu adalah yang berarti bagi dirinya. Tapi bila diberi konsekuensi yang tak berarti, ya, percuma saja. Siapa tahu besok ia akan mengulangi perbuatan menggigitnya lagi," tutur Ery.
KOMENTAR