Dengan adanya konsekuensi, anak diajarkan, menggigit itu tak enak. "Di sinilah anak diberi pilihan. Kalau baik, ia mendapat penguat positif. Kalau tidak, ia harus menerima konsekuensinya."
Sayangnya, orang tua sering tak menyadari hal itu. Bila tiba-tiba anaknya melakukan sesuatu perbuatan negatif, orang tua langsung memarahi dan menghukum. Tapi begitu anaknya baik, malah tak diperhatikan. "Dipikirnya, si anak sudah insyaf. Padahal tidak."
Jadi, anjur Ery, ketika orang tua melihat anak tak menggigit lagi, beri ia pujian, "Bunda bangga sekali padamu. Hari ini kamu mainnya manis, enggak menggigit."
HARGAI ANAK
Satu hal diingatkan Ery, anak yang suka menggigit tak boleh kaget. Maksudnya, tak boleh ada kejutan pada anak atau kegiatan yang tanpa persiapan. Misalnya, jika akan diajak ke suatu tempat, siapkan mentalnya terlebih dulu. Ceritakan seperti apa tempat tujuannya nanti. Beri aturan, apa yang diharapkan orang tua. Sebutkan tingkah laku-tingkah laku baik yang konkret dan yang diharapkan. Misalnya, "Kamu tak boleh menggigit atau berkelahi." Dengan demikian, anak akan merasa nyaman karena sudah memperoleh gambaran situasi yang akan dihadapinya.
Saat anak sedang dalam situasi menyenangkan, ajaklah ia bicara. Ia pasti akan mendengarkan meski mungkin ia belum banyak mengerti apa yang dikatakan orang tua. Katakanlah apa yang tidak kita sukai bila ia menggigit dan bahwa hal itu juga berlaku sama pada orang lain. Misalnya, "Bunda tak suka bila kamu menggigit. Digigit itu sakit, lo. Teman-temanmu juga nggak akan suka. Mereka tak akan mau main denganmu lagi kalau kamu menggigit."
Hal lain yang harus diperhatikan ialah, apa pun usaha anak dalam menghindari kebiasaan menggigit harus kita hargai. Misalnya, ia masih menggigit tapi sudah tak separah sebelumnya. Orang tua harus sabar. "Kan, bukan berarti hari ini menggigit dan hari ini juga harus hilang. Perlu proses dan waktu. Tapi sekali lagi, jika perubahan positif pada perilakunya, beri ia pujian."
Kok, Masih Menggigit Juga
Boleh jadi si kecil masih akan menggigit kendati sudah diberi tahu. Apa yang terjadi? Pertama, karena anak usia ini belum bisa diajak bicara karena daya tangkapnya masih terbatas. Dunianya masih berpusat pada dirinya. Jadi, tak ada hal lain yang bisa kita lakukan kecuali bersabar. Apalagi, seperti dikatakan Ery, penelitian menunjukkan, perbuatan baik pada anak, harus diulang hingga 2.000 kali sehingga anak bisa menangkapnya. Tapi kalau perbuatan jelek, cukup sekali saja!
Bisa juga terjadi, ia kembali ke perilaku negatif itu karena sikap orang tua tidak konsisten. Misalnya, hari ini si anak menggigit, ia diberi konsekuensi tak boleh ikut ke rumah eyangnya. Tapi di hari lain si anak menggigit lagi, karena merasa tak tega meninggalkan si anak, maka diajaklah anaknya. Padahal, terangnya, "Sikap konsisten dari orang tua merupakan sebuah pelajaran bagi anak agar ia tahu, dampak dari tingkah lakunya bakal tak menyenangkan."
Jika perilaku menggigit terjadi secara persistent (menetap) dan frekuensinya pun tinggi, berarti perlu penanganan serius. Anak perlu dibawa ke psikolog. Ia harus diperiksa, apakah ada kesulitan dalam bicara atau mungkin ada masalah dengan kemampuan mentalnya. "Biasanya anak cacat mental cenderung lebih lambat bicara dan frekuensi menggigitnya lebih tinggi. Bila dibawa ke psikolog, bisa dievaluasi psikologis, dilihat IQ, potensi kecerdasan dan kepribadiannya, apakah ia adaptasinya lambat dan sulit menerima perubahan," terang Ery.
Dedeh Kurniasih/nakita
KOMENTAR