Salah satu kemungkinannya karena ia belum pandai bicara alias mengekspresikan keinginannya. Tapi bisa juga karena ia meniru seseorang.
"Tadi Mas Adit nggigit temannya lagi, Bu," begitu lapor sang babysitter sepulang mereka main sore di taman. Ibu Adit yang mendapat laporan seperti itu, jadi marah, "Adit, Mama, kan, sudah bilang, tidak boleh mengigit!" Yang dimarahi cuma tertunduk lesu.
Kenapa Adit punya kebiasaan menggigit? Menurut psikolog Dra. Ery Soekresno, perilaku itu merupakan suatu ekspresi emosi. "Anak tahu, kok, kalau ia menggigit, korbannya merasa sakit. Hanya saja, ia tak tahu harus berbuat apa. Nah, satu-satunya cara, ya , menggigit." Halus kasar gigitannya, kata Ery, juga tergantung tingkat emosi anak. "Kalau dia jengkel betul, si korban bisa digigitnya sampai berdarah. Ia juga akan mencari tempat yang paling gampang untuk digigit seperti bahu atau pipi."
Dikatakan sebagai ekspresi emosi, tambah Ery, karena si anak merasa jengkel, marah, atau frustrasi. Bisa juga karena ia perlu perhatian, capek, dan lainnya. Jadi, emosi yang diekspresikannya, bersifat negatif. Nah, karena ia masih kecil, belum pandai berkata-kata untuk mengungkapkan rasa tak enak dalam dirinya, "Ia pun menggigit sebagai cara yang paling cepat yang dilakukannya. Jadi, menggigit itu pun sebenarnya sebagai alat komunikasi pada anak."
Selain itu, menggigit juga dijadikan sarana sebagai cara memecahkan masalah jika ia dalam keadaan terjepit. Saat sedang asyik main, misalnya, tiba-tiba mainannya direbut temannya. Karena marah dan tak tahu bagaimana cara mendapatkan mainannya kembali, si teman digigit agar mainannya lepas dari tangan si teman. Dengan kata lain, "Ia menggigit sebagai cara untuk mempertahankan diri," jelas lulusan Fakultas Psikologi UI ini.
BAHASA TERBATAS
Tapi jangan salah, lo. "Hobi" menggigit, bisa juga terjadi karena ia meniru. Misalnya saja, ayah atau ibunya suka mengekspresikan rasa sayang dan gemas mereka pada anak dengan cara menggigit-gigit si anak. Meski gigitannya lembut dan disertai kata-kata ungkapan sayang, yang anak mengerti hanyalah bahwa perilaku menggigit sah-sah saja. Maka ia pun meniru.
"Makanya, kalau mau menunjukkan rasa sayang atau gemas, jangan dengan menggigit. Peluk, cium, tatap wajah anak dengan lembut, adalah tindakan yang benar." Kalau yang dilakukan justru menggigit, ya, si anak akan belajar, "Oh, begitu, toh, cara menunjukkan rasa sayang." Celaka, bukan?
Biasanya, anak usia 2,5 hingga 4 tahun, "hobi" menggigit. "Memang tak semua anak seperti itu. Umumnya, anak yang kemampuan beradaptasi dengan lingkungan barunya kurang, yang suka menggigit. Ia merasa takut pada lingkungan baru sehingga selalu dalam keaadan siaga. Begitu ada sesuatu yang tak berkenan padanya, ia pun langsung bereaksi dengan cara menggigit."
Kecenderungan ini juga ada pada anak yang kemampuan berbicaranya belum bagus. Misalnya, jika si teman mendekat lalu mengambil mainannya. Kalau ia sudah pandai berkata-kata, mungkin ia akan bilang, "Jangan, dong! Itu punyaku!" Tapi karena bicaranya belum lancar, ya gigitannya tadi yang "bicara".
Begitu pula anak yang kurang mendapat perhatian atau tak pernah diberi kesempatan oleh orang tuanya untuk mengeluarkan isi hatinya. Orang tua, tutur Ery, sering menghukum anak bila si kecil nakal. "Tapi anak jarang dikasih perhatian saat berbuat baik." Begitu nakal, si ibu sibuk menasehati panjang-lebar. Jadilah si kecil sengaja berlaku nakal atau menggigit agar ia memperoleh perhatian ibunya. "Si anak berpikir, kalau tak menggigit, dia tak bakal diperhatikan ibunya. Meski perhatiannya dalam bentuk dimarahi atau dinasehati."
TERAPI KATAKAN
Untunglah kebiasaan ini akan banyak berkurang, bahkan hilang dengan sendirinya, jika si anak sudah pandai bicara. Meski begitu, "Orang tua tetap harus memberi perhatian pada anak yang suka menggigit dan jangan berharap, toh, kebiasaan buruk itu bakal hilang dengan sendirinya." Sebab, jika dibiarkan saja, "Bisa terlanjur menjadi kebiasaan. Sebab, si anak merasa, perbuatannya benar. Buktinya, ia tak pernah ditegur atau diberi penjelasan."
Jadi, sedapat mungkin, usahakan selalu dekat dengan anak jika ia sedang main dengan temannya, misalnya. Awasi jangan sampai ia menggigit temannya. Jika si kecil "siap-siap" menggigit temannya, "Tarik dan jauhi dari temannya. Ajarkan padanya untuk mengatakan apa yang tak disukainya." Misalnya, jika mainannya direbut, ajarkan si anak berkata, " Jangan, ini punya aku. Enggak boleh diambil."
Istilahnya, menurut Ery, anak diajarkan terapi "Katakan". Tentu saja, dalam situasi si anak "terdesak", jangan diajarkan kalimat yang panjang-lebar agar ia bisa segera mempraktekkan. Cukup ajari ia mengatakan, "Jangan. Enggak boleh."
Bagaimana kalau ia sudah terlanjur menggigit? Yang jelas, segera pisahkan ia dari temannya. Beri perhatian terlebih dulu pada korban. Kalau sampai berdarah, misalnya, bawa ke dokter atau obati. Jangan lupa pula meminta maaf kepada orang tua korban.
Setelah itu, barulah giliran anak. Beri ia nasehat, "Kamu boleh marah, tapi nggak boleh menggigit. Digigit itu sakit. Kamu, kan, juga nggak mau digigit karena akan merasa sakit." Nah, kata "sakit" itu diulang-ulang agar si anak mengerti bahwa apa yang dilakukannya telah membuat sakit temannya.
Agar si anak tak menggigit lagi, orang tua harus membuat aturan. Misalnya, ia boleh bermain dengan temannya tapi tak boleh menggigit. Ingatkan selalu pada aturan tersebut setiap kali si anak akan bermain dengan temannya.
DISIPLIN
Ery berpendapat, kurang bijaksana jika kita menghukum anak bila satu saat ia melanggar "perjanjian" yaitu kembali menggigit teman. Menghukum, kata psikolog ini, "Hanya menunjukkan kesalahan anak dan bukan memperbaiki tingkah lakunya." Misalnya saja, ketika si anak usai menggigit, orang tua balas menggigit anak dengan maksud memberi tahu, betapa sakit jika digigit. "Cara ini tak benar. Anak akan berpikir, kok, ibuku juga menggigitku." Tak perlu pula mengancam anak semisal, "Awas, ya, kalau menggigit lagi, Ibu pukul!"
Ery lebih setuju lewat disiplin. Sebab, disiplin akan membuat anak belajar bagaimana bertingkah laku yang baik. "Ada 3 komponen dalam disiplin, yakni aturan, komunikasi dan penguat positif maupun konsekuensi," terangnya.
Dalam hal aturan, contohnya, seperti telah disebutkan di atas, anak boleh bermain tapi tak boleh menggigit. Untuk menyampaikan dan mensosialisasikan aturan tersebut pada si anak, orang tua harus punya kemampuan berkomunikasi. Selanjutnya, bila anak bermain dengan baik, ia perlu diberi penguat positif. Misalnya, pujian, pelukan, hadiah, atau apa saja yang dapat memperkuat tingkah lakunya.
Sedangkan konsekuensi diberikan bila anak tak bermain dengan baik. "Tapi konsekuensinya jangan terlalu kejam," pesan Ery. Misalnya, anak menggigit anak tetangga, maka ia tak dibolehkan bermain ke rumah tetangga itu lagi. "Kan, bisa dengan cara lain. Misalnya, 'mencabut' untuk sementara waktu hal-hal yang disukai si anak seperti menonton film kartun, main game, dan lainnya.
Konsekuensi semacam ini akan lebih terasa pada anak. Sebab hal itu adalah yang berarti bagi dirinya. Tapi bila diberi konsekuensi yang tak berarti, ya, percuma saja. Siapa tahu besok ia akan mengulangi perbuatan menggigitnya lagi," tutur Ery.
Dengan adanya konsekuensi, anak diajarkan, menggigit itu tak enak. "Di sinilah anak diberi pilihan. Kalau baik, ia mendapat penguat positif. Kalau tidak, ia harus menerima konsekuensinya."
Sayangnya, orang tua sering tak menyadari hal itu. Bila tiba-tiba anaknya melakukan sesuatu perbuatan negatif, orang tua langsung memarahi dan menghukum. Tapi begitu anaknya baik, malah tak diperhatikan. "Dipikirnya, si anak sudah insyaf. Padahal tidak."
Jadi, anjur Ery, ketika orang tua melihat anak tak menggigit lagi, beri ia pujian, "Bunda bangga sekali padamu. Hari ini kamu mainnya manis, enggak menggigit."
HARGAI ANAK
Satu hal diingatkan Ery, anak yang suka menggigit tak boleh kaget. Maksudnya, tak boleh ada kejutan pada anak atau kegiatan yang tanpa persiapan. Misalnya, jika akan diajak ke suatu tempat, siapkan mentalnya terlebih dulu. Ceritakan seperti apa tempat tujuannya nanti. Beri aturan, apa yang diharapkan orang tua. Sebutkan tingkah laku-tingkah laku baik yang konkret dan yang diharapkan. Misalnya, "Kamu tak boleh menggigit atau berkelahi." Dengan demikian, anak akan merasa nyaman karena sudah memperoleh gambaran situasi yang akan dihadapinya.
Saat anak sedang dalam situasi menyenangkan, ajaklah ia bicara. Ia pasti akan mendengarkan meski mungkin ia belum banyak mengerti apa yang dikatakan orang tua. Katakanlah apa yang tidak kita sukai bila ia menggigit dan bahwa hal itu juga berlaku sama pada orang lain. Misalnya, "Bunda tak suka bila kamu menggigit. Digigit itu sakit, lo. Teman-temanmu juga nggak akan suka. Mereka tak akan mau main denganmu lagi kalau kamu menggigit."
Hal lain yang harus diperhatikan ialah, apa pun usaha anak dalam menghindari kebiasaan menggigit harus kita hargai. Misalnya, ia masih menggigit tapi sudah tak separah sebelumnya. Orang tua harus sabar. "Kan, bukan berarti hari ini menggigit dan hari ini juga harus hilang. Perlu proses dan waktu. Tapi sekali lagi, jika perubahan positif pada perilakunya, beri ia pujian."
Kok, Masih Menggigit Juga
Boleh jadi si kecil masih akan menggigit kendati sudah diberi tahu. Apa yang terjadi? Pertama, karena anak usia ini belum bisa diajak bicara karena daya tangkapnya masih terbatas. Dunianya masih berpusat pada dirinya. Jadi, tak ada hal lain yang bisa kita lakukan kecuali bersabar. Apalagi, seperti dikatakan Ery, penelitian menunjukkan, perbuatan baik pada anak, harus diulang hingga 2.000 kali sehingga anak bisa menangkapnya. Tapi kalau perbuatan jelek, cukup sekali saja!
Bisa juga terjadi, ia kembali ke perilaku negatif itu karena sikap orang tua tidak konsisten. Misalnya, hari ini si anak menggigit, ia diberi konsekuensi tak boleh ikut ke rumah eyangnya. Tapi di hari lain si anak menggigit lagi, karena merasa tak tega meninggalkan si anak, maka diajaklah anaknya. Padahal, terangnya, "Sikap konsisten dari orang tua merupakan sebuah pelajaran bagi anak agar ia tahu, dampak dari tingkah lakunya bakal tak menyenangkan."
Jika perilaku menggigit terjadi secara persistent (menetap) dan frekuensinya pun tinggi, berarti perlu penanganan serius. Anak perlu dibawa ke psikolog. Ia harus diperiksa, apakah ada kesulitan dalam bicara atau mungkin ada masalah dengan kemampuan mentalnya. "Biasanya anak cacat mental cenderung lebih lambat bicara dan frekuensi menggigitnya lebih tinggi. Bila dibawa ke psikolog, bisa dievaluasi psikologis, dilihat IQ, potensi kecerdasan dan kepribadiannya, apakah ia adaptasinya lambat dan sulit menerima perubahan," terang Ery.
Dedeh Kurniasih/nakita
KOMENTAR