Anak menangis, tak mau lepas dari orang tua merupakan pemandangan biasa di hari pertama "sekolah". Apa yang dapat kita lakukan?
Jangan kaget bila si kecil yang sehat, tiba-tiba muntah, sakit perut, atau ngompol saat bersiap di hari pertamanya sekolah. "Itu reaksi akibat tekanan atau rasa takut yang dialami anak menghadapi hari pertama 'sekolah'," ujar Dra. Gerda K. Wanei, M.Psi. dari FKIP Unika Atma Jaya Jakarta.
Buat anak, hari pertama masuk "sekolah" merupakan satu peristiwa penting. Ada rasa senang yang meluap-luap karena ia akan pakai sepatu, baju, tas yang serba baru. Tapi ia pun "cemas" membayangkan "sekolah" yang bakal dimasukinya. "Semua ini mengganggu stabilitas emosi anak. Secara psikologis, anak stres," terang Gerda.
Karena itulah, ada anak yang mulanya begitu semangat ingin sekolah tapi begitu hari H-nya, malah tak mau lepas dari gandengan ibunya. Bahkan ada yang menangis, mengamuk, dan lainnya. Umumnya ini akan berlangsung 1-2 hari. Tapi ada juga yang sampai berminggu-minggu bahkan sebulan.
SUSAH PATUH
Ketakutan anak di hari pertama sekolah, terang Gerda yang menjabat Kepala Jurusan Bimbingan & Konseling Unika Atma Jaya, lebih disebabkan ia harus masuk lingkungan baru. "Seakan dia lepas dari orang tua dan masuk ke dunia yang tak dikenalnya. Tentu saja ini tak mudah bagi anak kecil," tuturnya.
Apalagi, biasanya di rumah anak diberi kebebasan. Boleh main kapan saja, makan dan minum seenaknya, bicara dengan suara keras, dan lainnya. Tapi begitu "sekolah", kebebasannya langsung berkurang. Dia harus berbaris dulu sebelum masuk kelas, duduk diam, main atau makan dengan jam tertentu. "Kalau anak tak terbiasa berdisiplin, sulit baginya menyesuaikan diri dengan aturan sekolah. Padahal, ia harus patuh karena 'sekolah' merupakan suatu aktivitas terorganisir yang harus dilakukan secara ajek," papar Gerda.
Nah, itulah yang membuat anak takut. Apalagi jika ia tak dibiasakan berkenalan dengan lingkungan baru. Hal lain adalah sikap orang tua yang secara tak sadar memberi impresi negatif tentang sekolah pada anak. Misalnya, ayah atau ibu berujar, "Kalau kamu tak bikin PR, nanti dihukum Bu Guru, disuruh lari keliling lapangan," saat memarahi si sulung. Nah, sang adik yang belum sekolah jadi punya gambaran buruk tentang sekolah.
PENAKUT VS PEMBERANI
Faktor kepribadian juga berperan. Ada anak yang berani, ada pula yang takut sekolah. Biasanya, anak yang bersifat ekstrover atau terbuka, punya rasa ingin tahu yang besar, kreatif, selalu bergerak, dan tak takut memasuki lingkungan baru. "Justru ia merasa tertantang.
Biasanya ia yang berinisiatif kenalan dengan teman baru. Apalagi kalau ia sudah terbiasa dalam keluarga dengan aktivitas sosial tersebut," tutur Gerda.
Meski begitu, tak berarti ia bisa "dilepas" begitu saja di hari pertamanya "sekolah". Secara psikologis, si pemberani juga tetap perlu dimantapkan pendiriannya, "Beri ia pengkayaan yang membuatnya tergelitik untuk lebih banyak tahu," nasihat Gerda, "Kalau orang tua banyak memberi stimulasi, wawasan anak akan makin kaya. Rasa percaya dirinya juga makin kuat."
Tak perlu pula kita memperlihatkan rasa cemas yang berlebihan (takut dia nakal di kelas atau tak patuh). Soalnya, ini bisa menular ke anak. Anak jadi merasa, ayah atau ibunya tak percaya padanya. Akhirnya, si anak jadi tak percaya diri.
Akan halnya anak introvert (tertutup) yang biasanya kalem, tak mudah bergaul, suka takut-takut, tentu saja orang tua harus lebih banyak memberikan dorongan agar rasa percaya diri anak lebih kuat. Menghadapi anak macam ini, kita harus lebih sabar. Jangan paksa ia main dengan teman barunya. Jangankan main, kenalan pun, belum tentu ia berani. Kita yang harus berinisiatif memperkenalkan si anak pada teman-teman barunya. Bersikaplah sabar jika si kecil belum mau berkenalan dengan teman barunya dan jangan pernah bosan memberinya dukungan.
DIANTAR
Agar si kecil mantap ke "sekolah", Gerda minta para orang tua untuk mengantarkan anaknya pada hari pertama. "Antar anak dengan senyum. Memang kelihatannya hal kecil, tapi bagi anak sangat berarti. Ada suatu kebanggaan bahwa dirinya sudah besar, bisa 'sekolah' dan punya teman-teman," tuturnya.
Si kecil pun bangga bisa pergi dengan orang tua ke "sekolah". Kelak, anak pun akan melakukan hal serupa pada generasi berikutnya. Makanya, tandas Gerda, "Jangan sekali-kali orangtua tidak menyempatkan diri mengantarkan anak pada hari pertama 'sekolah'."
Jika kemudian ia tak mau lepas dari Anda, tak apa. Tak perlu pula dimarahi karena ia akan semakin takut. Anak yang memiliki rasa cemas tinggi, lanjut Gerda, merasa sang ibu adalah miliknya. Makanya, ia tak mau lepas dari sang ibu. "Nah, yakinkanlah dia, di sekolah ada ibu guru sebagai pengganti ibu dan sekolah amat menyenangkan karena ia bisa belajar sambil bermain bersama teman-teman," tuturnya.
Tak perlu pula memberi reaksi berlebihan jika anak menangis. "Kalau sudah ditinggal, anak juga berhenti menangis, kok," tukas Gerda. Atau katakan padanya, "Mama menunggu di luar kelasmu." Setelah seminggu berlalu, kalau ia sudah bisa ditinggal, "Tak perlu lagi ditunggui. Sebagai orang tua, kita harus percaya pada sekolah dan untuk sekian jam, melepaskan tanggung jawab pada guru," kata mantan guru SPG ini.
PENDENGAR YANG BAIK
Sepulang sekolah (di hari pertama), Gerda menganjurkan orang tua menjemput anak di luar kelas. "Soalnya, ia bisa merasa takut jika melihat teman lainnya sudah dijemput. Di sisi lain, anak akan merasa aman secara psikologis," terangnya.
Tanyakan padanya tentang kegiatan di hari pertamanya, bagaimana perasaannya, permainan apa saja yang dilakukannya bersama teman-temannya, dan sebagainya. "Kalau dia melakukan hal-hal yang baik, beri pujian. Sebaliknya, bila ada hal-hal yang kurang baik, jelaskan bagaimana harusnya ia bersikap. Dengan begitu, anak akan merasa didukung, dihargai. Ia pun dilatih untuk terbuka dan mengekspresikan perasaannya," tutur Gerda.
Bila anak dibiasakan seperti itu, lama-lama dia akan dengan spontan menceritakan apa yang dialaminya sekolah. "Ma, tadi aku menggambar kapal terbang," atau, "Ma, tadi si Nia nangis dicubit sama si Adit," dan sebagainya. Untuk itu, kata Gerda, "Jadilah pendengar yang baik dan beri anak kesempatan bercerita."
Setelah anak berhasil melalui hari-hari pertamanya di "sekolah", ia masih tetap memerlukan dukungan lebih lanjut. Jangan pernah lupa menyediakan waktu untuk mendengarkan segala cerita anak tentang pengalamannya di "sekolah". Beri perhatian terhadap hasil karyanya yang ia bawa pulang dari "sekolah". Dengan demikian, hari-hari "sekolah" menjadi saat-saat yang menyenangkan bagi anak.
Dedeh Kurniasih/nakita
KOMENTAR