Selain itu, si kakak pernah menjadi anak tunggal untuk beberapa waktu sebelum adiknya lahir. Ia belum mengerti bahwa kasih sayang dan perhatian ayah/ibunya kepada dirinya tak berubah, meski sekarang sudah ada adik. Yang ia lihat, ayah/ibunya sekarang sudah tak lagi sepenuhnya memperhatikan dirinya. Nah, apa yang dapat ia lakukan untuk mendapatkan kembali perhatian tersebut? Ya, dengan cara mengganggu adiknya.
"Sebenarnya si kakak mengganggu itu bukan untuk menyakiti adiknya, tapi hanya untuk mengalihkan perhatian orang tua atau orang dewasa lain yang kebetulan atensinya sedang pada si adik," terang Rosa. Tapi jika caranya ini berhasil, maka lama-lama akan menjadi suatu kebiasaan. Sebaliknya, jika tak berhasil, misalnya ibu/ayah menjadi marah, maka si kakak akan berusaha menarik perhatian lagi. "Begitu seterusnya seperti lingkaran yang tak berkesudahan," tambahnya.
SI ADIK SUKA "MERUSAK"
Bagaimana dengan si adik? Harus disadari, si adik yang masih usia batita memang suka sekali "bikin masalah". Ia kerap menjatuhkan balok-balok kayu yang sudah disusun menjadi satu bangunan istana oleh kakaknya, menarik-narik tangan dan kaki boneka milik kakaknya hingga copot, atau bahkan merobek-robek buku "pelajaran" si kakak.
Hal ini lantaran si batita sedang berada dalam tahap eksplorasi. Ia tengah mempelajari dunianya, mengembangkan rasa ingin tahunya dengan terus-menerus mencobai lingkungannya. Ia pun belum mengerti sepenuhnya arti kepemilikan, sehingga seringkali ia "merusak" apa saja yang menarik perhatian, merebut apa saja yang sedang dipegang atau dimainkan oleh kakaknya.
Tak heran jika akhirnya Anda harus menghadapi pertengkaran demi pertengkaran antara si kakak dan adiknya. Lantas, bagaimana kita harus bersikap?
MEMBELA SI ADIK
Umumnya orang tua akan memihak dan melindungi anak yang lebih muda. "Kamu ini, kan, kakaknya. Mbok, mengalah. Adikmu masih kecil, belum mengerti apa-apa." Atau, "Jangan pukul adikmu! Dia, kan, masih kecil. Biarkan dia main dengan mobil-mobilanmu. Nanti kalau adikmu sudah selesai main, baru kamu boleh memainkannya."
Sikap orang tua yang demikian, menurut Rosa, tak bisa dilepaskan dari peran kultur/budaya. Bahwa anak sulung atau si kakak diharapkan menjadi contoh yang baik bagi adik-adiknya. Sebaliknya si adik, karena ia lebih kecil, maka ia dianggap lebih lemah. "Kepada si adik, biasanya ditanamkan ia harus menurut pada kakaknya. Tidak apa-apa kalau kamu enggak bisa bertanggungjawab karena kamu lebih kecil," kata Rosa.
Bagi si kakak yang harus menjadi contoh, menurut Rosa, akan berat sekali. Apalagi usianya masih balita. Ia akan merasa, kenapa saya yang selalu diharapkan sementara si adik tidak? Jika hal itu terus ditanamkan, Rosa khawatir, "Si kakak kelak akan berkembang menjadi anak yang selalu menyalahkan diri sendiri dan kurang percaya diri."
Sementara si adik, menurut Rosa, akan menjadi anak yang selalu tergantung dan kurang bertanggungjawab. "Ia akan mudah melepas tanggungjawabnya kepada orang lain. Ia pun menjadi kurang percaya diri dalam arti kalau dia mengambil keputusan dia akan tunggu Mama dulu tunggu kakak dulu. Padahal yang sebenarnya, setiap anak harus punya kapasitas untuk memutuskan persoalan sendiri," terang Sarjana Pendidikan dari IKIP Jakarta ini.
Begitu pun dengan sikap yang memandang anak lelaki harus mengalah dari anak perempuan karena anak lelaki lebih kuat sementara anak perempuan lebih lemah. "Padahal, kan, tidak selalu begitu. Adakalanya si anak lelaki tidak kuat, dan anak perempuan pun tidak selalu lemah," sambung Rosa. Akibatnya pada si anak prempuan, bukan tidak mungkin ia lantas jadi memanfaatkan saudaranya yang lelaki. Kalau ada apa-apa, ia akan mengatakan, "Kamu, kan, anak lelaki. Bantuin saya, dong." Dia akan selalu meminta perlindungan.
KOMENTAR