TabloidNova.com - Kerusuhan Mei 1998 adalah sejumput lahan dalam pigura besar sejarah Indonesia. Setiap tahun selalu ada yang memperingatinya. Namun dengan berlalunya waktu, tidak banyak lagi yang mengetahui atau ingat gambaran besarnya, di mana benang merah yang mengaitkan suatu kejadian dengan kejadian lain, dan apa yang ada di balik suatu peristiwa atau rentetan peristiwa....
Demikian tulis Dewi Anggraeni, penulis fiksi dan non-fiksi, dalam bukunya yang baru saja diluncurkan: Tragedi Mei 1998 dan Lahirnya Komnas Perempuan. Tulisan-tulisan Dewi dalam bentuk artikel, kolom, maupun esai, telah terbit dalam dua bahasa (Indonesia dan Inggris) di Indonesia, Australia, Inggris, Hongkong, Malaysia, Korea Selatan, dan Amerika Serikat.
Dewi yang tinggal bersama keluarganya di Melbourne, Australia, sejak sekitar 20 tahun yang lalu, pernah menjadi koresponden majalah Tempo di Australia sebelum pembredelannya pada 1994. Setelah itu, ia bekerja untuk Forum Keadilan dan The Jakarta Post. Pada 1998 Dewi kembali menjadi kontributor Tempo, sambil tetap menerbitkan karya-karya fiksinya yang sebagian besar ditulis dalam Bahasa Inggris.
Menurut pandangan Dewi, kerusuhan Mei 1998 telah menyebabkan tragedi besar, dalam, dan berkepanjangan, bagi banyak komunitas dan keluarga, tapi juga telah mengangkat ke permukaan segi-segi positif dari rasa kemanusiaan yang masih inheren dalam masyarakat Indonesia. Dalam buku Tragedi Mei 1998 dan Lahirnya Komnas Perempuan, Dewi ingin mengungkapkan sebagian dari segi-segi positif ini, dan mengaitkan tragedi ini dengan lahirnya Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan, yang dikenal sebagai Komnas Perempuan.
"Ide menulis buku ini muncul setelah ada percakapan dengan beberapa rekan dan teman, karena pada dasarnya dari sekian banyak isu yang segera menarik minat saya, yang paling menonjol adalah hal-hal yang berkaitan dengan peran dan nasib perempuan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan posisi perempuan dalam gambaran lebih luas dan global," tuturnya seusai peluncuran bukunya di Toko Buku Gramedia Matraman, Jakarta, Rabu (14/5) lalu.
Kerusuhan Mei 1998, kata Dewi, telah membawa perusakan hebat dan kekerasan seksual massal, serta dikorbankannya sejumlah warga. "Dari data-data yang terkumpul dan diverifikasi, terungkap sebuah gambaran cukup jelas. Sementara tidak dapat diragukan lagi bahwa yang dijadikan sasaran dalam kerusuhan Mei 1998 adalah warga etnis Tionghoa. Namun tak cuma warga etnis Tionghoa yang dikorbankan. Ratusan warga lain pun tewas secara mengenaskan di dalam bangunan-bangunan yang sengaja dibakar, dan mereka terperangkap di dalamnya. Mereka kemudian disebut sebagai penjarah dan disisihkan dari perhatian masyarakat," paparnya.
Selanjutnya, Dewi juga menulis, dalam peristiwa itu pun telah muncul sejumlah "pahlawan kemanusiaan" yang terdiri atas lelaki maupun perempuan yang tak mundur menghadapi aneka ancaman serta serangan mental maupun fisik untuk membantu para korban dan keluarga korban kerusuhan Mei 1998.
"Dalam proses membantu para korban, para pekerja kemanusiaan ini juga menemukan bahwa di tengah-tengah kerusuhan telah terjadi perkosaan atas sejumlah perempuan warga etnis Tionghoa. Tentu saja ini sangat menusuk rasa keadilan dan kelayakan mereka sebagai pekerja kemaunusiaan. Mereka pun segera mencari jalan untuk menolong."
Sayangnya, lanjut Dewi, para korban tidak terjangkau, terutama korban perkosaan. "Biasanya karena mereka sendiri mengundurkan diri dari publik, menutup diri, dan tidak berani mengambil langkah apa pun yang bisa menyebabkan identitasnya terbuka. Sehingga para relawan kemanusiaan itu tidak selalu berhasil menemukan mereka. Dapat dibayangkan, para korban ini merasa putus asa dan ditinggalkan, disisihkan masyarakat, bahkan bertahun-tahun pasca kejadian. Saya berharap para korban ini mengetahui, sesungguhnya banyak anggota masyarakat yang peduli, yang mencari para korban ketika itu dengan risiko menanggung bahaya terhadap diri mereka sendiri."
Oleh karena itu, Dewi lebih banyak mengungkap apa yang terjadi, khususnya yang berkaitan dengan kasus perkosaan pada Mei 1998, dari kacamata orang-orang atau para pahlawan kemanusiaan yang telah rela membantu para korban. "Tapi ada satu korban perkosaan yang berhasil saya temui," ujarnya.
Ia berharap diterbitkannya buku ini akan mampu membuka mata setiap orang yang membacanya, terutama pemerintah dalam melihat kembali peristiwa berdarah di negeri ini. "Jangan sampai terulang dan menelan korban perempuan lebih banyak lagi," tandas Dewi.
Intan Y. Septiani
Sumber tambahan: Tragedi Mei 1998 dan Lahirnya Komnas Perempuan (Dewi Anggraeni, 2014)
Atlet New Balance Triyaningsih Berhasil Taklukan Kompetisi TCS New York City Marathon 2024
KOMENTAR