Kami mengajari mereka dari nol. Kami katakan, benda ini namanya komputer, tidak nyetrum. Dipegang, didekap, dan dipencet tidak apa-apa, asal tidak dibanting atau dilempar. Jadi mereka tidak takut pegang. Cara memegang mouse pun kami ajari, karena banyak yang masih kaku, seperti memegang ulekan. Ha ha ha... Sekitar 80-90 persen kami ajari dari nol, meskipun ada yang menghendaki materi lebih sulit, misalnya guru-guru TK minta diajari program Excel atau Power Point.
Permintaan datang dari mana saja?
Dari ibu-ibu PKK, pengajian, kantor Kodim, Korem, pabrik, rumah sakit, SD, bank, lembaga pemasyarakatan, perangkat desa, instansi pemerintah, dan sebagainya. Awalnya, kami kira mereka tak butuh. Namun ketika datang ke kantor tentara di Yogyakarta karena ada permintaan mengajar di sana, saya baru tahu mayoritas anggotanya tak tahu cara mengoperasikan komputer. Ada komputer di sana yang sering mati, karena setelah dipakai main game, kabelnya langsung dicabut tanpa dimatikan terlebih dulu komputernya. Yang mengharukan, ada salah satu peserta di sana yang mengatakan, salah satu cita-citanya adalah belajar komputer sebelum meninggal dunia. Di rumahnya sebetulnya ada komputer, tapi anaknya tidak mau mengajari, karena menganggapnya percuma.
Bagaimana menyikapi hal itu?
Temuan ini membuat saya tersadar, apa yang bagi kita menjadi kebiasaan sehari-hari, yaitu menggunakan komputer, membuka e-mail, dan kegiatan yang berhubungan dengan teknologi informasi, ternyata masih asing bagi banyak orang. Ibarat sinyal internet atau telepon genggam, di sekitar hotspot masih banyak yang blank spot. Di perkotaan pun masih banyak orang yang belum pernah menyentuh komputer. Padahal, ini baru pusat kota Yogyakarta saja, lo, yang notabene dikenal sebagai kota pendidikan. Belum lagi, misalnya, di Pacitan, Wonogiri, Jawa, Sumatera, Kalimantan, dan sebagainya.
Dari mana orang-orang tahu soal pelatihan ini?
Kebanyakan dari mulut ke mulut. Oleh karena itulah, saya ajak para pengajar untuk bersikap profesional. Antara lain datang tepat waktu, karena pengajar terlambat 10 menit saja murid sudah komplain. Mereka kami berikan pelatihan yang dikenal dengan training for trainers. Setiap minggu kemampuan mereka di-upgrade, saya ajak mereka berbenah diri. Kami diskusikan pula apa kekurangan mereka dalam mengajar. Dampaknya, permintaan pelatihan meningkat pesat. Dalam 8 bulan, komputer yang sebelumnya hanya 25 buah, meningkat jadi 100 buah. Dan permintaan ini seolah tak bisa dibendung, sehingga berkali-kali menambah jumlah komputer. Tahun 2012 lalu, kami tak menyangka, begitu banyak orang dewasa yang butuh pelatihan komputer karena awalnya, kan, sasarannya untuk anak-anak.
Ke mana saja jangkauan pelatihannya?
Radiusnya 25 km dari kantor kami di Brontokusuman, Yogyakarta. Ke utara, batasnya adalah Pakem, ke selatan Kretek, ke barat Kali Bawang, dan ke timur Kalasan. Di Kali Bawang, kami mengajar di puncak gunung. Jalanan di sana sangat tak layak. Jika ke sana, terpaksa para pengajar turun dari mobil, karena khawatir tak kuat menanjak atau turunan terlalu curam.
Seperti apa kriteria pengajar yang direkrut?
Harus menyukai anak-anak, punya pengalaman mengajar minimal di TPA, dan bisa bercanda dengan ibu-ibu, karena peserta tidak suka suasana tegang saat belajar. Semua pengajarnya adalah laki-laki dan 90 persennya adalah guru TPA yang baru lulus SMA. Awalnya, saya hanya punya tiga pengajar, tapi kini jumlahnya sudah 23 orang.
Berapa biaya sekali pelatihan?
KOMENTAR